Pantai tempat liburan berubah menjadi kuburan

Setelah sukses dengan “eksperimen” sebelumnya, “Air Terjun Pengantin” yang tembus angka fantastis lebih dari satu juta penonton di tahun 2009, lalu disusul dengan “Taring” di 2010 yang sama-sama mengedepankan horor dengan wanita-wanita seksi, Rizal tahun ini kembali dengan formula yang sama namun dikemas baru, well tentu saja kemasan yang dimaksud adalah unsur keseksian didalamnya dan sumber teror dari sosok monster berbeda, bukan lagi dedemit hutan Werenggini, melainkan sosok yang lebih kita kenal dengan sebutan Jenglot, semacam mumi citarasa lokal. “Jenglot Pantai Selatan” lucunya seperti sebuah jawaban Rizal untuk “Piranha 3D” hasil seduhan Alexandre Aja, banyak air, banyak wanita berbusana minim, banyak minuman, pesta, dan banyak kematian yang diakibatkan oleh makhluk bergigi tajam, sayangnya “Jenglot Pantai Selatan” tidak dirilis dalam bentuk 3 dimensi. Untuk urusan cerita, nama Alim Sudio lagi-lagi muncul setelah sebelumnya dia juga bekerja sama dengan Rizal di ATP dan Taring. Tidak heran jika nantinya “Jenglot Pantai Selatan” seperti gabungan antara dua film tersebut, bedanya yah lebih banyak keseksian yang diobral, apakah kalian siap berpesta?

“Jenglot Pantai Selatan”, untuk ke-seribu kalinya (tak apalah) dibuka dengan para anak muda penggila pesta yang berencana datang ke sebuah pantai perawan yang letaknya di selatan, untuk apalagi jika bukan menghadiri pesta paling gaul yang diadakan di pantai tersebut setiap tahunnya. Belum sampai 5 menit, film ini sepertinya sudah tidak tahan sendiri untuk “pamer” kebolehan bahasa tubuh yang dimiliki aktris-aktrisnya, sudahlah toh dari awal film ini memang dibuat seperti ini, justru jadi hambar jika minim adegan-adegan serba “terbuka” dan tidak penting, nikmati saja (lho?). Randy, Temmi, Denisa, dan Josh, serta adik Randy, Kemal, yang sudah dilarang ikut tapi menyusup dalam bagasi akhirnya sampai di pantai selatan tersebut. Di desa dekat pantai tersebut padahal tengah terjadi kehebohan dengan penemuan sosok berjuluk Jenglot, tapi pesta tetap berlanjut dan Randy dan kawan-kawan tidak peduli dengan berita tersebut. Ketidakpedulian orang-orang ternyata langsung memakan korban, Jenglot yang diklaim suka dengan daging ini mulai mencari mangsa. Jenglot ini termasuk monster yang tidak rakus ternyata, alih-alih datang langsung ke pesta yang dipenuhi manusia-manusia siap santap, Jenglot mengisi perutnya dengan satu dua cewek-cewek seksi tidak beruntung terlebih dahulu.

Siapapun pasti bisa menebak apa yang akan terjadi kepada cewek yang berenang sendiri di pantai, malam hari pula, lalu mandi dipancuran dengan asyiknya (silahkan lihat poster film ini), yah Jenglot pun sadar ini mangsa yang cocok untuk jadi makan malamnya. Bagaimana dengan sarapan dan makan siang? tenang, bang Rizal sudah menyediakan dua cewek seksi yang sedang berjemur—yang dieksploitasi kamera sedemikian nafsunya—untuk makan siang Jenglot yang jika digambarkan adalah gabungan antara “Kermit” sang kodok, piranha, Gollum, dan babi ngepet. Jenglot ini memang tidak kenal ampun dan tidak berperike-jenglot-an, karena memakan siapa saja yang dilihatnya sedang sendirian dipantai, termasuk cewek yang sedang asyik mengumpulkan kerang di pinggir pantai—sekali lagi dilahap oleh kamera yang kelaparan. Randy dan kawan-kawan tentu tak sadar jika pantai tersebut sudah dibanjiri darah korban Jenglot, hingar-bingar pesta pun tidak berhenti, sudah saatnya Jenglot jadi tamu istimewa di pesta tersebut…!

Saya tidak peduli dengan aksesoris seksi yang dimunculkan lewat wanita-wanita dengan “kelebihan” yang lebih ini, biarlah toh dari awal seperti yang saya bilang, image yang ingin dibangun oleh “Jenglot Pantai Selatan” adalah horor-dewasa-yang-seksi, jadi sah-sah saja jika diboyong sekumpulan pemain extra alias figuran untuk memadati pantai yang nantinya kaya akan warna-warni pakaian dalam. Tapi juga jadi mengganggu apabila adegan-adegan tidak penting diporsikan berlebih hanya untuk mempertegas jika film ini memang seksi, perlukah ada adegan cewek mencari kerang lalu “dibelai habis” seluruh tubuhnya oleh kamera selama beratus-ratus menit. Dampaknya tentu akan sangat buruk untuk cerita khususnya horor yang ingin dibangun, kenyataannya itulah yang terjadi dengan “Jenglot Pantai Selatan”. Banyak adegan lompat kesana kemari tidak jelas, dari adegan Jenglot memakan manusia ke pantai penuh bikini ke adegan-adegan numpang lewat lainnya yang hanya memperburuk kenikmatan penonton yang sepertinya memang sudah terlalu lelah mengikuti alurnya yang berantakan tak karuan.

Saya tidak mengerti bagaimana cara terbaik untuk menikmati “Jenglot Pantai Selatan” sebagai sebuah hiburan yang seutuhnya, hanya menikmati tubuh-tubuh mulus sajakah? karena hanya itu yang sepertinya dijual “murahan” oleh film ini. Menikmati horornya? saya tidak sanggup! 2 sampai 3 adegan Jenglot beraksi sudah cukup, selebihnya saya memohon kepada pemilik Jenglot ini untuk kembali mengurung Jenglot ke toples kacang lalu labeli dengan kata “gagal” berhuruf kapital. Saya akan maklum jika Jenglot nantinya akan disamar-samarkan penampakannya, tentu saja untuk menghindari penampilannya yang jelek terekpos berlebihan oleh kamera. Saya juga akan memaklumi adegan-adegan horor yang membosankan itu diulang berkali-kali, Jenglot akan minta gendong dan asyik menempel di bagian tubuh yang empuk, lalu giliran pemainnya yang harus kerja dua kali untuk menggerakkan Jenglot kesana-kemari agar terlihat meyakinkan.

“Jenglot Pantai Selatan” memang bukan film penuh efek canggih dan monster CGI, hanya bermodalkan boneka Jenglot dan mengandalkan akting pemainnya untuk kerja keras membuat boneka itu jadi nyata, itu saja sepertinya sulitnya bukan main. Lalu untuk melupakan sangat cheesy-nya film ini meramu horor, deretan adegan seksi kembali akan dilibatkan hanya untuk berharap bisa menambal wajah-wajah masam menjadi senyum. Banyaknya durasi yang dibuang hanya untuk adegan-adegan tidak penting tersebutlah yang berdampak juga pada hilangnya kesempatan untuk membangun horor yang lebih menggigit, sia-sia saja Jenglot sudah mengasah giginya setajam mungkin tetapi kemasan horor film ini sangatlah tumpul. Pantas jika saya sudah cukup “kenyang” sampai terasa mual dengan hanya 2-3 adegan yang bersusah payah untuk menakutkan tersebut, bukan karena darah, daging yang terkoyak dan isi perut yang terburai (yah film ini sadis lho), tapi karena sekali lagi saya menyebutkan kata membosankan! ditambah terlalu banyak adegan bodoh yang menghiasi 80 menit kencan saya dengan Jenglot di film ini.

Cerita sudah buyar tidak jelas (saya biasanya tidak peduli dengan cerita pada film horor jika horornya sanggup dikemas sebaik mungkin, cerita bagus adalah bonus), horor pun tercabik-cabik dengan pola yang membosankan, para pemainnya berakting ala kadarnya yang penting bisa berteriak dan bertampang lebih horor dari sang jenglot sendiri, dan tata suara sudah sukses memecah gendang telinga, ah tapi “Jenglot Pantai Selatan” berhasil survive sampai ke akhir film dengan ending yang tampaknya menjanjikan sebuah sekuel. Saya sendiri keluar bioskop berharap bisa berhasil melupakan 80 menit siksaan sinematik dari film yang hanya mengumbar keseksian ini bukan kengerian berasal dari Jenglot yang imut ini. Terlalu fokus menyorot wanita-wanita berbikini telah membuat “Jenglot Pantai Selatan” menumbalkan porsi horornya, tagline film ini “pantai tempat liburan berubah menjadi kuburan”, kuburan dicetak tebal dan merah tampaknya memang dimaksudkan untuk filmnya sendiri. “Jenglot Pantai Selatan” toh memang terkubur dalam kegagalan untuk menghadirkan horor yang menakutkan.