I am number one ~ Zombie Hunter

Jepang boleh saja terkenal sebagai pemasok hantu-hantu paling menyeramkan, sebut saja Sadako dan Kayako. Tapi bagaimana dengan zombie? sama seperti negara-negara di Asia pada umumnya, zombie sepertinya memang masih “asing” bagi kebudayaan horor yang lebih sering menampakkan nuansa mistik-atmosperik. Hantu-hantu berambut panjang dan berwajah pucat sepertinya masih jadi pilihan ketimbang melahirkan horor mayat hidup, yang biasanya cenderung melibatkan penjelasan rumit lengkap dengan teori fiksi ilmiah atau memang tidak ada penjelasan sama sekali tentang asal-usul si mayat hidup. Walau dominasi hantu-hantu bermotif balas dendam masih kuat, lambat laun tema zombie mulai menulari perfilman horor di Jepang. Judulnya memang belum banyak tapi setidaknya “Tokyo Zombie”, “Stacy”, “Junk”, “Samurai Zombie”, dan ”Zombie Hunter Rika” boleh jadi akan jadi pionir munculnya lebih banyak lagi film zombie dari Jepang.

“Zombie Hunter Rika” lebih cocok dilabeli zombie komedi ketimbang murni menakuti, mewarisi apa yang sudah dilakukan oleh “Shaun of the Dead”, “The Return of the Living Dead” dan film Hongkong tahun 1998 “Bio Zombie” (saya harus mencari film yang satu ini). Film ini menceritakan tentang seorang gadis sekolahan bernama Rika yang pergi berkunjung ke desa tempat kakeknya tinggal bersama temannya. Sesampainya disana Rika dan temannya justru disambut oleh sekelompok zombie lapar, beruntung ada seorang pria misterius yang berhasil menolong mereka. Secara kebetulan pria ini punya tujuan sama dengan Rika, belakangan diketahui pria ini adalah adik dari istri muda (dalam arti sebenarnya, muda dan cantik) kakek Rika. Kakeknya ternyata sedang sakit dan tidak bisa diajak bicara maupun ingat dengan cucunya yang datang dari jauh untuk menemuinya. Di tempat lain, seluruh desa diperlihatkan sudah dikuasai oleh zombie.

Tiga orang yang selamat, seorang nelayan, pemilik restoran sushi, dan pemuda kutu buku harus berjibaku dengan puluhan zombie dengan bersenjatakan pisau kecil sambil mencari tempat yang aman. Rika dan yang lain sekarang terjebak di rumahnya sendiri, zombie sudah mengepung rumah tersebut. Tiba-tiba sang kakek mengambil pedang samurainya dan mulai membabi-buta menghabisi semua zombie yang mendekat, kakek Rika yang memang guru pedang tersebut berhasil menyelamatkan semuanya. Tapi sayangnya Rika tergigit zombie dan dia harus pasrah kehilangan tangan kanannya jika tidak ingin berubah menjadi mayat hidup. Di tengah kebingungan dan ketakutan, muncul seorang setengah zombie setengah manusia (yah kalian tidak salah baca, cerita memang makin aneh mulai dari sini) yang menceritakan tentang apa yang terjadi. Selain semua kekacauan ini adalah berkat ulah obat-obatan pemerintah, mereka yang selamat sekarang harus menghadapi bos zombie dan membunuhnya jika ingin semua kembali normal.

Saya tidak akan marah-marah karena film ini berujung pada cerita tidak didasarkan tanpa logika, hey apa yang mau diharapkan ketika Rika dan kawan-kawan memang berniat menyajikan kekonyolan total dari awal. Lagipula kenapa harus mengambil pusing, toh ini adalah film komedi-horor yang berfokus pada bagaimana membuat penontonnya tertawa dengan humor tidak normal lewat adegan usus terburai atau zombie yang bisa menyetir mobil. “Zombie Hunter Rika” punya segala macam cara jitu untuk menuntaskan misinya menulari saya dengan berbagai komedi bodoh yang bisa dikatakan efektif membuat saya tertawa (atau memang saya saja yang mudah digelitik) dan secara bersamaan dibuat ngeri dengan “kehebatan” Ken’ichi Fujiwara mengemas horornya. Kata mengerikan disini bukan berasal dari atmosfir film yang justru didominasi perasaan menyenangkan tapi dari bagaimana film ini bisa menyajikan kulit-kulit yang terkelupas, darah yang mengalir tak tentu arah, bagian tubuh yang terpotong seenaknya, atau jika memang belum cukup gigi-gigi busuk zombie sudah siap memangsa leher-leher yang lengah.

“Zombie Hunter Rika” sayangnya memang tidak seperti yang saya harapkan, terlampau sopan dalam mencabik-cabik logika saya yang sebenarnya sudah dipersiapkan setengah matang untuk menerima hal tidak masuk di akal (ibarat kata saya sudah pasrah untuk dibuat jatuh cinta dengan film ini). Beruntung karakter-karakternya terutama si manusia zombie dan tiga sekawan masih tetap bisa menghibur dengan lawakan-lawakan yang lucu walau terkadang terdengar garing. Tidak demikian dengan si Rika yang tangan kanannya dioperasi oleh sang kakek dengan tangan seorang zombie-hunter, lakonnya bisa dibilang membosankan dan tidak pantas untuk menjadi heroine. Lebih menyenangkan jika saya bisa menyaksikkan dia dikeroyok ratusan zombie yang sayangnya tidak ada disini. Rika boleh bangga memiliki pedang maha sakti, tapi pedang tersebut sangat tumpul ditebaskan berulang kali ke wajah saya yang tidak puas dengan apa yang ditonton. Jika film ini dapat menghibur di paruh awal perjalanannya lewat sekumpulan aksi menentang logika dan komedi yang lumayan memancing saya untuk tertawa, paruh terakhir entah kenapa justru dihiasi oleh aksi-aksi pertarungan Rika yang membosankan. Pada akhirnya kita hanya akan “dipaksa” untuk memilih menyukai film ini atau sangat membencinya.