Di hutan Boven Digul masih ada mitos, ada perkampungan yang seluruh penghuninya terdiri dari kaum perempuan dan sampai saat ini tidak seorang pun yang melihat mereka ~ Ayah Ebie
Ketika perfilman nasional dipenuhi film dengan genre yang itu-itu saja, ditambah jarang mengajak penontonnya menengok keindahan alam nusantara lewat film, “Lost in Papua” tentu saja menjadi seperti sebuah angin segar ditengah film-film horor yang mengantri dan berlomba untuk menakuti penonton Indonesia, produktivitas yang “jempolan” (jika bisa dibilang demikian) sayangnya tidak dibuntuti dengan kualitas yang pantas. Kita tahu negeri ini dianugrahi banyak tempat-tempat yang mewakili kata “surga”, diantara ribuan pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke, tapi jarang sekali kita melihat sebuah film yang mengajak jalan-jalan penontonnya ke lokasi-lokasi indah yang disediakan alam Indonesia. Namun bukan berarti di daftar film nasional tidak ada sama sekali hasil karya anak bangsa yang mencoba mengeksploitasi kekayaan alam nusantara, “Laskar Pelangi” yang diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata, sukses menterjemahkan indahnya Pulau Belitung yang eksotik dari tulisan dinovelnya sampai akhirnya tercicipi oleh mata.
Film tahun 2008 yang disutradarai oleh Riri Riza ini juga bukan satu-satunya film lokal yang punya niat baik memperkenalkan dan menonjolkan kekayaan alam nusantara. Pada tahun 2006, “Denias, Senandung di Atas Awan” mengirim kita ke tanah Papua, tepatnya mengunjungi Wamena, Timika, dan tempat-tempat lainnya yang berhasil dipotret film ini dengan indah. Lalu ada juga, “Tanah Air Beta”, yang rilis pada 2010, film ini mengajak kita melihat potret kehidupan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, lengkap dengan alamnya yang juga tidak kalah indah. Sutradara Irham Acho Bahtiar dan “Lost in Papua” punya semangat yang sama untuk mengangkat kekayaan alam dan budaya Indonesia, khususnya tanah Papua Selatan, yang akan menjadi latar belakang cerita petualangan di film ini. Makin unik ketika mendengar “Lost in Papua” akan mengajak kita masuk ke pedalaman hutan Boven Digul yang misterius untuk bertemu dengan suku Korowai, suku asli hutan tersebut yang kabarnya salah satu suku kanibal yang masih tersisa di Papua Selatan, tapi tentu saja nantinya suku Korowai di film ini tidak akan digambarkan se-ekstrim itu tapi justru digambarkan sebagai suku yang cinta damai bahkan lucu.
“Lost in Papua” sebetulnya punya kisah yang tidak terlalu rumit, Nadia yang diperankan oleh Fanny Fabriana ditugaskan oleh atasannya untuk pergi ke Papua, awalnya tentu saja Nadia menolak dan memilih ditugaskan kemana saja selain Papua, namun setelah dapat nasehat dari kakeknya (Piet Pagau) dan berharap menemukan tunangannya yang hilang di hutan Papua 3 tahun lalu, Nadia akhirnya pergi. Di Papua, tepatnya di Merauke, Nadia di temani oleh Zabo, Merry dan Ebie, bersama mereka juga Nadia dibantu untuk menelusuri hutan Boven Digul dengan tujuan mencari titik tambang baru yang merupakan bagian dari tugas kantornya. Di tengah perjalanan, Nadia dan teman-teman menyempatkan untuk berkunjung ke perkampungan suku Korowai, yang ternyata tidak seseram apa yang Nadia bayangkan sebelumnya. Mereka ramah dan bahkan membuat Nadia dan yang lain betah hingga berniat berada di kampung tersebut agak lama. Sayangnya kedamaian menjadi sedikit terusik dengan kehadiran David (Fauzi Baadilla) dan pengawal-pengawalnya.
Si David ini memang dari awal diceritakan mengejar-ngejar cinta Nadia, namun selalu saja direspon dingin oleh Nadia, David tidak menyerah bahkan menyusulnya ke Papua. David dengan sikap buruknya lalu melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan di perkampungan suku Korowai, yang akhirnya membuat berang suku yang awalnya ramah pada tamunya tersebut, lalu mengejar-ngejar David dan teman-temannya, Nadia, Zabo, Merry dan Ebie yang panik juga ikut lari. Keadaan ditambah buruk ketika mereka berlari ke daerah terlarang, sebuah hutan yang diberi garis merah di peta dan lokasi dimana tiga tahun lalu, tunangan Nadia hilang. Di hutan inilah Nadia, David, Zabo, Merry dan Ebie akan menemukan perkampungan misterius, yang oleh masyarakat setempat dipercaya ada hanya sebagai mitos belaka. Jika suku Korowai digambarkan ramah dan cinta damai, nah suku ini justru sebaliknya, sebuah mimpi teramat buruk bagi Nadia dan kawan-kawan.
“Lost in Papua” bukan hanya menceritakan Nadia yang tersesat di hutan Papua Selatan tapi juga seakan-akan filmnya sendiri juga tersesat, kehilangan arah ingin membawa film ini kemana. Lebih dari separuh film kita akan dihadapi dengan berbagai drama antara si tokoh utama Nadia dan David, berlanjut dengan petualangan Nadia di tanah Papua yang diselingi pula dengan komedi, bahkan ketika berada di perkampungan suku Korowai, tak jarang kita akan menemukan adegan-adegan yang lucu, tidak hanya dari kelompok Nadia tetapi juga orang-orang suku Korowai yang sempat-sempatnya diberikan porsi untuk membuat kita tertawa dengan tingkah laku mereka, termasuk pada saat beberapa orang dan anak kepala suku mengintip Nadia sedang mandi. Ada unsur drama, petualangan, komedi dan tidak ketinggalan ada juga cinta, well secara tiba-tiba dan tidak disangka ada hubungan yang menarik antara Nadia dan Ebie.
“Lost in Papua” seperti yang saya bilang di awal kisahnya tidak terlalu rumit, tapi justru genre dan ide cerita yang terlalu ramai yang pada akhirnya membuat film ini seakan campur aduk, semua ingin diceritakan dan malah membuat film ini terlihat pontang-panting ketika Irham mencoba mengesekusinya satu-persatu. Dilihat dari bercampurnya ide cerita, yang satu ingin mewakili semangat mengangkat sisi budaya dan kekayaan alam Papua Selatan dan yang satu lagi, ketika sampai di kampung suku misterius sepertinya murni untuk bersenang-senang. Pada akhirnya jadi bumerang sendiri bagi film ini, karena pada saat saya sudah merasa nyaman di separuh film dengan kisah Nadia yang berada di perkampungan suku Korowai, ditemani berbagai drama dan juga komedi, tiba-tiba film ini membawa kita terkejut dengan situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Mungkin dari awal film ini memang ingin membuat kejutan dengan memberikan hadiah berupa perkampungan “sadis”, tapi caranya seperti membawa kita jalan-jalan santai lalu tiba-tiba menabrakkan mobil ke sebuah pohon besar. Tidak ada pemanasan, Irham justru asyik membuat saya terlena dengan kehangatan cerita di paruh awal film ini sampai pada akhirnya menghantam saya dengan plot yang polanya mengarah ke film-film slasher.
Walau saya sendiri menyukai film-film berisi kesadisan, tapi apa yang dilakukan film ini dengan menambahkan “kejutan” di sekitar 30 menit akhir film menurut saya malah bisa dibilang merusak feel yang sudah dibangun dengan susah payah di satu jam pertama film. Ketimbang rakus menjejalkan semua dalam satu film, dibuat dua film yang berbeda saya pikir lebih baik. Sepertinya tagline “Lost in Papua” sudah jadi petunjuk bagi penonton akan dibawa kemana film ini, “unik, romantis, penuh misteri dan mencekam”. Unik ada benarnya karena film ini menghadirkan kisah yang menyertakan tanah Papua Selatan sebagai latar ceritanya dan juga mengajak kita berkunjung ke tempat-tempat yang unik, hutan Boven Digul dan perkampungan suku Korowai. Romantis ketika film ini diberikan bumbu-bumbu cinta dadakan dan penuh misteri pada saat muncul pertanyaan mengenai tunangan Nadia dan mitos suku selain suku Korowai yang kabarnya “menguasai” daerah terlarang. Sayangnya resep mencekam di “Lost in Papua” gagal dalam tujuannya untuk membuat film ini kian menarik, sebaliknya justru membuat film ini kian tersesat.
Beruntung kekurangan tersebut mampu sedikit tertutupi dengan potret-potret tanah Papua Selatan yang indah, walaupun tidak sebanyak yang saya perkirakan. Kelebihan film ini juga ada pada para pemainnya yang bisa dibilang mampu memainkan porsi aktingnya dengan baik. Termasuk Fauzi Baadilla yang berhasil mencuri perhatian dengan peran antagonis yang dimainkannya dengan “ekstrim” dan ternyata aktor-aktor yang berasal dari bumi cendrawasih juga bisa berakting dengan baik, alami, dan tidak mau kalah untuk tampil semaksimal mungkin di depan kamera. Fanny Fabriana disini tidak hanya menjadi “pemanis” dalam film tapi mampu memberikan nyawa kepada filmnya sendiri untuk jadi lebih menarik dan dia sanggup menjalin chemistry dengan para pemain lainnya dan juga penontonnya, sayangnya sekali lagi fokus film ini yang kemana-mana juga ikut merusak penggalian karakter yang seharusnya bisa dibuat lebih menarik lagi jika saja tidak terlalu banyak cerita yang dimasukkan dalam batasan durasi 100 menit. Mungkin fokus kepada cerita dengan latar suku Korowai saja bisa membuat “Lost in Papua” tampil lebih punya daya tarik ketimbang diganggu dengan paket kejutan dari suku lain yang lebih ekstrim.
Antz
mantap nih review nya, gan…
ane belum sempat nonton sih.. tapi mudah2an puas 😀
irhamachobahtiar
Thanks ya atas masukannya. begini cara membuat review yang baik, tidak hanya mencerca tanpa arah tapi juga memberikan masukan untuk karya berikutnya.
reviewnya akan saya jadikan masukan berarti di produksi berikutnya.
mengapa saya tertarik mengomentari review ini ?
sebab inilah review paling netral yang saya lihat. dan semua yang direview sesuai dengan apa yang juga saya keluhkan selama film ini dibuat.
Review anda sangat jujur dan menggugah hati.
selama ini kebanyakan review lainnya hanya bersifat emosional dan subyektif menurut selera sendiri saja.kalau dia bosan nonton filmnya maka dia akan bilang jelek.
selamat bung radith, anda akan jadi review terbaik di negeri ini.
raditherapy
makasih mas Irham udah mau mampir ke blog ini, nga nyangka di komentari sutradaranya sendiri hehehe 😀
semampu mungkin klo bikin review, saya emang inginnya jujur begitu pula dgn review “Lost in Papua”, saya utarakan apa yg negatif menurut saya dan juga tidak lupa beri sisi positif. Masih dalam tahap belajar bikin review yg bener juga kok…
saya sebetulnya menyambut gembira ketika tahu akan ada film yg mengangkat tema yg baru terlebih berlatar tanah papua selatan yg jarang diangkat ke layar lebar, dan sah-sah saja sih mas klo memang mau mencampur berbagai genre dalam satu film, tapi yah itu, di film ini kesannya jadi malah nga fokus…
makanya saya utarain juga, mungkin akan lebih baik klo ada dua film, satu yg pure angkat budaya papua dan suku korowai, dan satu lagi yg murni untuk “bersenang-senang”, yg terakhir ini saya akan setuju sekali kemasan filmnya spt di suku “misterius” itu. yah tapi sekali lagi itu hanya komentar amatiran saya hehe 🙂
irhamachobahtiar
Oh ya ada yang menarik nih
setelah diperhatikan, ternyata isi review bung radith mirip dengan review yang diberikan kepada film : From Dust Till Down
cuman bedanya lebih kasar orang luar cara menulisnya.
It’s a long time ago I saw this movie and still it’s one of the worst I’ve ever seen. I like lots of kind of movies; sci-fi, action, drama, thrillers and sometimes even horror. Not a combination of two. This could have been a wonderful movie, but they all blew it up. I didn’t want to see this movie, but friends of mine insisted to watch it. I didn’t know it was such a crap. I loved the first part, in which Clooney and Tarantino drove through Texas, killing everybody on their way (especially the scene with the liquor shooting was excellent), but at its turning point, in the titty twister bar everything changed. Stupid Vampires took over the place and what could have been a perfect gangster movie became a stupid horror movie like ‘Nightmare on Elmsteet’. If you like horror, watch a real horror movie. And when you love bloodstolling thrillers don’t watch it at all, you will be very disappointed at the end.
http://www.imdb.com/title/tt0116367/usercomments?start=20
ini membuktikan review anda memang betul betul obyektif dan bukan hanya anda yang merasakannya tapi orang orang diluar sana juga ketika menonton film dengan gaya cerita seperti ini ternyata sangat merasa terganggu.
its ok sih….saya sangat menghargainya…moga moga bisa jadi masukan yang baik untuk saya
thx ya….
raditherapy
hahaha capek mas review yg isinya mencerca terus, biarlah “film lain” yg isinya horor tidak jelas yg dapet review kasar dari saya hehehe 😀
spt yg saya bilang diatas, menurut saya sah2 saja film mencampur banyak genre, tapi yah asal film bersangkutan bisa memberikan porsi yg seimbang antar genrenya, atau memberikan porsi lebih pada kepada genre spesifik yg memang kelihatannya akan jadi daya tarik penonton.
begitu pula dengan film yg punya setumpuk plot dan subplot, film ini misalnya, plot utamanya saya kira ada di cerita perseteruan cinta antara nadia vs david yg lalu dibawa ke papua, suku korowai, dst.
nah lalu selagi plot utama berjalan, film juga hadirkan plot-plot tambahan (subplot), tugas Nadia mencari titik tambang, yg tidak jelas juntrungannya krn nadia justru dilihat asyik belanja dan “liburan” di perkampungan korowai. Ada juga kisah cinta antara Nadia dan Ebie, yg juga tidak diteruskan (muncul mendadak dan hilang dgn cepat).
lalu ditambah juga cerita “mengejutkan”, oke ini adalah bagian dari petualangan dan mungkin jadi bagian yg mendamaikan Nadia dan David, atau mungkin mempertemukan nadia dengan tunangannya, atau bisa juga menyatukan nadia dan ebie, yah setelah semua kejadian yg mereka alami di perkampungan “misterius”.
ternyata tebakan saya salah semua hahaha, filmnya justru seperti memasukkan plot perkampungan itu dgn paksa agar nantinya smua bisa berakhir, ditambah cara bercerita yg tidak nyaman, drama dan komedi di awal dan tiba-tiba seperti itu.
Jujur saya sampai lupa cerita2 diawal karna film ini sprt membawa saya ke film yg berbeda, lalu ketika saya diajak berjalan ke puncak dgn berbagai ketegangan, tiba-tiba film ini mendorong saya tiba-tiba terjun bebas dgn akhir yg tidak ada gregetnya.
ayo Mas, jgn sungkan2 bikin lagi film yg “berbeda”, byk kok film Indonesia yg punya tema dan gaya bercerita yg unik, tidak melulu ikut tren horor mesum misalnya hehe, yah kaya Pintu Terlarang, Fiksi, atau Rumah Dara.
irhamachobahtiar
wah berarti film ini tidak bisa tertebak ya…
selama ini banyak yang bilang film indonesia mudah ditebak ceritanya.
mungkin itu yang ingin dibuat berbeda dari tim penulisnya dan memang berhasil mengagetkan penonton yang tidak bakalan mengira seperti itu. waktu saya baca skenarionya sih saya juga tertarik memvisualkannya karena saya lihat belum ada film Indonesia yang memainkan cerita seperti itu. walaupun dialog script film ini sebenarnya bukan selera saya.
tapi dampak buruk kesebagian penonton juga sebenarnya sudah saya tebak sejak awal. bahkan tadinya prediksi saya lebih parah mengira bakalan ada penonton yang akan muntah dan keluar bioskop ha ha ha…tapi ternyata tidak terbukti…
saya ingat dulu juga waktu film from dust till down keluar yang bercerita secara realitas ala gangster lalu kemudian merubah pola cerita dibagian akhirnya menjadi cerita vampire yang fiksi dengan perubahan yang begitu cepat dan tidak masuk akal, banyak teman teman saya yang memaki maki film itu tidak karuan.
ke depannya saya mungkin akan mencoba beberapa hal yang baru lagi. tapi melihat potensi komedi di film film saya yang begitu besar sekalipun tanpa direncanakan seperti yang terjadi pula di film ini. maka saya merasa mungkin akan menggarap sebuah komedi yang cerdas seperti 3 idiots misalnya. saya melihat ada potensi komedi satir disetiap saya membuat adegan.
cuman kali ini saya ikut menulisnya sendiri supaya lebih puas.
intinya sih mana bagian genre yang paling menarik dari film maka itulah yang akan dikembangkan kedepannya. dan saya melihat di film LIP ini taste komedinya yang menarik buat dikembangkan dan dijadikan satu film full dalam 1 genre saja.
raditherapy
hahaha klo dari saya sih nga ketebak, khususnya film yg akhirnya digiring menuju ke “sana” walau awalnya saya tahu akan ada adegan-adegan sadis, tapi nga nyangka ternyata seperti itu… plus adegan “penyimpangan” yg dilakukan suku itu dan kepala sukunya 😀
sayang sensornya terlalu kasar memotong, jadi penasaran adegan-adegan yg dipotong itu sesadis apa, mungkin klo nga dipotong nih, apa yang diperkirakan Mas Irham tentang penonton yg muntah bakal terjadi tuh 😀
ngomongin film indonesia
wah kebetulan nih sutdaranya nongol padahal setau gue jarang ada insan film yang membaca review penonton filmnya #soktau #abaikan
aniwei gue cuman mau protes kenapa di kota malang nggak disodorin kopinya. kan gue jadi gak bisa nonton. males deh kalo nonton sampe harus ke surabaya. tolong deh dikasi juga ke malang. gue gak mau sampe kayak kasus anakluh. apaan deh tuh pihak twitter @anakluhthemovie bilang kalo minggu kedua bakal tayang tapi tau2 dikabarin udah nggak edar dan malah diedarin ke luar negeri #suck
at least, posternya nggak ada yg lebih bagusan den nge-art?
udha cukup itu aja, sapa tau dibaca sama yang punya hajat, nothing to lose lah
irhamachobahtiar
^^^
tadi saya cek malang masuk didaftar pemutaran Ring 2 itu semua diatur oleh pihak 21
jadi bioskop yg akan masuk ring 2 adalah manado, ambon, malang dll
jika di ring 1 sudah turun layar barulah akan dipindah ke ring 2.
tunggu saja pasti akan hadir juga
kemungkinan memang pihak 21 sudah punya daftar bioskop apa saja yang menguntungkan mereka makanya ada yang diprioritaskan di ring 1 ada yang ditaruh ke ring 2.
wah mengenai poster saya angkat tangan. semua adalah kesepakatan marketing. terutama kata kata diatasnya itu saya sangat tidak setuju.
tapi inilah industri.ketika kita masuk kedalamnya kita harus bersinergi dgn tim marketingdan keinginan produser untuk jualan juga.
kalau keinginan saya memang posternya ada versi art juga tapi hingga detik promosi pun poster pesanan saya itu tidak pernah dibuatkan.
poster versi saya itu desainnya silhouette rumah korowai tigggi dengan background langit biru terang dan tulisan lost in papua. dibawahnya ada silhouette orang tersesat kecil. tapi kayaknya tim marketing pasti gak suka karena tidak menampakkan wajah artisnya berarti bisa dibilang kurang menjual apalagi film ini kan bukan film art.
yah mungkin suatu ketika kalau saya membuat film art atau film independen barulah saya bebas membuat poster sesuai selera saya
ngomongin film indonesia
ditunggu deh filmnya mampir di malang. meskipun kalo emang diminggu kedua bakalan saingan sama dedemit dan virgin 3 yang, oh my… masih aja eksis tu sutradara dan produser *you know what i mean*
wah, harusnya kakak protes dunk, tapi ya namanya juga sutradara, kudu nurut sama pak produser yang seleranya agak geser. sumpah ya, tu poster gak menarik banget dilihat, font judulnya tabrak lari sama gambar karakter yang tumpuk2. seandainya bisa sih dibuat minimalis tapi bercerita segalanya. contoh kecil kek poster rabbit hole.
saran aja ya kakak, kalo bisa di next project bikin film yg lebih oke deh, yang beda dan berkualitas, bosen tauk, gue sebagai pecinta film indonesia terus disodorin hal-hal nggak berguna atas nama pasar. pasar yang mana? pasar yang bodoh ditipu viral marketing lebay?
penonton indonesia sudah pintar-pintar kok. tenang aja 🙂
Republican Wasp
Hmm, seburuk itukah filmnya? Padahal saya sempet berencana buat nonton film ini
Yah, setidaknya uang saya gak kebuang sia-sia kalau film ini emang membuat saya kecewa pas nonton. Makasih buat reviewnya 🙂