Selalu ada yang namanya pertama kali, tahun lalu saya tidak sempat mengumumkan film terbaik 2009 di blog ini (tahun-tahun sebelumnya juga nihil, walau pastinya setiap tahun punya daftar film-film pilihan). Jadi untuk pertama kalinya saya akan mengumumkan apa aja sih film terbaik pilihan tahun ini, 2010.

Inilah film terbaik pilihan saya di tahun 2010:

Gareth Edwards memberikan contoh terbaik dimana dia mampu menciptakan karya yang berkelas bermodalkan dana yang tidak seberapa dan efek spesial yang dibuatnya di dalam laptopnya sendiri. Hasil dari kreatifitas dan kerja kerasnya bergerilya ke Amerika Selatan bersama dengan tujuh orang krunya—termasuk dirinya dan dua orang pemainnya, untuk mengambil gambar, begitu spektakuler. “Monsters” dengan judulnya yang terbilang cukup provokatif tersebut, mungkin akan terlihat seperti sebuah film fiksi ilmiah yang bercerita tentang monster, memang benar tetapi Gareth mengambil sudut pandang yang berbeda, sebuah alternatif cerita yang justru tergeser dari pakem yang sudah-sudah. Fiksi ilmiah yang terbalut kisah romantis, atau justru sebaliknya, sebuah perjalanan dua anak manusia yang dipertemukan di waktu dan tempat yang salah, dipertemukan dalam latar belakang kehancuran diakibatkan invasi alien yang sudah bersarang selama 6 tahun. Tapi tidak menghalangi cinta untuk menemukan jalannya mempersatukan mereka yang tengah tersesat dalam hidup, film ini romantis, menegangkan, dan juga begitu indah.

Momen terbaik: Samantha dan Andrew beristirahat di sebuah reruntuhan bangunan suku Maya dan melihat tembok besar China yang pindah ke Amerika. Ending di film ini juga adalah momen terbaik, tapi saya tidak akan membocorkannya disini.

Sebuah thriller politik yang tidak hanya menyedot rasa penasaran tetapi juga menantang nalar untuk ikut berpikir, mengajak penonton untuk ikut serta bermain detektif bersama dengan Ewan McGregor, yang karakternya hanya diberi label “The Ghost”. Walau sang sutradara, Roman Polanski tersandung dengan sebuah kasus, namun tidak menyebabkan “The Ghost Writer” mati terkubur, film ini justru berhasil diselesaikan Polanski. Sejak kita mendarat di pulau terpencil dimana Adam Lang tinggal, mantan perdana menteri Inggris yang mempekerjakan “The Ghost” untuk menuliskan memoar-nya, kita sudah diajak untuk berkeliling pulau yang dengan brilian dipotretkan dengan indah. “The Ghost Writer” yang didaptasi dari novel “The Ghost” karya Robert Harris ini jauh memuaskan dari apa yang diekspektasikan. Walau bergerak dengan tempo tidak terburu-buru tapi film ini berhasil menghibur dengan jalan cerita yang tidak terlalu berat. Kisah konspirasi politik yang menarik dan layak untuk diikuti sampai selesai.

Momen terbaik: Ending film yang dikemas dengan memuaskan dan juga elegan. Walau ini bisa dibilang terbaik, tapi favorit saya adalah ketika “The Ghost” bermain kejar-kejaran dengan seseorang yang dianggap mengejarnya, lucu sekaligus menegangkan.

Film yang mengawali tahun 2010 dengan suguhan sinematik yang menghipnotis dan juga mengajak bermain dalam labirin menyesatkan, tapi berujung pada kenikmatan. Martin Scorsese sukses menggiring kita masuk ke dalam dunianya yang kelam dengan aroma ghotic yang kental bercampur dengan visual-visual mencengangkan yang mewakili isi kepala Teddy. “Shutter Island” menghadirkan atmosfir misterius, mewarnai film ini dengan ritme yang terbilang lambat di awal, namun tidak serta merta menjadikan film ini menjadi “kurungan” yang membosankan. Scorsese justru membiarkan kita larut dalam rasa penasaran yang dalam, mengijinkan kita untuk mengisi otak ini dengan pertanyaan-pertanyaan. Walaupun saya sudah mengetahui kemana arah film tapi sama sekali tidak mengurangi kenikmatan menonton, seperti menonton film ini untuk kedua kalinya, jadi saya bisa fokus membongkar misteri dalam “Shutter Island”.

Momen terbaik: Teddy bertemu dengan istrinya yang sudah mati dalam ruangan yang lama-kelamaan menghilang seperti terbakar, begitu juga dengan istrinya yang lambat laun mulai menjadi abu, visual yang mencengangkan!

“Kick-Ass” adalah film paling menyenangkan di 2010, dalam artian gw bisa mengobral kata-kata kotor, yup berlomba mengotori mulut bersama Hit-Girl. Melihat aksi-aksi superhero yang sama-sekali tidak diberkati dengan kekuatan super melainkan keinginan untuk membela sebuah kebenaran, film yang diadaptasi dari komik berjudul sama ini seperti sebuah pengabul impian para “kutu buku” komik. Membayangkan untuk menjadi superhero yang kita baca di komik adalah impian yang mengasyikkan, perasaan tersebut akhirnya diwakili oleh Dave Lizewski dengan kostum yang dia beli di internet. Matthew Vaughn membuat penggemar komik karya Mark Millar kegirangan ketika dia dengan apik bisa menterjemahkan setiap frame demi frame komik menjadi gambar bergerak yang begitu menggiurkan dengan aksi-aksi heroik yang terkadang terbalut kekerasan berlevel tinggi, Kick-Ass, Hit-Girl, Big Daddy, dan Red Mist berhasil menjadi idola tahun ini.

Momen terbaik: Kick-Ass untuk pertama kalinya bertarung mati-matian dengan preman untuk menyelamatkan orang tidak bersalah, aksi kepahlawanannya akhirnya berhasil didokumentasikan seseorang dan disebar melalui youtube, disaksikkan jutaan orang.

Takeshi Kitano is back!! “Outrage” adalah kisah bertema kriminal yang lengkap, sebuah kisah klasik yakuza berbalut intrik kekuasaan, penghianatan, dan tentu saja aksi brutal tanpa henti yang diperlihatkan oleh masing-masing klan yakuza yang berisi orang-orang bertato dan badass. Secara mengejutkan film ini juga tidak hanya menghibur ceritanya yang penuh kekerasan tetapi juga menghibur dengan kekonyolan, Takeshi Kitano cerdik menambahkan bumbu-bumbu komedi ditengah glamornya kekerasan. “Outrage” penuh dengan dengan twist, setiap karakternya juga mempunyai masing-masing agenda, semua karakternya menjadi penting karena mereka satu-persatu berperan dalam membangun plot yang sebenarnya sederhana namun terlihat “berantakan” karena diisi oleh sub-plot yang menumpuk namun menarik. Takeshi Kitano berhasil mengajak kita ke dunia bawah tanah Jepang, memperkenalkan dunia yakuza yang keji, licik dan tidak memberi ampun.

Momen terbaik: Semua kebrutalan yang diperlihatkan Otomo (Takeshi Kitano), dari menyayat muka underboss dari klan sebelah, menusuk kuping seorang koki dengan sebuah sumpit, sampai datang ke sauna dan dengan seenaknya main tembak.

F**k you Cortes!” bagaimana dia bisa membuat film ini begitu emosional, tidak hanya pintar mengarahkan Ryan Reynolds untuk memaksimalkan performanya, tetapi juga dia sanggup membuat setiap emosi Reynolds untuk berinteraksi dengan penontonnya. “Buried” pun tidak hanya pintar memanipulasi emosi, mengingatkan akan sebuah mimpi buruk, tetapi juga sanggup membuat kita senantiasa berada di posisi tersudut, mencekam dengan setiap ketegangan yang dimasukkan Cortes sekop demi sekop sampai akhirnya saya terkubur dengan ketegangannya. Film ini dengan mudah menjadi salah-satu yang terbaik dengan hanya bermodalkan satu pemainnya yang bermain cemerlang dan hanya satu tempat sempit bernama peti mati, tapi bagaimana Cortes mengesekusi skriplah yang membuat film ini melebar menjadi karya yang secara mengejutkan amat brilian.

Momen terbaik: tidak ada yang lebih baik daripada ending film ini! saya yang sudah merasa sesak dan kehabisan oksigen akhirnya terkubur bersama harapan.

Hey beruntung sekali saya bisa menonton film ini di bioskop di menit-menit terakhir di bioskop sebelah yang terima kasih masih memutarnya, ketika di jaringan bioskop yang satu itu sudah tidak terlihat lagi judul “The Social Network”. Dilihat secara kasat mata mungkin film ini tidaklah berbeda dengan sebuah film drama remaja, namun di tangan seorang David Fincher semua tertata dengan brilian, dari esekusi skrip yang ditulis oleh Aaron Sorkin, membangun cerita yang tidak hanya mengisahkan kisah dibalik situs jejaring sosial Facebook, tetapi juga mampu mem-profil-kan setiap karakternya dengan baik. Ini bukan hanya tentang Facebook di awal kelahirannya, tetapi juga potret kenangan yang diisi dengan bagaimana setiap orang yang terlibat dalam situs bernilai miliaran dolar ini menuliskan siapa mereka yang sebenarnya (about me), siapa teman mereka, siapa musuh mereka, siapa saingan mereka. David Fincher pun mampu memaksimalkan setiap pemainnya untuk melakonkan setiap profil yang ada. Termasuk Jesse Eisenberg yang bermain luar biasa sebagai penemu Facebook, Mark Zuckerberg. “The Social Network” pun dengan mudah membuat kita meng-add mereka sebagai teman, teman terbaik.

Momen terbaik: opening-nya benar-benar membuat saya sulit berkedip, melihat sebuah percakapan terbaik tahun ini antara Jesse Eisenberg dan Rooney Mara, sebuah adegan putus yang dikemas dengan dialog brilian, diibaratkan sebuah roller-coaster kata-kata.

Menulis tentang film ini selalu saja membuat saya ingin kembali menjenguk paman yang satu ini, alias ingin menonton lagi “Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives”. Sekali lagi saya beruntung bisa menonton ini di layar lebar, thanks to JIFFEST, walau sebelumnya batal karena kasus refund tiket, untungnya ada yang berbaik hati memberi tiket, eh menjual maksudnya. Ini pengalaman pertama saya mencicipi karya Joe dan saya langsung jatuh cinta sekaligus dibuat kebingungan dengan filmnya tetapi disitulah poin keasyikannya. Joe mengemas film ini dengan sangat unik, menggabungkan nilai-nilai filosofis kehidupan, mistis, dan juga legenda dan dituangkan dalam kehidupan sehari-hari paman Boonmee yang sedang menunggu ajalnya tiba. Setiap bagian film ini dinarasikan dengan begitu menghipnotis, Joe menuturkannya dengan tidak biasa, ada bagian yang yang bersahabat dengan humor-humor sederhananya ada juga bagian yang memerlukan kerja keras pikiran untuk membongkar apa yang sebenarnya dimaksud oleh Joe. Paman Boonmee memang berjalan pelan, tapi bagi saya itu termasuk salah-satu kebaikannya, tidak ingin terburu-buru dan tidak ingin meninggalkan penontonnya tertinggal sambil kebingungan. Paman Boonmee benar-benar menjadi paman yang terbaik!

Momen terbaik: melihat satu keluarga berkumpul di malam yang gelap, ada Boonmee, adik iparnya Jen, lalu keponakannya Tong, obrolan mereka pun bertambah ramai ketika Istri Boonmee yang sudah meninggal datang, disusul dengan si kera hitam.

Sangat sulit untuk memilih film animasi yang benar-benar terbaik, saya menyukai “How To Train Your Dragon”, begitu juga tertarik dengan “Rapunzel”, lalu tidak bisa lupa dengan para Minions di “Despicable Me”. Tapi saya sudah terlanjur mencintai kisah para mainan di “Toy Story 3”, Woody dan Buzz sudah sukses mencuri hati saya. Tidak perlu cerita bertele-tele yang hanya mengandalkan visual efek super-canggih namun pada akhirnya justru mengecewakan. Pixar memberikan kita kisah mainan yang sederhana namun penuh arti sekaligus punya efek tak tertandingi ketika berhasil mengetuk hati lewat tema indah dari persahabatan, bersalaman dengannya, dan mengikat persabahatan itu selamanya. Walaupun kisah mainan ini berakhir di seri ketiga, bisa dibilang ditutup dengan sempurna di seri ini, saya tidak akan pernah melupakan betapa Woody, Buzz, dan teman-teman mainan di “Toy Story” sudah saya anggap mainan saya sendiri, saya hidup bersama mereka, ini bukan perpisahan. “And as the years go by, our friendship will never die” sebait lirik lagu yang dibawakan Randy Newman sudah mewakili perasaan tersebut.

Momen terbaik: Andy dan Bonnie bermain bersama Woody, Buzz dan mainan lain.

Nolan adalah sang arsitek layaknya Ariadne, membangun film ini menjadi sebuah labirin daya khayal yang menyesatkan kita. Kontruksi kokoh ceritanya menopang dengan kuat segala imajinasi yang ditumpahkan Nolan. Tidak hanya sebagai arsitek, Nolan juga berperan sebagai konduktor yang menyelaraskan melodi orkestra antara efek visual, plot, dan lakon untuk “bersuara” secara beriringan dengan tempo yang teratur. Nolan sukses bercerita dalam visualnya yang menggoda dan secara bersamaan dengan merdu dapat berkomunikasi dengan penontonnya lewat dialog-dialog pintar, entah itu berupa narasi atau percakapan yang mencerahkan penonton atas pertanyaan yang hinggap tentang dunia mimpi Nolan ini. Film ini betul-betul bisa menuntun penontonnya dari adegan ke adegan dengan sempurna, kita tak akan dibiarkan untuk lepas dari pegangan, berkat cerita yang begitu erat mengikat kita dengan rasa penasaran, ketegangan yang mengasyikkan dan terakhir juga sanggup menyentuh kita dengan momen-momen emosional. “Inception” pun sukses ternanam selama berbulan-bulan di kepala saya, tidak ada satu film pun yang berhasil mencuri tempatnya untuk menjadi yang terbaik di 2010.

Momen terbaik: perkelahian Arthur di lingkungan anti-gravitasi, luar biasa epik!

——————————————

Opening: Berkesan, Mengecewakan, Terburuk, dan Terbaik di 2010

TOP 10 FILMS OF 2010:

1. Inception
2. Toy Story 3
3. Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives
4. The Social Network
5. Buried
6. Outrage
7. Kick-Ass
8. Shutter Island
9. The Ghost Writer
10. Monsters

Honorable Mentions:

1. Let Me In
2. How To Train Your Dragon
3. Waiting For Superman
4. Soul Kitchen
5. Honey (Bal)