Hide and seek…with zombies!

Film zombie selalu identik dengan gore-nya, usus terburai, daging terkoyak, semburan darah, dan kepala-kepala tertembus peluru. Belakangan ini kesadisan-kesadisan yang di-obral tersebut juga ditampilkan tidak serius, dengan munculnya genre zombie komedi. Jadi sambil meringis melihat manusia-manusia tercabik oleh mayat yang kelaparan, kita juga bisa tertawa melihat kebodohan-kebodohan setiap karakternya atau zombie-zombie itu sendiri, seperti dalam “Shaun of the Dead”, “Doghouse” atau humor kelam di film zombie asal Norwegia “Dead Snow”. Virus zombie itu sendiri juga sekarang tidak lagi terkonsentrasi hanya di Amerika saja, setelah Eropa “terjangkiti” film-film zombie, virus ini juga sudah mulai menginfeksi Asia, termasuk Indonesia, sepertinya sub genre horor yang satu ini memang sudah mendapat perhatiannya kembali, setidaknya bisa menggeser tren film-film vampir yang sudah mulai membosankan. Kembali ke Eropa, Jerman tidak mau ketinggalan, mereka punya “Rammbock” yang diklaim sebagai film ber-genre zombie pertama dari negara yang juga melahirkan “Nosferatu” tersebut.

Debut feature film pertama dari Marvin Kren ini menceritakan Michi (Michael Fuith), yang sedang patah hati setelah putus cinta tapi harus berpergian jauh ke apartemen sang mantan kekasih hanya karena ingin mengembalikan kunci apartemen, sekaligus berharap ketika ketemuan lagi bisa CLKB=Cinta Lama Bersemi Kembali (so sweet). Tapi malang tak bisa ditolak untung tak dapat diraih, tidak menemukan Gabi mantan kekasihnya, dia justru malah menemukan sekumpulan orang yang sudah berubah menjadi zombie-zombie kelaparan, berwajah seram dengan tatapan mata putih kosong. Michi beruntung masih bisa selamat dan tidak tergigit, sekarang dia terjebak bersama seorang remaja bernama Harper (Trebs). Zombie yang berkeliaran di luar apartemen makin membuat Michi makin kebingungan tentang keberadaan Gabi, ditambah kejadian aneh yang tiba-tiba terjadi ini. Di gedung apartemen, Michi dan Harper ternyata bukan satu-satunya orang yang selamat tetapi masih ada beberapa penghuni apartemen yang bernasib sama dengan mereka.

Para survivor ini pun saling berkomunikasi dengan membuka jendela apartemen mereka masing-masing, lalu berteriak memanggil penghuni lainnya melewati lapangan yang memisahkan kamar mereka dan bertukar informasi tentang apa saja, termasuk bagaimana caranya selamat dari tempat tersebut. Menunggu apa yang akan terjadi sepertinya tidak akan membuat situasi membaik, ditambah zombie-zombie diluar yang peka terhadap suara apapun dan akan mendekati sumber suara. Terkurung jam demi jam tidak tahu apa yang harus dilakukan, makin membuat Michi semakin depresi apalagi tidak ada kabar tentang Gabi. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah mengambil telepon genggam yang terus berbunyi di tangga yang berada di luar, yang ternyata adalah hal bodoh pertama yang dilakukannya, karena tindakan bodoh tersebut malah memancing zombie-zombie makin masuk ke dalam apartemen dan menyisakan kamar sempit untuk Michi dan Harper. Bagaimana mereka bisa keluar dari kamar tersebut dan selamat?

Jadi apakah yang ditawarkan oleh “Rammbock”? penuh adegan sadis seperti tipikal film zombie pada umumnya, atau menambahkannya dengan nuansa konyol penuh komedi? “Rammbock”memiliki unsur-unsur khas tersebut tetapi yang jadi poin lebih dari film ini adalah Marvin Kren mengemasnya dengan ide yang sederhana bagaimana seorang biasa seperti kita (benar-benar biasa) bisa selamat dari sebuah “zombie outbreak”. Lihat saja, Michael Fuith yang memerankan karakter Michi, digambarkan sebagai laki-laki labil dan lugu, terus saja cerewet mempertanyakan mantan kekasihnya, terlihat lemah, dan sedikit menyebalkan, tapi toh Marvin Kren dengan jenius dapat mengubahnya menjadi seorang pahlawan. Semakin terpojok dengan situasi yang tidak menentu ternyata menjadi pemacu Michi untuk mengeluarkan kemampuan tersembunyinya bukan malah terjebak dengan rasa takut, oke dia memang ketakutan tapi otaknya terus berjalan untuk membawa dia dan penghuni apartemen lain keluar dari mimpi buruk ini.

Menonton “Rammbock” mengingatkan saya dengan zombie-zombie di 28 days later dan sekuelnya, orang-orang yang tidak beruntung sama-sama terinfeksi semacam virus “gila”, membuat mereka yang berubah ke “dark side” menjadi zombie-zombie yang aktif berlari kencang dan seperti binatang, kemampuan mendengar mereka sepertinya juga meningkat. Kelebihan yang dimiliki para zombie inilah yang senantiasa memberikan teror tersendiri bagi para “survivor” sekaligus ke penontonnya. Marvin Kren pun apik memainkan alur film ini, awalnya penonton diajak mengenal Michi dan penghuni lainnya, membiarkan penonton untuk memilah-milah siapa yang selamat dan dihabisi zombie, lalu terakhir tiba saatnya untuk Marvin Kren memainkan emosi penonton. Lokasi apartemen yang sempit pun dimanfaatkan dengan maksimal oleh Marvin Kren (seperti halnya di “REC”), setiap sudut kamar, setiap celah di apartemen tidak disia-siakan dan dijadikan lokasi “bermain” kucing-kucingan antara Michi dan zombie. Dengan “sempit”-nya durasi, Marvin Kren dengan cerdik bisa mengemas film ini untuk tidak bertele-tele, tanpa basa-basi dan terus menghajar penonton dengan ketegangan-ketegangan yang bisa dibilang menyenangkan.

“Rammbock” merupakan salah-satu contoh film zombie “low-budget” yang hebatnya dan secara mengejutkan bisa memaksimalkan seluruh bagiannya, dari talenta pemainnya hingga lokasi apartemennya itu sendiri. Michael Fuith memainkan porsi lakonnya dengan sangat apik, mengajak kita untuk terjebak bersama dengannya di apartemen lalu bersama-sama dengannya mencari jalan keluar terbaik untuk selamat dari para zombie. Saya pun suka sekali ketika Marvin Kren membuat karakter Michi ini berkembang hari demi hari, tidak selalu terkurung oleh suasana hatinya tapi bisa terus berpikir selangkah lebih maju. Hal yang sama juga berlaku pada filmnya sendiri ketika Marvin Kren membuat film ini selangkah lebih maju dari saya yang menontonnya, karena berhasil mengejutkan dengan cara Marvin Kren mengatasi zombie-zombie tersebut, bisa dibilang orisinil sekali dengan bantuan alat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tidak puas dengan satu-dua kejutannya, Marvin Kren juga menambahkan cerita “love story” yang luar biasa aneh ke dalam film ini, kisah romansa aneh inilah yang menjadi kekuatan film ini. Saya menyukai bagian ending-nya dengan alunan musik yang benar-benar luar biasa! film wajib tonton!

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/5450372999024641