In this crazy city if you want to survive you should more drastic than it

“Rumah idaman” bukan lagi hanya sekedar keinginan basa-basi, dapat syukur tidak dapat ya sudah dilupakan, bagi Cheng Li-sheung (Josie Ho) pindah ke apartemen baru dengan pemandangan pelabuhan Victoria, Hongkong, adalah obsesinya. Namun mewujudkannya adalah pekerjaan paling sulit ketimbang memimpikannya, apalagi dengan biaya hidup di Hongkong yang tinggi berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi Li-sheung yang tidak seberuntung orang lain. Li-sheung datang bukan dari keluarga yang berada, yang dengan mudah bisa memilih dimana mereka akan tinggal, sejak kecil dia dan keluarganya hidup bermodalkan hunian sempit, sampai-sampai Li-sheung harus berebut kamar dengan adik laki-lakinya, yang berakhir dengan dia ditampar oleh ayahnya. Masa kecil Li-sheung memang tidak secerah anak-anak lain, hiburan satu-satunya di tengah himpitan kesulitan ekonomi keluarganya adalah bermain dengan tetangganya di seberang apartemennya. Obrolan-obrolan lugu dengan alat komunikasi sederhana, benang dan gelas plastik, pun menjadi pengisi hari-hari Li-sheung kecil.

Li-sheung tumbuh dewasa membawa impian untuk pindah dari apartemen lamanya, tapi sejak kematian Ibunya semua terasa semakin sulit saja. Lalu ketika uang untuk membeli apartemen baru sedikit demi sedikit terkumpul dari dua pekerjaan yang dia jalani dan dia akhirnya berada sejengkal lagi dengan impian memiliki “Dream Home”, ayahnya tiba-tiba sakit parah. Uang yang sudah Li-sheung kumpulkan pun terancam untuk biaya besar pengobatan ayahnya, tapi dia tidak mau mengganggu uang tersebut dan lebih memilih meminjam uang lagi untuk mengobati penyakit ayahnya. Satu-satunya orang yang dia mintai pertolongan adalah pengusaha kaya beristri yang selama ini menjadikan Li-sheung sebagai istri simpanannya, namun bukannya mendapat uang pinjaman, dia justru diberi ceramah untuk tidak membeli properti disaat seperti ini dan lebih baik memakai uangnya untuk biasa pengobatan. Mimpi Li-sheung untuk merasakan apartemen baru pun makin buram saat harga saham ternyata melonjak naik dan pihak penjual apartemen tiba-tiba menaikkan harga tinggi.

Dibuat hancur oleh berbagai cobaan, akhirnya membuat gadis berparas cantik ini menutup mata dan hatinya, membunuh rasa kemanusiaannya, lalu membangkitkan wujud monster yang selama ini bersembunyi dibalik sebuah obsesi. Li-sheung pun mendatangi gedung apartemen yang menjadi incarannya, dengan sebuah niat “sederhana” untuk membunuh beberapa penghuninya, sekaligus “membunuh” harga apartemen yang dia inginkan. Semua orang punya obsesinya masing-masing dan punya cara masing-masing pula untuk mewujudkannya, Li-sheung juga termasuk orang yang sedang berjuang untuk mewujudkan obsesinya, mendapatkan apartemen impiannya. Apakah dia salah? Tentu saja jawabannya adalah tidak, obsesi tanpa kerja keras untuk menjadikannya nyata hanya akan menjadi mimpi belaka lalu hilang ditelan waktu dan juga kesempatan yang tidak pernah datang dua kali. Namun cara yang dipilih oleh Li-sheung adalah salah, ketika dia sebenarnya masih punya pilihan lain antara membunuh dan tidak membunuh, sedangkan korban-korbannya yang tidak beruntung tidak punya pilihan apa-apa kecuali kematian.

“Dream Home” (Wai dor lei ah yut ho) berhulu pada drama satir kehidupan dimana kita akan diajak sekilas melihat Hongkong dari kacamata Li-sheung, begitu kejam dan tidak memberi kesempatan sedikitpun pada orang-orang yang tidak beruntung. Seperti tradisi klasik kehidupan di kota-kota besar pada umumnya, siapa saja yang punya kekuasaan dan uang berlebih juga akan punya kesempatan jauh lebih besar untuk menikmati hidup, lalu mereka yang hidupnya saja sudah terbatas untuk makan sehari-hari hanya bisa pasrah untuk kalah. Selamat datang di hutan belantara, dimana hukum siapa yang kuat mereka yang menang berlaku setiap hari. Li-sheung harus rela melihat teman di seberang tempat tinggalnya terusir oleh oknum-oknum penguasa yang tunduk pada pengusaha kaya raya yang ingin mendirikan apartemen lebih mewah dan lebih mahal. Potret suram seperti itu juga terjadi di Jakarta, dimana mereka yang lemah hanya bisa tergusur untuk memberi tempat pada pusat-pusat perbelanjaan yang rakus dan gedung-gedung pencakar langit yang semakin sombong untuk melihat ke bawah.

Perlakuan Pang Ho-Cheung terhadap filmnya dengan tidak hanya fokus bercerita lewat adegan-adegan sadisnya tetapi juga menyelipkan background kehidupan Li-sheung pada masa lalu dan sebelum dia melakukan pembunuhan, ternyata memberikan kelebihan yang kuat pada “Dream Home”. Karena dengan potret-potret flashback yang diatur bercerita secara non-linier (alur maju mundur) bergantian dengan pertunjukan utama Li-sheung melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut, saya jadi punya alasan untuk memilih apakah harus bersimpati pada Li-sheung dan mengalungkannya dengan label protagonis atau sebaliknya mengutuk setiap tindakannya. Namun formula Pang Ho-Cheung ini juga bukannya tanpa celah kelemahan, karena ketika saya sedang diajak meluncur kencang bersama adrenalin, tiba-tiba Pang dengan asyiknya melempar saya ke flashback yang kembali membuat mood yang sudah tercipta pas, hilang begitu saja, adrenalin yang sudah mendidih pun seketika itu juga kembali didinginkan. Mungkin inilah cara Pang untuk memberi kesempatan penonton untuk bernafas sebentar dan sekali lagi mengumpulkan keberanian, sebelum “dijambak” lagi dan dihempaskan ke kubangan darah.

Mari kita tinggalkan drama mendayu-dayu yang hilir mudik di tengah tikaman nikmat yang Li-sheung hujamkan pada penontonnya. Sempat berselisih paham soal bagaimana film ini menampilkan keseluruhan kesadisan, Josie Ho yang juga duduk di bangku salah satu produser menginginkan film ini tampil dengan porsi kekerasan yang berlebihan, nah sedangkan Pang Ho-Cheung ingin mengemas kesadisannya masih dalam gambaran yang realistis. Hasilnya adalah monster yang mampu membunuh tanpa ampun namun masih memiliki sifat manusiawi untuk merasa takut, kesakitan, hingga anehnya sempat muntah setelah membunuh. Pilihan menjadikan Josie Ho psikopat manusiawi bisa dibilang cocok dengan akting yang ditampilkan oleh pemeran Cheng Li-sheung tersebut, dimana aktris yang juga nantinya bermain di film terbaru Steven Soderbergh “Contagion” ini tampil tidak canggung pada saat merobek perut korbannya hingga semua isi perut berhamburan, sekaligus dengan apik masih bisa memperlihatkan bahwa dia masihlah manusia biasa.

Bersama penampilan Josie Ho yang ganas sekaligus cerdik ketika memancing emosi dan simpati penonton, “Dream Home” hadir menawarkan sajian slasher yang diluar dugaan sanggup mengajak adrenalin ini terpompa sampai titik klimaksnya. Film ini pun dengan tanpa basa-basi ketika menampilkan adegan sadisnya langsung mengirim saya ke puncak ketegangan yang menggairahkan. Melihat Li-sheung memperlakukan korban-korbannya tanpa ampun, sakit dan bisa dibilang biadap sanggup mengantarkan saya ke sisi paling liar ketika tawa, teriakan, dan tepuk tangan justru menghiasi momen-momen dimana sang korban sedang sekarat atau mati mengenaskan. Seharusnya saya iba melihat para korban dihabisi satu-persatu tetapi rasa itu hilang dan berubah menjadi harap-harap cemas, yah berharap Li-sheung bisa menuntaskan misinya dan mendapatkan rumah yang diidam-idamkan. Inilah bukti keberhasilan Josie Ho sebagai Li-sheung untuk menggiring saya untuk ikut menutup mata bersamanya dan mendukung keadilan yang ingin direbutnya lagi walaupun cara yang dilakukannya seratus persen salah.

Kelebihan Pang Ho-Cheung selanjutnya adalah bagaimana dia mengemas setiap adegan demi adegan sadis untuk terlihat sangat artistik, bercampur dengan visual-visual cantik yang dari awal sudah dihadirkan oleh film ini. Sajian slasher dalam “Dream Home” pun ikut-ikutan tampil cantik, terkemas realistis dengan efek-efek dan make-up yang sangat meyakinkan. Hasilnya saya akan ikut sesak nafas ketika Li-sheung sedang membungkus seorang wanita hamil dengan plastik lalu menyedot udara didalamnya dengan penyedot debu—salah satu adegan yang juga ikut menyesakkan hati saya, karena tidak tega—atau membuat aksi Li-sheung menusuk bola mata seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia, (sekali lagi tenaga kerja wanita kita jadi korban walau hanya di film) menjadi begitu real. 96 menit sepertinya sudah cukup bagi “Dream Home” untuk membagi-bagi porsinya antara slasher dan drama penyentil isu sosial di Hongkong, pada akhirnya kita akan dipaksa untuk memilih untuk menikmati porsi drama atau kesadisannya yang sangat GORY-LICIOUS, atau memilih untuk menikmati kedua porsi istimewa yang sebenarnya sama-sama berteriak tentang getirnya kehidupan ketika kita tidak lagi punya pilihan.

http://twitter.com/#!/raditherapy/status/6158253448765440