We are the shadow, the smoke in your eyes, the ghosts that hide in the night ~ Barney Ross

Sebelum saya mendengar soal “The Expendables”, sempat terpikir kapan film Indonesia punya film yang merekrut aktor-aktor laga jaman dahulu dan menggabungkannya dalam satu film non-stop action. Sedikit berkhayal, seru juga bisa melihat nama-nama seperti Barry Prima yang terkenal dengan “Jaka Sembung”, lalu Advent Bangun yang jika tidak salah ingat pemeran si buta dari gua hantu versi klasik, Willy Dozen mungkin? yang dulu menghibur dengan serial laga “Deru Debu”, ditambah George Rudy, Dede Yusuf, dan jika tidak keberatan saya masukkan pemeran sinetron Wiro Sableng yang sayangnya saya lupa siapa namanya. Sambil menunggu impian aktor-aktor laga tersebut beradu jotos dan akting dalam satu film menjadi kenyataan, Sylvester Stallone justru lebih dahulu punya inisiatif mengumpulkan kawan-kawan dari film laga untuk bermain dalam film bertenaga steroid dan multi action, tentu saja dia tidak merekrut pemain dari tanah tropis Indonesia melainkan memboyong dedengkot action-hero dari ranah Hollywood.

Menggiurkan! sekaligus mengajak saya kembali bernostalgia ke masa-masa dimana film action masih berjaya dengan aktor-aktor kekar membawa senjata dan menghabisi ratusan pasukan tanpa sedikitpun terluka. Semua itu ditambah nikmat saat mengetahui idola masa lalu tersebut tergabung dalam satu film, tentu saja saya berharap ditendang di bokong berkali-kali dan lebih keras. Tapi apakah Sylvester Stallone yang duduk di bangku sutradara mampu mengatur teman-temannya yang berotot keras dan mungkin juga keras kepala ini? mungkin Stallone harus mengikat kepalanya dan menuliskan “saya Rambo” untuk mengingatkan mereka untuk tidak main-main dengannya. Siapa saja yang berhasil dirayu oleh Stallone? Jason Statham yang kita kenal di trilogi “The Transporter”, siapa yang tidak kenal dengan aktor legenda kungfu Jet Li, puluhan film laga sudah dibintangi dari perannya menjadi Wong Fei Hung sampai (well) menjadi mumi tanah liat di “The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor”. Stallone juga memboyong lawan tandingnya di film “Rocky IV”, yaitu  Dolph “Ivan Drago” Lundgren.

Proyek ambisius ini tentu saja tidak akan membuat Stallone puas jika hanya dimainkan oleh 4 orang, maka dia mengajak juga Mickey Rourke, Steve Austin, dan manusia-manusia berotot lain termasuk menggandeng Bruce Willis dan Arnold Schwarzenegger untuk muncul sebentar menjadi cameo. Setelah mengumpulkan pemain dream team-nya dan Stallone membuat saya bertanya-tanya akan seperti apa film ini jadinya, kini saatnya dia menggiring saya untuk melirik cerita yang ternyata masuk ke daftar film yang jangan-terlalu-hiraukan-segi-ceritanya atau nimati-saja-adegan-laganya-lupakan-plotnya. Sebuah kata luar biasa memang sepertinya menjauhi film ini jika menengok segi cerita, tidak ada sesuatu yang baru, plotnya bisa ditebak walau kita menutup mata sekalipun, konfliknya klise dan terlihat condong ke arah konyol. Stallone yang memerankan Barney Ross, ketua dari kelompok bernama “The Expendables”—kelompok tentara bayaran dengan ciri khas tato burung gagak dan tengkorak—bersama dengan rekan-rekan seperjuangan mendapat misi untuk menjatuhkan seorang diktator di Amerika Selatan (dengan nama negara fiktif). Namun misinya terancam gagal karena adanya penghianatan, Ross kini harus berjuang tidak hanya untuk menyelesaikan misinya tersebut tetapi juga menolong nyawa yang tak bersalah. Bersama dengan pasukan berani matinya, Ross pun menantang kematian.

Sederhana dan tidak muluk-muluk, Stallone yang juga menuliskan cerita untuk film ini sepertinya lebih fokus untuk bagaimana caranya membuat penonton berbinar-binar lewat aksi jagoan berotot meninju siapa saja, menembak apapun, dan meledakkan semuanya. Bukan berarti Stallone dan rekan penulis skenario Dave Callaham (Horsemen, Doom) tidak mau menuliskan cerita yang yang lebih berbobot, tampaknya mereka sudah tahu dan mengerti tidak usah menambah bobot kepada film ini karena toh berat badan dari para pemainnya saja sudah menjadikan film ini “berat”. Stallone sendiri bukan pencerita yang buruk, dia selalu terlibat dalam penulisan cerita di hampir semua filmnya, termasuk Rocky (1976) yang memperoleh 3 Oscar dan 7 nominasi di ajang penghargaan tersebut, salah satunya nominasi skenario terbaik oleh Stallone.

Stallone juga bukan sutradara yang buruk, film-film ambisius terakhirnya Rambo (2008) dan Rocky Balboa (2006) justru menjadi pukulan balik yang telak kepada mereka yang sudah lebih dahulu pesimis dengan comeback-nya dia sebagai aktor dan sekaligus sebagai sutradara. Saya suka dengan kisah John Rambo yang kembali dengan brutal membantai pasukan dengan senjata besar. Stallone juga berhasil membawa Rocky kembali tanding di ring tinju dan mengembalikan masa kejayaannya. Jadi jika “The Expendables” terlihat kurang serius, saya hanya berpikiran positif saja, mungkin Stallone ingin benar-benar mengajak kita bermain di permainan yang tidak membutuhkan otak tetapi cukup dengan otot saja. Stallone hanya ingin menyenangkan kita yang rindu dengan film-film laga yang punya aroma “tua” dan mengabulkan impian para penggemar jagoan film laga untuk bisa melihat jagoan-jagoannya berkumpul dalam satu film saling melempar adrenalin. Walau nantinya film ini akan terlihat seperti kemasan film kelas B atau straight to DVD, saya masih tetap memberikan potongan jempol saya untuk Stallone karena dedikasinya pada film-film laga ketika ketangguhannya termakan oleh umur yang tidak muda lagi.

Mari kita nikmati saja apa yang ditawarkan oleh Stallone di film yang dijamin membuat anda tersentuh dengan kakek-kakek berbadan jagoan tapi ternyata punya hati lembut ini ketika pada saatnya mencurahkan isi hatinya. “The Expendables” adalah aksi laga menegangkan yang memompa darah sampai ke otak dan merangsang adrenalin untuk menari-menari, diantara hujan peluru dan ledakan dimana-mana. Satu-satunya yang saya garis bawahi adalah permainan spesial efek yang tidak rapih, hasilnya adalah adegan yang tidak maksimal karena terlihat jelas palsunya. Tapi entah kenapa justru spesial efek yang terlihat bohongan ini malah menambah keasyikan menonton, walau terganggu tapi “feel” film-film tahun 80-an jadi makin terasa. Stallone juga tidak lupa menambahkan lelucon-lelucon diantara adegan-adegan brutal penuh darah. Untuk urusan berakting, seperti saya yang tidak peduli dengan ceritanya yang “lemah”, saya juga tidak perlu risau dengan akting Stallone dan kawan-kawan kekarnya ini, karena akting mereka adalah menembak dengan jitu atau meledakkan bangunan sampai roboh dan mereka terbaik di bidang “akting” tersebut di film ini. Sekarang mari berharap kita punya film tandingan dengan aktor-aktor laga Indonesia yang tak kalah jauh macho.