This Christmas everyone will believe in Santa Claus

“Rare Exports: A Christmas Tale” mungkin akan terlihat seperti sebuah film natal, yah disana ada judul yang mengkait-kaitkan film ini dengan hari dimana anak-anak mengantri untuk sekotak hadiah, berharap santa klaus turun melalui cerobong asap dan membawa kado. Film asal negeri Skandinavia ini juga bersetting salju, lokasi yang tempat untuk memulai kisah natal yang menyenangkan, tokoh utamanya juga salah-satunya seorang bocah, jadi lengkap sudah bayangan saya akan sebuah film liburan yang cocok ditonton bersama keluarga. Tapi percayalah bayangan akan film natal yang normal akan langsung musnah ketika Pietari (Onni Tommila) membuka buku yang berisi halaman-halaman yang menguak sosok santa klaus yang sebenarnya, menurut mitos turun temurun yang dipercaya oleh orang-orang Finlandia. Sosok pria berjanggut yang kita kenal ramah lalu berseragam serba merah, menaiki kereta yang ditarik rusa dan terbang dari satu rumah ke rumah lainnya, memberikan kado bagi anak-anak yang berbuat baik selama setahun penuh ini, tidaklah sama dengan gambaran buku yang dibaca oleh Pietari.

Jangan pernah mengharapkan hadiah dari santa klaus atau sinterklas versi Finlandia ini, karena Jalmari Helander, sang sutradara yang juga merangkap sebagai penulis ceritanya bersama dengan Juuso Helander (kedua kakak-beradik ini juga membuat 2 film pendek sebelum ini, “Rare Exports Inc.” dan “The Official Rare Exports Inc. Safety Instructions 2005”) telah memelintir latar belakang pria tua yang tinggal di kutub utara tersebut jadi terkesan seperti “monster”, yang tidak lagi mencari anak-anak baik tetapi justru anak-anak nakal untuk diberi “pelajaran”. Kita tahu seperti apa penampakan sinterklas, sudah banyak film yang menterjemahkan rupa pria yang terkenal dengan gaya khas tertawanya “ho…ho…ho…ho” ini, bahkan kita bisa melihat sinterklas muncul di banyak mall, pada saat natal tiba, bermain, memangku, dan membelai-belai dengan sayang anak-anak yang tidak sedikit dari mereka justru menangis karena dipaksa orang tuanya berfoto bersama sinterklas. Jika sosok sinterklas tersebut digantikan oleh sinterklas versi “Rare Exports: A Christmas Tale”, saya yakin tidak hanya anak-anak menjerit ketakutan tetapi juga para orang tua pun akan menangis histeris melihat sinterklas berubah menjadi lebih jelek dari “Hellboy”, si bocah neraka itu pun pastinya dibuat malu karena kalah gahar.

“Rare Exports: A Christmas Tale” memang akan seperti sebuah kado natal berisi mimpi buruk, tapi Jalmari Helander juga tidak mengemasnya sekelam apa yang saya bayangkan sebelumnya, barisan ceritanya justru mengisahkan sebuah petualangan berbalut fantasi dan horor yang bisa terbilang sangat seru, dengan dipandu oleh Pietari yang berubah dari bocah lugu menjadi jagoan pemberani. Filmnya sendiri mengawali kisahnya dengan sebuah proyek yang dilakukan oleh orang-orang Amerika, bersama dengan seorang yang sepertinya ilmuwan, mereka melakukan penggalian rahasia di sebuah gunung tanpa diketahui penduduk setempat. Selang beberapa lama, mulai terjadi peristiwa-peristiwa aneh di kota kecil dimana Pietari dan ayahnya (Jorma Tommila) tinggal, penduduk lokal seperti ayah Pietari dan teman-temannya sangat bergantung pada rusa-rusa sebagai mata pencaharian mereka, namun mereka mendapati rusa-rusa tersebut secara misterius mati. Mereka pun mencurigai apapun yang membunuh rusa-rusa mereka ada sangkut pautnya dengan proyek orang Amerika diatas gunung tersebut. Pertanyaannya adalah apa? Pietari sebenarnya tahu, bukan apa tetapi siapa yang membunuh rusa-rusa tersebut, tapi sayang ayahnya tidak percaya dengan cerita anaknya yang hanya dianggap bualan anak kecil.

Jalmari dan Juuso Helander tidak hanya membuat cerita fantasi tentang legenda sinterklas versi lain tetapi membuatnya sangat orisinil. Sebuah cerita yang seakan menampar film-film Hollywood yang makin kesini dipenuhi remake dan reboot, film “Rare Exports: A Christmas Tale” telah mengimpor sebuah ide segar dari skandinavia dikemas juga dengan gaya bercerita yang sekarang ini akan terlihat langka. Film yang juga tayang di Festival Film Toronto ini memang tidak lepas dari alur bercerita khas belahan negeri Eropa, yang memompa tensi ceritanya dengan lamban, menyita perhatian kita dengan beberapa hal lain sampai akhirnya tanpa sadar kita justru sedang asyik melahap menit demi menitnya, Eropa selalu punya cara untuk mengurung kita betah di film-filmnya. Jalmari Helander pun memperlakukan film ini seperti itu, tenang seperti tidak terjadi apa-apa, santai untuk tidak terburu-buru mengejar durasi, sebaliknya Jalmari ingin kita berkenalan dengan para penduduk lokal, termasuk hubungan kuat antara Pietari dan ayahnya. Memperkenalkan kehidupan keluarga mereka yang sederhana dan sepertinya hampir bangkrut, namun ayah Pietari memang diperlihatkan sebagai orang yang tidak gampang menyerah dan sayang dengan anak satu-satunya, begitu pula dengan Pietari, walau kadang berlaku layaknya “pemberontak” kecil tetapi dia sangat menyayangi ayahnya. Sampai sebuah peristiwa aneh yang akhirnya makin menguatkan hubungan antara ayah dan anak ini.

Begitulah, Jalmari Helander memulainya dengan drama lalu perlahan-lahan melepas satu-persatu misteri yang kian memompa rasa penasaran ini untuk bekerja lebih keras. Siapa yang membunuh rusa-rusa tersebut? apakah gambar mengerikan yang terlukis di buku “dongeng” Pietari benar-benar nyata, dan kita akan melihatnya di film ini? pertanyaan demi pertanyaan pun mulai mengitari kepala saya, selagi Jalmari juga tengah asyik untuk memunculkan sosok misterius, yang bagi saya hanya menambah rasa penasaran ini makin mencapai titik didihnya. Jalmari benar-benar piawai dalam urusan membangun tensi film, berpondasi ide cerita yang dari awal memang menarik, dia berhasil mengesekusi setiap baris skenario untuk berjalan sesuai rencananya dan tentu saja dia juga sukses membuat penonton nyaman melahap setiap misteri demi misteri yang dia beberkan. Pada saat kita sedang dipaksa menggali jawaban akan misteri ini, Jalmari segera menjejalkan kita lagi dengan kisah-kisah fantasi berkaitan dengan keberadaan sosok misterius yang dipercaya dalang dari peristiwa aneh yang terjadi di kota.

Dari fantasi, Jalmari mulai menaikkan intensitas ketegangan, meleburkan cerita dengan sedikit horor, tetapi jangan bayangkan sebuah horor yang diarahkan untuk membuat penontonnya berteriak-teriak tidak jelas. Dari awal pun bagaimana Jalmari mengemas film ini, atmosfir horor memang sudah sangat kental terasa, dipadu-pandakan dengan visual lanskap Finlandia yang serba putih, yang sayangnya jarang diekspos keindahannya oleh Jalmari. Pada akhirnya misteri, horor, fantasi (dan juga sedikit black comedy) saling menopang, berkolaborasi, dan bermetamorfosis menjadi satu aksi petualangan bocah kecil untuk menjadi pahlawan bagi kota dan juga membuat bangga ayahnya, cukup mengharukan dan menyenangkan. Bocah ini dimainkan dengan sangat gemilang oleh Onni Tommila, yang dari awal sudah mampu menyita perhatian dengan aktingnya yang berkembang bertahap demi bertahap sejalan dengan karakternya yang memang diberi porsi lebih banyak oleh Jalmari. Secara keseluruhan “Rare Exports: A Christmas Tale” adalah kisah epik yang sanggup memutar kepala saya 180 derajat untuk mempercayai kisah sinterklas versi lain ini. Dengan ide orisinil yang dikemas dengan sangat menarik, film horor-fantasi ini pun menjadi sebuah kado spesial untuk jadi tontonan wajib setiap hari natal tiba. Sekarang mari kita senyum dan menjadi anak baik…jika tidak ingin didatangi oleh Santa Klaus yang diimpor dari Finlandia ini.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/30268213560344576