Setelah menyusun daftar film terbaik di tahun 2010, tidak adil rasanya jika tidak merilis daftar tandingannya, which is daftar film-film terburuk, well terlalu kasar nga sih bilang “terburuk” atau saya harus ganti dengan tidak menyenangkan, ah saya akan tetap pakai kata itu aja. Saya sebenarnya sudah sedikit menyinggung beberapa film yang tidak disuka dalam artikel opening sebelumnya, sangat disayangkan juga ternyata banyak film yang katanya jelek tidak berhasil saya tonton di bioskop atau setidaknya mengintipnya di DVD (resolusi 2011: harus lebih banyak nonton film yang tayang di bioskop lokal). Tidak pake lama dan tidak pake basa-basi lagi, inilah daftar film terburuk tahun lalu.

Film ini seharusnya cocok dijadikan trilogi, tanggung banget atuh menjabarkan kata-kata “Eat Pray Love” hanya dalam durasi yang terlalu singkat, sekitar 2 jam lebih, kurang—yah kurang menyiksa. Ryan Murphy tidak mampu mengolah racikan galau Julia Roberts dengan baik, satu-satunya yang dia kuasai adalah ketika berada di Italia dan menyajikan kudapan lezat bernama “Eat”, disini cerita begitu menarik sekaligus menciptakan rasa lapar hehe. Nah ketika tiba saatnya menjabarkan “Pray” dan “Love”, Ryan Murphy seperti sudah kehilangan chemistry-nya, daya tarik film ini perlahan pudar, dan saya berdoa agar film ini segera berakhir. Seharusnya Ryan Murphy tetap tinggal di Italia dan menghabiskan makanan, di bagian ini dia sukses membagi rasa menarik tersebut kepada penonton, tapi tidak dengan bagian-bagian selanjutnya, sebuah perjalanan yang membosankan.

Momen dimana momen kehilangan momennya: meninggalkan makanan enak-enak di Italia, berpisah dengan Richard Jenkins dan kembali melihat Julia galau untuk kesekian kalinya. Diperparah dengan melihat chemistry yang hampa antara Julia dan Javier Bardem. Satu ini memang tidak ada hubungannya, tapi melihat pemerintah begitu lebay menyambut film ini bisa dibilang termasuk ke dalam momen nga banget. Okay di film ini ada Bali dan juga beberapa sineas lokal, tetapi jadi tidak adil ketika ini adalah karya Hollywood yang sedang dipuja-puji, lalu apakah film lokal juga mendapat apresiasi yang sama dari mereka? banyak film tanah air yang mengharumkan nama Indonesia dia mata perfilman Internasional, tapi saya yakin pemerintah menengok pun tidak, apalagi ditonton lalu mengapresiasi karya sineas negeri sendiri ini, apakah saya terlalu berburuk sangka?

Ketika menonton ini saya sangat berharap Luc Besson tidak usah meneruskan film ketiga dari petualangan Arthur di negeri para minimoys ini, kenapa tidak membuat film seperti Leon: The Professional, atau setidaknya menulis untuk film-film seperti From Paris with Love atau Taken karena itu jauh lebih menghibur ketimbang dibuat bosan, menunggu, dan gantung oleh “Arthur and the Revenge of Maltazard”. Berbeda dengan film pertama yang menurut saya masih menghibur dengan cerita ringan ditambah dengan animasi yang lumayan bagus, sekuelnya justru tak ubahnya seperti sebuah “teaser” yang bisa dibilang tidak terlalu menceritakan apa-apa. Perannya sebagai jembatan antara film pertama dan kedua justru gagal, karena melihat film ini saya sudah lebih dulu malas melanjutkan film ketiga “Arthur 3: The War of the Two Worlds”.

Momen dimana momen kehilangan momennya: apakah saya sudah bilang jika sang musuh utama Maltazard berubah dari liliput menjadi sebesar manusia normal, entahlah menurut saya negeri minimoys saja belum begitu dimanfaatkan dengan baik, masih banyak yang bisa digali di negeri para peri kecil tersebut, eh ini Maltazard justru punya rencana lain mengusai dunia manusia, yang sayangnya tidak diceritakan di sekuel kedua ini tapi seperti yang saya bilang diatas, mesti menunggu film ketiga.

Bah kenapa film ini masih saja terus dibuat, jawabannya simple, tentu karena franchise Resident Evil begitu menguntungkan, sampai film ke-empatnya “Resident Evil Afterlife” franchise ini sudah mengantongi total pendapatan sebesar lebih dari $600 juta. Sejak film kedua bertajuk Apocalypse dibuat, saya sudah tahu bahwa film yang diadaptasi dari game terkenal ini akan dibawa ke cerita yang makin tidak jelas, ketika fans sudah berteriak cukup, Paul W.S. Anderson masih tetap keukeuh meneruskan Resident Evil sampai film ke-empat, yang kali ini dilengkapi dengan 3-D. Bukankah keren film zombie dibuat dalam kemasan tiga dimensi? tidak bagi saya, film ini penuh dengan aksi-aksi yang basi, dan zombie makin dipinggirkan menjadi figuran yang hanya numpang lari dan mati, eh udah mati kan yah. Alice makin kuat saja dengan kloningnya yang bikin pasukan clone di Star Wars akan merasa ciut, apa-apaan dengan seenaknya membuat heroine menjadi seperti superhero, sejak film ketiga saya sudah muak dengan segala macam superhero-thing ini. Percuma kayanya bilang muak klo ternyata saya masih nonton hahaha. Saya masih berharap Paul tidak melanjutkan film ini ke seri ke-5, ada baiknya me-reboot film ini dari awal, karena saya jujur suka dengan film pertama, apalagi dengan ending sangat menjanjikan dan mirip dengan game-nya.

Momen dimana momen kehilangan momennya: mengetahui Alice mempunyai klone yang jumlahnya ribuan saja membuat saja makin muak, duh di Resident Evil Afterlife, Alice malah membawa pasukan klone untuk menyerang markas payung, maksud saya Umbrella. Pastinya menjanjikan aksi-aksi yang hebat, tidak juga, dengan beberapa aksi ala film “Matrix” sudah cukup, lalu semua klone Alice in Wonderland ini dengan mudah dihancurkan dengan sekali ledakan, bodoh tapi saya senang Alice sendiri lagi. Oh jika di film Resident Evil Apocalypse kemunculan Nemesis begitu menyenangkan tapi akhirnya dibuat menyebalkan, Resident Evil Afterlife punya The Executioner atau Axeman, tapi nasib sialnya sama seperti Nemesis dijadikan pencundang, numpang lewat memberikan kesan film ini “gagah”, si monster raksasa yang membawa kampak ini harus pasrah jadi mainan Alice yang lagi-lagi dibuat keren dengan efek slow-mo ke-100 kali.

Legion seharusnya bisa jadi sebuah film yang menyenangkan dan menghibur, jika dilirik premis yang ditawarkan. Walau tidak menepis kemungkinan film bertema hampir sama dengan “Constatine” ini –dengan membawa unsur agama didalamnya–  hanya akan menjadi film biasa saja, apalagi dengan sinopsis yang cukup terbilang aneh “Tuhan yang bosan dengan manusia”. Tapi kenyataannya, film ini memang terjerumus masuk ke dalam jebakan “film buruk”. Scott Stewart setidaknya pintar membangun setting yang lumayan mendukung, tempat antah berantah dan sebuah restoran. Dalam pikiran mungkin akan terjadi pertempuran hebat antara pasukan Tuhan dan para jenderalnya. Pikiran positip tersebut langsung terbantahkan ketika film mulai mencapai paruh durasinya. Sayang sekali namun apa mau dikata, sutradara yang sebelumnya berkecimpung di dunia spesial efek ini seperti kehilangan arah, layaknya manusia yang diceritakan di film ini.

Momen dimana momen kehilangan momennya: nenek yang tiba-tiba berubah menjadi spiderman atau tukang ice-cream yang ternyata setan memang cukup “menghibur” dalam artian mampu memberikan ketegangan. Namun setelah malaikat lain muncul dalam misi untuk memburu Michael (Paul Bettany), semua mulai terlihat absurd. Pertarungan besar yang diharapkan terjadi antara kaki tangan Tuhan ini tidak sesuai dengan harapan, hanya duel satu lawan satu yang membosankan antara Michael dan Gabriel yang justru hampir saja diakhiri dengan mereka yang seperti akan berciuman. Ending film ini juga makin menghancurkan film ini, seperti ingin mengadaptasi film Terminator, bedanya tidak ada mesin melainkan Tuhan yang bosan dengan manusia dan iblis yang berkeliaran kesana-kemari mencari ice-cream. Tapi tidak ada daya tarik di penghujung film ini, hanya kisah yang dipaksakan berakhir tanpa greget untuk mengundang sekuel… semoga tidak.

Apa yang saya harapkan di film ini? jika semua elemen vampir dan adegan laga itu ditelanjangi, apa yang disajikan “Eclipse” hanyalah tak lebih dari kisah cinta segitiga yang dipanjang-panjangkan dan penuh dramatisasi tidak perlu. Dialognya yang aneh seperti itu (bertele-tele dan berjam-jam), penuh hal-hal berbau romantisme dangkal, yah memang disesuaikan dengan cerita film ini yang pada kenyataannya berada di dunia anak-anak sekolah bukan percintaan ala romeo dan juliet. Apa lagi yang bisa diharapkan ketika film ini juga sudah disegmentasikan untuk pasar anak-anak muda yang haus akan film yang berisi percakapan omong kosong, ringan, dan tidak perlu mereka harus berpikir lagi, ditambah dengan karakter-karakter yang dari awal sampai film ketiga ini tidak bisa lagi dikembangkan, karena sudah dari sananya dibuat ala-kadarnya.

Apa lagi yang bisa saya harapkan ketika film ini hanya mementingkan ketiga aktor utamanya, menjual sisi fisik mereka tanpa menggali lebih dalam aktingnya, saya percaya Kristen Stewart, Robert Pattinson, dan bahkan Taylor Lautner bisa berlakon lebih dari itu. Kombinasi yang sudah sempurna untuk sebuah drama yang hanya menawarkan efek semu tentang cinta. Jadi apa lagi yang bisa saya harapkan dari film ini? tidak ada karena dua modal awal saya menonton film ini (David Slade & adegan laga) sudah dihancurkan begitu saja, parahnya sejak menit pertama film ini. Adegan laga yang saya harapkan bisa menyelamatkan film ini hanya muncul sebagai “pemanis” yang pahit, pasukan vampir yang saya kira berjumlah ratusan ternyata hanya  satu angkot penuh. 

Momen dimana momen kehilangan momennya: pasukan vampir muncul dari air, susah payah menyebrang sungai hanya untuk diperalat dan dipaksa membunuh Bella. Maaf tapi Romero sudah melakukan adegan muncul dari air tersebut 5 tahun lalu dengan “Land of the Dead” (para zombie itu melakukannya lebih baik). “Eclipse” terima kasih sudah membuat saya mengantri untuk sebuah film yang istimewa dan tak terlupakan, yah tentu saja karena ketumpulan karakternya, kekonyolan ceritanya, dan seluruh kemasan yang buruk. Sudahlah, saya mau mendaftar menjadi anggota klub Jacob saja!

Strause bersaudara salah jika salah satu adegan kedatangan pesawat alien disini dapat membuat saja tercengang, karena adegan kemunculan pesawat alien di “Independence Day”-nya Roland Emmerich masih jauh lebih membuat saya merinding dan rasa kaget melihat pesawat alien nangkring di atas kota Johannesburg dalam film “District 9” masih belum bisa dikalahkan. Strause bersaudara pun semakin “rakus” ketika mencomot satu-persatu unsur-unsur dari film-film fiksi ilmiah sejenis, lalu mendaur ulangnya hingga terlihat serupa tapi tidak sama. Tak heran ketika menonton “Skyline”, saya merasa seperti menonton potongan-potongan film-film fiksi ilmiah terdahulu, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya: District 9, Independence Day, lalu dicampur War of the World. Namun kerakusan Strause bersaudara tersebut berimbas pada film ini yang justru makin terlihat berlebihan, ditambah pada saat mereka justru kehilangan “battleplan” untuk poin paling penting yaitu cerita. Strause bersaudara asyik menyiapkan permainan visual efek, kapal-kapalan, monster-monster, dan takdir para pemainnya namun lupa untuk memberi penonton sebuah alasan kenapa mereka harus betah duduk di bioskop ketika invasi yang paling mengerikan menyambut mereka…diinvasi oleh rasa bosan yang akut.

Momen dimana momen kehilangan momennya: selagi saya tidak merasakan hawa sebuah invasi alien yang sebenarnya, film ini dengan seenaknya menambal cerita dengan berbagai macam plot yang lebih mengesalkan, kabur dengan ferrari hanya untuk pamer lalu akhirnya dibuat mati, sok pahlawan dan sok keren hanya untuk dibuat mati juga, sampai adegan yang sanggup membuat adegan pesawat bunuh diri di Independence Day jadi tampak tidak keren lagi. Karena “Skyline” punya adegan fiksi-ilmiah romantis, dua pemain yang sudah dijemput ajal saling berciuman, melayang dihisap oleh kapal alien. Terlalu romantis dan mengalahkan semua adegan romantis yang ada di film Titanic.

“1,2 Freddy is comin’ for you… 3,4 Better lock your door…” penggalan kata-kata magis dari lagu hits milik Freddy Krueger ini ternyata sukses membuat saya tertidur lelap dan bermimpi buruk tentang keseluruhan film yang berubah menjadi buruk, seburuk wajah Krueger. Ketika Nancy dan kawan-kawan berjuang setengah mati untuk tidak tidur, apa pun akan mereka lakukan demi terbangun dengan mata terbuka, dari memasang alarm sampai menyuntikan cairan adrenalin ke dalam tubuh mereka. Tapi tetap saja, bisikan Freddy lebih manjur untuk membuat mereka terlelap mimpi lalu terbangun sudah berada di peti mati. Saya tidak harus melakukan itu semua, tidak perlu membakar pergelangan tangan hanya untuk terbangun dan terlihat keren seperti anak emo dengan sekeliling mata terhias hitam (alias kurang tidur). 15 menit awal film terbukti sudah berhasil membuat saya menguap, bukan karena saya menonton jam tayang di malam hari, tapi karena film besutan Samuel Bayer ini manjur membuat kantuk layaknya pil tidur murahan.

Momen dimana momen kehilangan momennya: Jackie Earle Haley saat memerankan Rorschach dengan suara serak-serak basah ala penyanyi dangdut siapa yang bisa lupa dia di film Watchmen. Sayangnya walau dipaksa bersuara serak-serak gatel tenggorokan, Jackie kali ini tidak bisa menjadikan karakternya, icon horor sepanjang masa Freddy Krueger, menjadi sesuatu yang wah, pesona kegelapannya belum bisa mengalahkan sang Robert Englund. Saya tidak akan menyalahkan dia, Samuel Bayer lah yang menjadikan Freddy kali ini sebagai “alarm” saja, membangunkan saya yang sudah dibuat tertidur oleh ceritanya. Bayangkan Freddy terus saja dipaksa mengasah cakar wolverine-nya, membuat bunyi-bunyian berisik, dan hanya disuruh mengulang apa yang pernah dia lakukan pada era 80-an. No more hide and seek, Freddy!

Semua yang berkaitan dengan sang avatar ini sudah salah persepsi, Aang seharusnya bisa menginspirasi penonton dengan aksi kepahlawanannya, tapi gagal ketika lagi-lagi dirinya harus berhadapan dengan hal-hal berbau “cengeng”. Karakternya plin-plan dan sepertinya setiap keputusannya bukan berasal dari keinginannya sendiri melainkan perintah ini-itu dari orang lain. Ditambah parah ketika dia sering sekali terjatuh di lubang yang sama, yah Aang benar-benar dibuat sebagai pemuda labil dan bodoh di film ini. Entah apa yang ada dipikiran Shyamalan ketika memutuskan untuk menyutradarai “The Last Airbender” dan mengemasnya menjadi tontonan membosankan selama 103 menit. Film ini adalah film musim panas yang paling anti-komedi, padahal jika melihat kartunnya, saya masih ingat Aang terlebih Sokka adalah duo komedian yang mahir membuat lelucon. Tapi di film ini, Shyamalan justru menciptakan dua karakter ini jauh dari kesan lucu, termasuk Aang yang terus saja merasa sedih dan murung sepanjang film (yah sampai akhir film dengan gaya menahan sakit perutnya). Apakah Shyamalan memang sedang tidak mood untuk sedikit rasa humor di film yang sudah salah kaprah ini?

Momen dimana momen kehilangan momennya: Aang digambarkan super-galau dari awal film, karakter yang tidak menyenangkan, tidak punya inisiatif, tidak juga inspiratif.

Dari segi cerita, film ini sama sekali tidak berkutik, sudah lebih dahulu K.O sebelum pertandingan yang sebenarnya dimulai. Berangkat dari tema balas dendam, jalan cerita selanjutnya sudah dapat ditebak, berujung klise dengan plot yang ringan dan mudah dicerna. Okay saya akan maklum jika Dwight bisa menghadirkan adegan-adegan laga yang mampu menginjeksi saya dengan larutan adrenalin dosis tinggi. Jika itu formula yang akan disajikan film ini, action diatas segala-galanya, saya akan bersalaman dengan Dwight. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, unsur action dalam film ternyata sama hancurnya dengan paket cerita-nya. Skema turnamen yang aneh dan disajikan secara tiba-tiba menjadi titik kelemahan fatal. Saat pertarungan dirasa akan berlangsung seru, belum saya berkedip, pertarungan sudah selesai. Padahal para petarungnya dilengkapi dengan biodata menyeramkan, ahli inilah ahli itulah, tetapi ketika giliran maju selangkah dia sudah tersandung dan kalah. Dwight juga membalut adegan laganya tanpa “soul”, tanpa turut membawa mood penonton untuk ikut ke arena turnamen. Alhasil sudah dapat ditebak, saya tak bersimpati sama sekali dengan tokoh utama dan satu-satunya harapan untuk menyelamatkan film ini lewat adegan laga-nya pun akhirnya terhempas jatuh terkena sabetan samurai Yoshimitsu.

Momen dimana momen kehilangan momennya: Yoshimitsu dikalahkan dengan hanya sekali pukul, WTF! ini satu-satunya karakter favorit saya di game Tekken. Setelah di RE Apocalypse, Nemesis dengan mudahnya dikalahkan dan dipecundangi oleh Alice, disini Yoshimitsu tak ubahnya seperti barang rongsokan yang siap dihancurkan. Dwight!!

“The King of Fighters” sudah sepantasnya mengubah judul, bukan lagi raja petarung tapi raja bosan, karena film ini lebih hebat mengisi slot durasi selama 90 menit dengan adegan-adegan tidak jelas dan membosankan ketimbang memancing tepuk tangan penonton dengan adegan laga. Adegan laga penuh perkelahian yang seharusnya menjadi daya jual film ini—selain porsinya yang sudah dikurangi karena Gordon terlalu sibuk mengemas pernak-pernik tidak penting diluarnya—tampil seadanya, lagi-lagi tidak digarap dengan maksimal. Muncul sedikit-sedikit diawal, adegan pertarungannya ternyata memang disiapkan sebagai penutup di 30 menit terakhir, namun tidak banyak membantu karena penonton sudah terlalu lelah menunggu. Pertarungan yang ditunggu-tunggu lama pun hanya tampil dengan koreografi yang kadaluarsa dengan olesan spesial efek bola-bola api yang sama sekali tidak membantu. Lengkap sudah “kejayaan” film ini ketika para pemainnya juga bermain “membosankan” dengan diberikan dialog-dialog panjang yang hanya membuat lelah telinga penonton yang mendengarkan, karena mereka hanya ingin mendengar suara tubuh terhempas ke tanah dan tulang-tulang diremukkan kepalan tinju. “The King of Fighters” membuat “Tekken” terlihat lebih bagus…sedikit.

Momen dimana momen kehilangan momennya: haruskah saya memberitahu apa momen yang paling buruk daripada menjadi yang paling buruk di daftar ini. Tahun 2010 sepertinya bukan tahun yang memuaskan untuk film-film yang diadaptasi dari game.

——————————–

Top 10 Worst Films of 2010

1. Eat Pray Love
2. Arthur and the Revenge of Maltazard
3. Resident Evil Afterlife
4. Legion
5. The Twilight Saga: Eclipse
6. Skyline
7. A Nightmare on Elm Street
8. The Last Airbender
9. Tekken
10. The King of Fighters