Enter the most haunted place in Singapore…if you dare!

Di tengah menjamurnya tren film horor bertema mockumentary/found footage, apalagi setelah kesuksesan film-film seperti: “REC” dari Spanyol, “The Last Exorcism” yang sempat nakring di posisi kedua box office pada minggu pertama penayangannya, atau Paranormal Activity, film dengan bujet rendah $15.000 yang diklaim sebagai film paling menguntungkan yang pernah dibuat, dengan pendapatan lebih dari $190 juta. Bukan tidak mungkin akan makin banyak film horor yang memakai gaya serupa dan mockumentary pun tidak terbatas untuk film horor, film fiksi ilmiah tentang penyerangan monster pun bisa dikemas dengan pola yang punya ciri khas mengambil sudut first person ini, contoh film tahun 2008 “Cloverfield”, Matt Reeves berhasil menghibur dan sekaligus membuat tegang penonton lewat film monster-nya yang dikemas ala dokumenter palsu tersebut. Bahkan film animasi CGI “Surf’s Up“ pun mengadaptasi pola hoax-documentary yang sama. Jika Hollywood memiliki franchise Paranormal Activity, lalu Spanyol dengan seri REC, yang tahun ini akan merilis film ketiga-nya berembel-embel “Genesis”. Di benua lain, yaitu Australia, found footage juga mengilhami para filmakernya untuk membuat “Lake Mungo” sebagai film tandingan.

Mockumentary sepertinya memang akan menjadi sebuah pilihan alternatif bagi filmaker untuk membuat entah itu film horor atau genre lain, karena sudah terbukti kemasan ala dokumenter yang dipopulerkan “The Blair Witch Project” ini memang akan menjanjikan sebuah keuntungan komersil, tentu saja dengan catatan dikembangkan dengan metode yang tidak monoton tetapi memang kebanyakan film horor yang memakai gaya seperti ini akan berbenturan dengan hal-hal klise yang sudah lebih dahulu dipakai film lain atau nantinya hanya akan dihakimi sebagai film yang menjiplak film si A atau si B. Seperti apa yang terjadi dengan “Keramat”, film horor Indonesia yang pertama kali mencoba mengadaptasi mockumentary, tidak sedikit yang menunjuk film ini sebagai karya yang hanya menyontek “The Blair Witch Project” atau “REC”, itu pun karena melihat gaya pengemasan ala dokumenternya. Padahal jika melihat dari cerita sudah jelas berbeda, yah walau tidak dipungkiri film ini juga tidak luput dari beberapa hal klise, tapi toh film ini masih punya beberapa kelebihan dalam bercerita ditambah dengan cita rasanya yang bisa dibilang begitu lokal dengan memasukkan unsur-unsur mistis yang memang sudah kita kenal sebelumnya. Saya pun bangga menyebut “Keramat” sebagai film horor yang tidak memalukan, bahkan bisa dibilang salah-satu horor lokal terbaik. Jika bertanya horor terbaik dari tema serupa, “Noroi” dari Jepang masing jadi yang paling terbaik dalam soal menciptakan mimpi buruk terindah.

Bagaimana dengan “Haunted Changi”? film horor berbasis legenda urban tentang lokasi angker yang juga dibalut dengan dokumenter palsu ini. Film horor yang digadang-gadang juga sebagai mockumentary pertama dari Singapura ini digarap dengan begitu semangat oleh para filmaker muda yang dengan begitu meyakinkan mampu membuat penontonnya percaya jika apa yang ditampilkan di layar bioskop adalah kejadian nyata. Ditambah lagi dengan kampanye promosi yang kreatif dengan memanfaatkan dunia maya dan juga memaksimalkan peran social media (seperti apa yang dilakukan oleh Paranormal Activity dengan TweetYourScream-nya). Haunted Changi sukses “membunuh” calon penonton sebelum mereka sempat menonton film ini lewat viral marketing yang unik. Dengan mengadaptasi apa yang sudah dibuat oleh “The Blair Witch Project”, para filmaker muda Singapura yang terdiri dari Andrew Lau, Sheena Chung, Farid Azlam (The Great Big Zombie Apocalypse), dan Audi Khalis, membuat BWP versi mereka sendiri, walau bujet rendah tapi tidak menghentikan semangat mereka merampungkan film indie yang secara mengejutkan mampu berbicara banyak ketika rilis di Singapura. Haunted Changi justru sukses menumbangkan film-film Hollywood pada saat itu dan menjadi nomor satu di box office Singapura, sebuah pencapaian yang luar biasa bisa juara di negeri sendiri.

Jika dilihat dari bagian demi bagian dan bagaimana cara Haunted Changi berupaya untuk menakuti penontonnya, memang film ini tidak menyuguhkan sesuatu yang terbilang baru, namun tidak serta merta menghakimi film ini sebagai horor yang lemah. Memanfaatkan sebuah cerita angker tentang rumah sakit Changi lalu dirangkai dengan plot sekelompok filmmaker yang melakukan eksplorasi supernatural di tempat tersebut, film ini ternyata mampu untuk memberikan poin-poin plusnya kepada penontonnnya. Kisah dibalik rumah sakit inilah yang tampaknya mengawali bayangan kita akan sebuah rumah angker yang memang menyeramkan, dan kenyataannya di Singapura rumah sakit ini sudah menjadi legenda tersendiri, terkenal akan cerita-cerita berbau hantu dan supernatural lainnya. Jadi sebuah langkah yang pintar dilakukan Andrew Lau beserta teman-temannya dengan memperlakukan rumah sakit Changi sebagai “selebritis” di film ini.

Rumah sakit Changi dikisahkan dulunya adalah sebuah barak militer ketika jaman perang dunia ke-2, kala Jepang sedang menjajah Singapura. Selain pantai-pantai di Singapura yang dipenuhi potongan kepala dan banjir darah warga sipil, Jepang juga mengururung banyak tahanan perang di bangunan yang kelak akan menjadi rumah sakit Changi. Di tempat inilah rumornya terdapat ruang penyiksaan dan terjadi banyak esekusi berdarah. Setelah perang berakhir, banyak tentara Jepang yang juga diesekusi di tempat yang sama karena kejahatan perang mereka, darah dibayar dengan darah. Pada tahun 50-an barak militer ini pun diubah menjadi rumah sakit sampai akhirnya pada 90-an rumah sakit pun dipindahkan dan gedung lama dibiarkan terbengkalai tanpa penghuni. Maka dimulailah desas-desus bahwa rumah sakit ini telah berubah menjadi tempat persimpangan mereka yang telah matis. Bermacam cerita seram pun menyebar dari mulut ke mulut dan hasilnya rumah sakit Changi jadi sebuah legenda urban di Singapura.

Saya tentu saja akan berharap bisa dikagetkan oleh penampakan-penampakan para hantu yang berkeliaran, hantu tanpa kepala misalnya atau hantu pontianak (sebutan mereka untuk kuntilanak). Namun ekspektasi tersebut ditepis langsung oleh Haunted Changi, karena kenyataannya film ini terbilang minim penampakan, tapi hal tersebut sekali lagi tidak menjadi alasan saya untuk berhenti menonton kok. Haunted Changi memang tidak banyak menampakkan apa yang sebenarnya kita ingin liat (hantu misalnya, memangnya apalagi) tetapi film ini punya kelebihan dalam urusan mengurung kita merasa penasaran, membayangkan kengerian tersebut di kepala sendiri, alhasil sepanjang lorong gelap dan terkadang sempit, Haunted Changi sukses membuat kita merinding sendirian. Haunted Changi seperti seseorang yang hafal betul bagaimana caranya menjabarkan sebuah kata ketakutan dan juga klaustrophobia. Ketika “penampakan” yang ditunggu-tunggu belum juga muncul, kita sudah dibuat lelah terlebih dahulu, bukan bosan melainkan lelah karena jantung ini dibuat berlari dengan atmosfir yang kesannya sempit, lembab, spooky, dan segala macam perasaan tidak menyenangkan yang teraduk menjadi satu.

Rumah sakit Changi benar-benar menjadi tersangka utama yang membuat segala horor atmosferik itu berjalan dengan mulus di sepanjang lorong yang dipenuhi deretan pintu kayu dan jendela yang sudah lapuk. Andrew Lau dan krunya pun dengan tepat bisa menangkap setiap keganjilan dan berantakannya lokasi tersebut, dari tembok yang penuh coretan grafiti sampai seorang perempuan yang katanya tinggal di sana (boleh percaya atau tidak) atau variasi bayangan yang pada akhirnya membentuk rasa penasaran kita semakin tinggi. Alasan saya tidak bisa meninggalkan tempat duduk yah hanya karena ingin rasa penasaran ini terpuaskan dengan jawaban dan Haunted Changi lumayan bisa mengatasi kejutan-kejutan untuk tidak dilepaskan secara bersamaan namun di saat yang betul-betul tepat. Kita akan jarang melihat adegan dimana kamera fokus berjalan dan menelusuri koridor-koridor minim cahaya, lengkap dengan kamera infrared, kita pastinya sudah bersiap-siap dengan siapapun yang akan menampakkan wajahnya di depan kamera. Tetapi uniknya (bisa juga kelemahan film ini) keinginan kita untuk dikagetkan selalu saja dikhianati, namun Haunted Changi selalu bisa membalasnya di saat kita justru sedang lengah atau momen tidak terduga. Teriakan pun pasti tercipta…

Haunted Changi juga mampu dimaksimalkan dengan akting para pemainnya yang cukup meyakinkan dalam memerankan diri mereka sendiri dan meleburkan dengan karakter yang memang sedang dimainkan. Bahkan sebelum film ini rilis, setiap pemainnya sudah berakting terlebih dahulu entah itu lewat facebook, twitter, ataupun blog sebagai usaha meyakinkan penonton dan menjaring mereka dengan viral marketing. Bagaimana dengan kemasan dokumenternya, saya bisa bilang cukup dibuat menarik dan bervariasi dengan tidak hanya memakai satu kamera, ditambah dengan kamera yang dipasang di helm dan teknologi infrared untuk memberi kesan spooky bertambah satu poin. Masing-masing kamera pun mampu mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menyampaikan setiap hawa tidak menyenangkan dari rumah sakit Changi kepada penonton, memberikan visual-visual ganjil yang lumayan meresahkan bulu kuduk (tapi saya cukup terganggu dengan tambahan efek-efek editing yang berlebihan) dan memaksa kita untuk berbaur bersama Andrew Lau dan timnya merasakan ketakutan mereka, kamera sudah seperti mewakili sepasang mata kita untuk awas pada setiap pergerakan ganjil, sensitif kepada pojok-pojok remang, dan bersiap untuk menutup mata ketika sosok menakutkan bergerak mendekati kamera. Haunted Changi mungkin jauh dari kata horor paling menyeramkan tetapi film ini sudah menghadirkan pengalaman horor yang unik, mengajak kita untuk akrab dengan rumah sakit Changi dan berkenalan dengan siapapun yang menghuni koridor gelapnya.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/23632842332315648