Ketika pocong tak lagi loncat

Saya tidak akan terkejut apabila setelah film “Pocong Ngesot” turun dari layar bioskop, akan ada film “Pocong Ngepot”, “Pocong Ngerangkak”, atau “Pocong Nge-boikot”. Saat dunia hiburan bioskop tanah air sedang terganggu kisruh antara importir film melawan pemerintah soal pajak, yang mana pada akhirnya (lagi-lagi) membuat “sesangsara” calon penonton bioskop alias rakyat karena beberapa film Hollywood yang seharusnya sudah tayang justru untuk sementara harus dikarantina sampai waktu yang belum ditentukan, kecemasan lain pun timbul, bagaimana nasib film-film luar lainnya, apalagi mulai bulan Maret sampai selanjutnya memasuki musim panas—yang notabennya diisi oleh film-film mega blockbuster—berjejer daftar film paling ditunggu, apakah film-film tersebut akan ditunda juga? tapi di luar itu, dengan adanya kisruh ini, bisa dibilang ada sisi positifnya juga. Apa-apa yang sebelumnya diketahui hanya segelintir orang, sekarang satu-persatu muncul ke permukaan dan publik pun tidak lagi buta. Banyak yang mulai menulis A sampai Z, dari film nasional yang selama ini dibebani pajak yang keterlaluan sampai daftar para pemain besar yang selama ini memonopoli impor/distribusi film di Indonesia.

Yah semoga masalah ini ada solusi terbaik (butuh proses yang tidak instan memang), film lokal “diselamatkan”, pemerintah mau “melirik” para sineas berbakat negeri ini, film nasional yang bermutu mendominasi bioskop, dan akhirnya penonton senang karena mereka punya pilihan menarik, film Hollywood serta film nasional yang berkualitas. Tapi untuk sekarang saya harus bersabar dengan film-film “cepat saji” yang masih aja bisa ngesot dan nyelip (nah nanti ada juga judul “Pocong Nyelip di Kancut) di jadwal tayang bioskop. Film-film seperti “Pocong Ngesot” semoga tidak melihat peluang “kisruh” ini sebagai lompatan aji mumpung, sebuah mimpi buruk bagi bioskop tanah air jika seluruh studio nantinya diisi teman-teman pocong, dari dedemit cebol gunung sebelah sampai kuntilanak botak goyang striptis. “Ketika pocong tak lagi loncat” seharusnya diganti saja, ketika pocong tak lagi punya wibawa sebagai hantu lokal, mendengar kata pocong saja kita sudah bosan, apalagi dengan adanya tambahan embel-embel “ngesot” malah tambah me-muntahkan, bukan muak lagi. Seharusnya asosiasi pocong sewilayah Indonesia perlu tuh mengadakan boikot untuk tidak lagi tampil di film-film horor yang hanya bisanya melukai harga diri mereka sebagai hantu pocong. Alih-alih menakuti orang, pocong kini bisa dipukuli sendal, dikeroyoki sambil ditutup keranjang, dikentuti, ditampar, sampai disuruh bergoyang striptis. Oh iya saya lupa, “Pocong Ngesot” ini kan komedi horor, jadi wajar saja kalau ada adegan-adegan norak tersebut, wajar juga dong kalau saya muntah.

Nayato tetap akan menjadi Nayato, setelah saya sempat “memuji” (sekarang jadi agak menyesal) dia di “Kalung Jailangkung”, sutradara paling produktif tahun lalu ini kembali ke alamnya, dengan membuat film yang lagi-lagi hanya numpang taruh poster di bioskop dan laku tidak laku urusan belakangan, yang terpenting ada judul pocong-nya. “Pocong Ngesot” kembali menghadirkan pemain dan terutama lokasi yang sama, bedanya kali ini peran sentral Zaky Zimah, yang di trilogi komedi horor sebelumnya jadi ujung tombak untuk menciptakan kelucuan, sekarang digantikan oleh Aziz Gagap. Mungkin karena Nayato sendiri sudah bosan atau karena keduanya, Aziz dan si pocong, punya kesamaan yang jelas, lihat saja mereka sama-sama punya jambul  (krik…krik…krik, garing banget nga sih). eh ada Leylarey Lesesne, nama yang tidak asing di film-filmnya Nayato, karena dia memang anak kesayangannya, entah kenapa jika ada Leylarey di film, pasti Nayato lagi-lagi “kesurupan” dan tidak tahan memasukkan adegan mandi beribu-ribu kali. Gaya khasnya memunculkan pocong demi pocong di kamar mandi pun ada difilm ini.

Saya sepertinya tidak perlu menjelaskan lagi panjang lebar sinopsis “Pocong Ngesot” ini, sudah lumrah di film-film dengan nama Nayato cs. terpampang sebagai sutradara jika cerita tak jadi persoalan penting, biarkan berantakan tak karuan, yang paling penting itu yah memasukkan sebanyak mungkin adegan penampakan hantunya. Cerita bisa dibilang hanya muncul terakhir, hanya sepersekian detik, itupun dipaksakan untuk menyibak tabir misteri siapa si pocong sebenarnya. Anehnya setelah terungkap, justru menimbulkan satu pertanyaan lagi (saya juga bodoh kenapa harus serius memikirkan logika di film yang memang dibuat tidak serius), jika yang dibunuh itu seorang wanita kenapa yang muncul malah pocong laki-laki, jeng…jeng..jeng! plus berkeliaran juga tuyul-tuyul yang entah nyasar dari mana, berlarian tidak jelas yang perannya pun dipertanyakan, mau bergabung dengan pocong menakuti film ini atau main lari-larian bersama kak Leylarey.

Saya lupa kapan tepatnya hantu-hantu ini mulai dimunculkan Nayato, yang pasti awalnya saja sudah tidak jelas, lomba makan cabe dengan pemain-pemain yang wajahnya sudah sangat familiar dengan akting yang tidak jauh berbeda, malah bisa dibilang sama saja. Tapi setelah muncul, saya tidak akan lupa wajah memelas si pocong, kelihatan sekali dia tidak ikhlas main di film ini, apalagi dipaksa ngesot. Lompat saja sudah sangat menguras tenaga gaib, eh sekarang disuruh ngesot, capek sudah pasti plus kain kafan yang baru saja di beli langsung kotor, itu menjelaskan kenapa muka pocong kecut selalu (seharusnya film ini diberi judul pocong kecut saja). Apalagi dengan memakai trademark ngesot yang sudah lebih dahulu dipakai suster ngesot, saya yakin si pocong tambah stress karena akan menghadapi gugatan cerai…eh maksud saya gugatan hukum, cong pocong apes banget nasibmu. Belum lagi di film ini dia dianiaya habis-habisan, dari ditampar sendal sampai diberakin, kelihatan sekali betapa jeniusnya “Pocong Ngesot” dalam urusan melontarkan komedinya yang garing didampingi oleh Azis dan kawan-kawan yang juga tidak pernah berhasil menghadirkan komedi yang benar-benar lucu, kompak pocong dan pemain sama garingnya. “Pocong Ngesot” untuk keseratus-ribunya hanya akan menjadi film Nayato yang sangat mudah dilupakan, bahkan mungkin ketika penonton mulai berdiri dari kursi bioskop. Kapan yah Nayato membuat film macam ‘Lewat Tengah Malam’ lagi?