Even dogs and pigs learn if they get beaten, why don’t you! ~ Man-jong

Meniti awal karir sebagai asisten sutradara untuk film-film sutradara arthouse ternama, Kim Ki-duk, macam “Samaritan Girl” dan “Spring, Summer, Fall, Winter… and Spring”, tentunya jadi pengalaman yang begitu berharga bagi seorang Jang Chul-soo, sebuah batu loncatan yang istimewa hingga akhirnya ia dipercaya untuk menangani film yang akan menjadi debutnya dalam penyutradaraan. Kehormatan itu jatuh pada “Bedevilled”, film asal negeri ginseng, Korea, yang mengetengahkan tema balas dendam, yup sebuah tema yang belakangan makin familiar bagi mereka yang mengikuti sepak terjang sineas-sineas asal Korea ini. Sebut saja “Oldboy”, yang merupakan bagian dari trilogi vengeance milik sutradara Korea kenamaan lainnya, Park Chan-wook, atau yang masih segar nongkrong di ingatan saya, tentu saja “I Saw The Devil”, karya sutradara Kim Jee-woon yang sudah sukses menjabarkan kata balas dendam dengan begitu cerdas, menyakitkan, berdarah, dan bagi saya begitu manis. “Bedevilled” yang rilis sebulan setelah film “I Saw The Devil”, tepatnya September 2010, walau bisa dikatakan tempaan tangan sutradara baru, namun hasilnya tidak kalah dengan film-film yang saya sebutkan sebelumnya, bahkan saya bisa katakan Korea telah menambahkan satu nama lagi, yaitu Jang Chul-soo, kedalam daftar koleksi sutradara-sutradara hebat mereka.

“Bedevilled” akan mengajak kita berkenalan dengan gadis muda perkotaan bernama Hae-won (Ji Seong-won), tidak hanya memiliki wajah cantik tapi dia juga digambarkan gadis yang pintar. Bekerja di sebuah bank di kota Seoul, dengan kesibukan dan permasalahan kantor yang pelik, sepertinya makin mengikis kebaikan rasa kemanusiaan yang ada pada diri Hae-won. Tidak hanya berlaku kejam pada seorang nenek tua yang memiliki masalah dengan kreditnya atau bertindak kasar pada teman sekantornya, tetapi juga diam seribu bahasa ketika Hae-won menjadi saksi sebuah kasus pembunuhan. Hae-won adalah contoh bagaimana seseorang bisa menjadi sangat individualistis, hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri tanpa mau bergerak selangkahpun untuk menolong orang lain, walau dia terkadang juga mendapat perlakuan tidak pantas, tapi kalau itu bisa membuat hidupnya jauh dari bahaya, dia akan diam saja tidak berusaha melawan. Apakah ketika Hae-won tahu sebuah kebenaran tetapi dia bungkam menjadikan dirinya benar? Hae-won mungkin selamat dari bahaya yang (apapun) dia bayangkan bisa terjadi pada dirinya jika membuka mulutnya tetapi dengan menyembunyikan kebenaran, dia tidak akan selamat dari sebuah kesalahan. Penyesalan memang selalu datang terlambat namun tidak akan pernah sebuah usaha memperbaiki diri itu menjadi terlambat.

Hae-won tidak akan mendapat pelajaran tentang arti penyesalan dan hidup dari kota Seoul tetapi bisa dibilang dari tempat yang jauh dari peradaban, sebuah desa terpencil bernama Pulau Mudo. Ini bukan kali pertama Hae-won berkunjung ke desa yang jadi tujuan liburannya, dulu semasa kecil dia sering mengunjungi pulau ini untuk menengok kakeknya. Hae-won juga menjalin persahabatan dengan Bok-nam (Seo Yeong-hie), Bok-nam sekarang sudah berkeluarga dan punya satu anak perempuan, berbeda dengan Hae-won yang masih tetap singel. Tentu saja kehidupan disini jauh berbeda dengan di kota, serba sederhana, tetapi bukan masalah beradaptasi yang jadi perhatian Hae-won, melainkan terkejutnya dia dan tentu bagi penonton ketika melihat Bok-nam hidup setiap harinya dengan penderitaan. Karena sifat “acuh” Hae-won yang dibawanya dari kota, dia hanya bisa mengamati tanpa berniat bertindak. Pada saat Bok-nam yang begitu baik kepada sahabatnya itu semakin tertekan memikul beban penderitaan, disakiti serta disiksa secara batin dan fisik oleh orang-orang yang dia anggap keluarga sendiri, Hae-won sebaliknya sedang menumpuk dan memikul “dosa”-nya sendiri sambil terkuaknya rahasia demi rahasia yang juga melibatkan persahabatannya dengan Bok-nam.

[now playing: Marilyn Manson – Little Horn] “everyone will suffer now”. Jang Chul-soo sepertinya tahu betul bagaimana cara untuk menjerat penontonnya, saya pun tahu Chul-soo dengan “Bedevilled”-nya akan menghidangkan sajian balas dendam yang berdarah-darah, tapi bukan itu yang akan Chul-soo jadikan menu utama di film debutnya. Sekitar satu jam lebih saya justru disodorkan drama yang mengiris-mengiris emosi, itulah sebuah pilihan yang menurut saya tepat sebelum sisanya Chul-soo akan mencincang-cincang kita dengan urutan adegan balas dendam yang telah ia siapkan dengan tingkat kesadisan dan kebrutalan yang begitu matang. Didukung dengan naskah solid yang ditulis oleh Choi Kwang-young, kelihaian Chul-soo dalam mengesekusi setiap baris kalimat dalam naskah, yang menjabarkan kepiluan Bok-nam, kejahatan pulau Mudo, kebodohan Hae-won, dan terakhir sebuah kebrutalan manis, langsung terlihat begitu kita sampai di desa terpencil yang hanya bisa diakses dengan perahu tersebut. Chul-soo sudah berhasil membuat saya begitu penasaran dengan apa yang terjadi dengan Bok-nam, itulah umpan menggiurkan Chul-soo yang akhirnya membawa saya ke sebuah kenyataan pahit, membuat saya tidak sadar hampir saja meneteskan air mata (walau pada akhirnya tetesan air mata tersebut jatuh juga di ending film) melihat kekejaman dalam lingkaran keluarga Bok-nam, sebuah pulau yang menyembunyikan kekerasan pedih yang baunya tak tercium ke dunia luar.

Oh Tuhan, saya tidak tahu apa jadinya jika Chul-soo dengan “lugunya” menambahkan skrip aslinya ke dalam adegan di “Bedevilled”, bagian yang memperlihatkan dengan jelas Man-jong, suami Bok-nam, melecehkan anak perempuannya secara seksual. Tanpa ada adegan tersebut pun, film ini sudah begitu offensif dan provokatif, walau hanya samar-samar membayangkan perlakuan Man-jong kepada anaknya, kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Bok-nam. Yup segala perlakuan manusia “cacat” kepada Bok-nam memang jadi senjata ampuh untuk melumpuhkan hati untuk akhirnya dengan tulus saya ikut memikul penderitaan Bok-nam, ibarat kata rasa simpatik saya sudah begitu terikat kuat dengan orang yang Hae-won anggap sahabat tersebut. Saya meminum tetesan demi tetesan penderitaan yang keluar dari setiap jengkal tubuh Bok-nam, itulah kenapa ketika dia mengangkat sebuah celurit dan berkata “cukup sudah”, restu saya menyertai dengan tulus bersama Bok-nam yang akhirnya akan memanen apa yang sudah tertanam dalam dirinya selama ini, saya pun ikut mengangkat celurit tinggi-tinggi memberi dukungan.

Oke setelah “Bedevilled” sukses memainkan dan mengaduk-ngaduk emosi saya selama lebih dari satu jam, Chul-soo juga berkata “cukup sudah”, saatnya dia melepas monster yang dia ciptakan, melepas ketegangan, membiarkan saya tercabik-cabik oleh manisnya Chul-soo mengesekusi aksi balas dendam Bok-nam. Walau bisa terbilang dianak-tirikan, dengan porsi lebih sedikit, bagian paling brutal dari film ini menurut saya memang sudah diporsikan dengan sangat pas. Chul-soo betul-betul memanfaatkan sisa waktunya untuk menghabiskan persediaan darah bohongan-nya, dia membuat “Bedevilled” yang pada paruh pertama begitu menyakitkan, sekarang berubah menjadi begitu berdarah, sadis, dan sinting-nya masih dikemas dengan begitu indah dan artistik. Chul-soo bersama dengan sang juru kamera, Kim Gi-tae, memperlihatkan kerjasama mereka untuk membuat Pulau Mudo ini terpotret dengan indah. Mau itu bagian yang memperlihatkan drama ataupun bagian yang sangat brutal sekalipun, adegan demi adegan mampu disajikan dengan visual yang indah, untuk akhirnya menjadi santapan mata saya, yang kala itu sedang menari-nari diatas kubangan darah korban-korban Bok-nam.

Tidak lengkap rasanya jika saya tidak berbicara soal performa akting Seo Yeong-hie—sebelumnya menjadi korban seorang serial killer di “The Chaser”—dan  Ji Seong-won di “Bedevilled” ini. Seo Yeong-hie yang berperan sebagai Bok-nam sudah menjadi pusat perhatian sejak kita datang ke pulau Mudo. Karakternya yang sudah dibuat matang dari awal divisualisasikan dengan luar biasa oleh Yeong-hie, saya begitu dibuat yakin pada aktingnya yang akhirnya menghantarkan saya pada kesimpulan eh Bok-nam memang sangat menderita, dengan wajah lugu dan tidak bersalahnya namun jelas saya tidak bisa dibohongi karena disana tersembunyi mata yang penuh penderitaan. Yeong-hie tak ada hentinya berhasil memainkan emosi saya ketika melihat betapa “bodohnya” dia biarkan dirinya tersiksa begitu saja, setiap perasaan senang, marah, bingung ataupun sedih tersampaikan dengan baik kepada penonton berkat akting apik Seo Yeong-hie.

Walau porsi layar Ji Seong-won tidak sebanyak Seo Yeong-hie, karakter Hae-won yang sama-sama dikerangkakan dengan kuat sanggup dilakonkan dengan baik. Berkaca pada Bok-nam, karakter Hae-won memang akan terlihat lebih kaku, tapi itulah yang sepertinya film ini ingin sampaikan, sosok Hae-won yang begitu kaku menggambarkan kondisi yang memang juga tertekan namun terlalu pengecut bertindak dan kaku dalam merasakan apa yang sebenarnya terjadi karena sisi manusiawinya yang lemah. “Bedevilled” atau dalam bahasa Korea Selatan diberi judul “Kim Bok-nam Salinsageonui Jeonmal” ini sudah jelas mampu disejajarkan dengan film-film bertema balas dendam yang sebelumnya sudah lebih dahulu menghibur. Jang Chul-soo sudah membuktikan dengan debutnya dia tidak main-main dan berteriak dengan lantang jika dirinya pantas untuk diperhitungkan, Korea pun sekali lagi membuktikan bahwa mereka sanggup menghadirkan kisah balas dendam dengan begitu sweet, dan tidak melulu soal kebrutalan yang dieskpos tetapi mengampak kita dengan cerita yang juga dasyat. Jika karya pertama Jang Chul-soo di “Bedevilled” ini saja sudah menggairahkan, saya tidak sabar melihat apa yang akan dia hadirkan di film kedua nanti… saya akan menunggu dirimu Chul-soo, seperti Bok-nam yang dengan sabar menunggu mangsanya untuk dia bantai.