“Sorga Yang Hilang” (1977) bisa jadi salah persepsi ketika kita melihat atau mendengar judulnya untuk pertama kali, tanpa melihat sinopsis dan data film, mungkin terbayang di benak kita ini adalah film drama mengharukan. Namun sebenarnya film yang disutradarai oleh Pitrajaya Burnama ini adalah salah-satu dari seri “Si Buta dari Goa Hantu”, dan jika diurut dari tanggal pembuatan, “Sorga Yang Hilang” merupakan film kedua dari total lima film kisah Si Buta dari Goa Hantu yang diangkat ke layar lebar. “Superhero” lokal yang awalnya tercipta dari komik karya Ganes TH ini mulai diadaptasi menjadi film layar lebar pada tahun 1970, lewat film “Si Buta dari Goa Hantu”, dengan Lilik Sudjio duduk di kursi sutradara dan Ratno Timoer menjadi Si Buta dari Goa Hantu. Ratno Timoer pun nantinya akan membintangi lakon yang sama untuk ke-empat seri berikutnya, “Sorga Yang Hilang”, lalu “Duel di Kawah Bromo” (1977), “Neraka Perut Bumi” (1985), dan “Lembah Tengkorak” (1990), bahkan kedua film terakhir disutradarai sendiri oleh Ratno.

Di film ini Barda Mandrawata alias Si Buta, diceritakan berpapasan dengan keluarga kerajaan yang diserang gerombolan penjahat, Si Buta berhasil menyelamatkan si anak, tapi kehilangan ibunya yang terbunuh. Tergerak oleh pesan terakhir si ibu, Si Buta pun akhirnya mengantarkan si anak ke negeri Donggala, dimana ayah anak itu berada, namun diperjalanan dia kehilangan si anak yang diculik oleh seorang perempuan sakti, ketika dalam pengejaran mencari si penculik, Si Buta justru dihadang seorang penyihir yang sangat sakti, terjadilah pertarungan sengit yang mengakibatkan Si Buta terluka parah dan hanyut di sungai. Beruntung dia sampai di sebuah kerajaan Sarpaloka dan ditolong oleh putri raja lalu dirawat hingga sembuh. Dari Raja dan putrinya, Si Buta mendapati bahwa kerajaan ini sudah lama jauh dari kedamaian, sejak dipimpin oleh komplotan orang-orang sakti yang menyebut diri mereka sebagai pendeta, termasuk diantaranya penyihir yang menyerang Si Buta. Merasa terpanggil untuk membela kebenaran, Si Buta pun akhirnya masuk ke “sarang ular” dan sekali lagi akan terlibat pertempuran.

Menonton film-film action apalagi yang menyuguhkan karakter asli negeri sendiri sudah jadi barang langka sekarang-sekarang ini, ketika sinema lokal lebih didominasi film-film horor tidak jelas. Kebanyakan film-film macam “Si Buta dari Goa Hantu” ini hanya betah mengantri di tahun 70an sampai 90an awal, dari berderetnya film-film laga beraneka ragam cerita dan tokoh, kita pun mengenal Barry Prima yang terkenal lewat film seperti seri “Jaka Sembung” dan satu lagi Advent Bangun, yang kita bisa lihat “kesaktiannya” di film “Golok Setan” atau “Bangkitnya si Mata Malaikat”. Dulu film-film bertema laga masih sering hilir mudik di stasiun televisi lokal, tapi makin kesini, film-film tersebut pun makin “binasa” dari layar kaca digantikan oleh tayangan “masa kini” (sinetron dkk). Sayang memang, karena film-film laga Indonesia yang bisa dibilang klasik dan menjadi bagian dari sejarah perfilman tanah air harus pudar dari ingatan penontonnya.

Beruntung, masih ada yang peduli dan juga berusaha menjaga ingatan akan film-film Indonesia klasik sekaligus menghidupkan kembali sejarah perfilman tanah air, tidak hanya bertema laga tapi drama dan juga horor, salah-satunya adalah program tahunan dari Kineforum beserta Dewan Kesenian Jakarta, yang di tahun ke-lima ini masih bersemangat untuk hadirkan “Sejarah Adalah Sekarang” (Bulan Film Nasional), sebuah “pesta” untuk menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret. Paket acaranya komplit, termasuk pemutaran film-film Indonesia, dari yang klasik sampai yang modern dengan variasi tema, untuk tahun ini saja total ada kurang lebih 45 film yang akan diputar, dari karya-karya Usmar Ismail sampai film slasher “Rumah Dara”, dari superhero jadul macam Gundala Putra Petir sampai Madame X, yang rilis 2010 lalu. Kenapa saya bilang beruntung? karena tidak hanya sebagai ajang apresiasi film Indonesia tetapi juga “kapan lagi bisa menikmati klasiknya film-film ini di layar lebar”.

Kembali ke “Sorga Yang Hilang”, membandingkan film ini dengan film-film aksi laga zaman sekarang rasanya memang tidak perlu atau bahkan membandingkan efek-efek visual yang berterbangan kesana-kemari. Inti film ini adalah beraksi untuk menghibur para penonton, walau tidak dipungkiri dengan jalanan cerita yang ringan dan penuh plothole dimana-mana hasilnya adalah nilai minus. Namun justru faktor kekurangan itu yang justru menjadi hiburan tersendiri ketika menonton aksi adu kesaktian dan beladiri di film ini, pernak-pernik efek yang mungkin luar biasa pada zamannya, jadi pemancing senyum ketika menonton film ini pada era dimana efek visual dan CGI sudah canggih. Apalagi ketika tahu bahwa “Sorga Yang Hilang” tidak hanya diisi dengan deretan aksi beladiri, pertarungan yang maha seru namun juga didampingi dengan dialog-dialog yang juga tak mau kalah dalam urusan “bersilat” kata, pemilihan kata-kata yang sudah langka terdengar di film-film hari ini, puitis sekaligus menggelitik, tidak jarang saya tertawa tapi tetap kagum dengan setiap dialognya. Film ini seperti ingin membuktikan walau banyak adegan kasar, tapi sanggup mengimbanginya dengan dialog yang manis. Film “Sorga Yang Hilang” betul-betul membuat saya rindu akan film-film laga Indonesia.

 

Dedi (Dede Yusuf) hanyalah seorang penghibur di taman hiburan, pekerjaannya menjadi badut membuat dia dan keluarga hidup serba kekurangan, namun bersama istrinya Menul (Ayu Azhari) dan anak satu-satunya yang selalu ingin macam-macam—apel dan sambal goreng ati—kehidupan Dedi sepertinya tidak pernah saling kekurangan kasih sayang dan kebahagiaan, walau misalnya mereka terancam diusir dari rumah karena tidak sanggu membayar sewa, Dedi dan keluarga masih bisa tertawa di sela-sela keprihatinan mereka. Roda nasib pun berputar ketika Dedi menemukan segepok uang milik orang kaya yang ditemukan di tempat dia bekerja, kejujuran Dedi membuat pemilik uang tersebut bangga dan bahkan memberi modal untuk membuka warung. Sayangnya warung yang diberi nama “Warung Ny. Menul” ini jarang dikunjungi, karena tempatnya yang tidak terlalu strategis. Dedi tidak kehilangan akal, dibantu oleh Pak Chairul yang seorang sutradara pengangguran dan temannya yang juga mem-badut, warung dijadikan layaknya syuting film, mengajak banyak figuran, dan Pak Chairul mengarahkan mereka. Warung pun jadi ramai, tapi tunggu dulu mereka yang datang ke warung hanya aktor yang berpura-pura agar memancing pelanggan betulan untuk datang dan makan. Walau pada akhirnya cara ini juga gagal, tapi Dedi tidak kenal lelah terus diuji dan pantang menyerah.

“Badut-Badut Kota” (1993) dilihat sekilas lewat cerita diatas memang akan tampak bagai film yang berniat akan memborong air mata penonton, menjambret senyuman dan menyisakan keharuan. Eits… jangan pusing dulu karena seperti judulnya yang membawa kata-kata badut didalamnya, film ini juga terkemas layaknya dibalut kostum badut. Dari menit awal sampai detik terakhir film, penonton tidak akan ada habis-habisnya digenjot kehabisan air mata, bukan menangis karena sedih tetapi justru sebaliknya terlalu senang. “Badut-Badut Kota” lewat akting pemain-pemainnya yang tidak berlebihan sanggup mengumpani para penonton dengan komedi-komedi yang tepat sasaran menggelitik syaraf “gila”. Situasi-situasi yang seharusnya menyedihkan justru malah sebaliknya jadi atraksi obral humor. Rumah Dedi yang kecil bisa jadi panggung komedi, sepertinya film ini memang punya jimat ampuh untuk membuat penontonnya tidak bosan, jimat yang berasal dari komedi-komedinya yang memang murni lucu tidak dibuat-buat.

Namun dibalik kostum badut tersebut, “Badut-Badut Kota” menyimpan sindiran-sindiran yang tersembunyi rapih, kadang terlihat jelas, terkadang juga sindiran cerdas yang harus dicerna beberapa saat baru mengerti maksudnya. Mungkin lewat cara yang dipakai film inilah, kritikan-kritikan terhadap sesuatu yang dianggap salah bisa dilampiaskan, tidak telanjang dalam mengkritik namun berucap dalam lapis demi lapis sindiran lalu dikemas dengan pita komedi. “Badut-Badut Kota” selain ingin menghibur juga sekaligus bisa punya keinginan untuk “berteriak” tapi tentunya dalam koridor-koridor halus, yah lewat komedi satir seperti ini dan sangat wajar jika sindiran tersebut tidak terlalu “vulgar”, beradaptasi dengan jaman yang masih “sensitif” dengan kebebasan yang berharga mahal, tapi setidaknya “Badut-Badut Kota” dengan tampilannya yang berkostum berwarna-warni lengkap dengan topeng yang selalu tersenyum sanggup “menyentil” siapa saja yang kala itu merasa tersindir. Jenius dalam menyentil sekaligus pembuat onar dibioskop karena menjadi biang setiap tawa yang keluar dari mulut penonton. Ucik Supra yang jadi “biang kerok” alias sutradara yang merangkap juga penulis skenario telah sukses meracik hiburan yang tidak asal bunyi tetapi hiburan dengan komedi-komedi yang berisi, tidak asal berbicara kekonyolan melainkan juga celotehan lucu yang mengajak penonton untuk berpikir sejenak. Lucunya lagi apa yang disindirkan “Badut-Badut Kota” dari pemerintah sampai perfilman Indonesia, semua masih cocok-cocok saja untuk ditempatkan pada hari ini, setelah 18 tahun film ini rilis. Negeri ini memang tidak banyak berubah, jadi pusing!