Ada mayat di vila itu ~ Kinar

Tahu apa yang ada di benak saya ketika keluar bioskop? film ini seharusnya (tentu) bisa dibuat lebih baik. Satu-satunya momen menyenangkan dari “Pengantin Topeng” sayang-nya hadir ketika mendekati akhir, ketika saya sudah berada dalam level “hangover” dan tingkat bosan yang sepertinya tidak bisa ditolerir. Jangan keburu senang dulu, saya punya kamus yang mengatakan menyenangkan belum tentu memuaskan atau pantas diberikan acungan jempol. Kenyataannya saya sudah kehilangan jempol karena setiap saya bosan, saya mengiris-ngiris jempol, jadi tolong kembalikan jempol saya. Tidak..tidak bagaimana kalau kembalikan lebih dahulu “keperawanan” saya, otak ini seperti sudah diperkosa oleh ambisi kotor film ini untuk mengeruk keuntungan tanpa meninggalkan kesan jika filmnya sendiri memang layak untuk ditonton. Saya berpikir coba filmnya dibalik, sisakan adegan penuh darah, lalu lempar jauh-jauh pemain paling mengganggu ke tengah laut dan saya yakin ikan hiu pun tidak akan berselera dengan umpan gadis tolol.

Kenapa justru sebaliknya, film ini seperti kosong—lebih kosong dari sebuah istilah tong kosong, nyaring bunyinya—layaknya memancing di air yang keruh (otak kotor produser), film ini tidak punya umpan menggiurkan, duh maaf nyatanya pengantin topeng memang tidak punya umpan apa-apa. Film ini hanya punya kail tumpul yang siap untuk menjerat sampah dan kotoran yang berenang-renang di aliran sungai keruh tadi. Masih ingat film bertipe sama Desember lalu berjudul “Air Terjun Pengantin”, yah film karya Rizal Mantofani tersebut ternyata dibuat sekuel, oh atau remake…sepertinya re-boot? saya tidak peduli karena kedua film ini punya tiga kesamaan, pantai, “buah terlarang”, dan slasher yang tak bergerigi. Saya memang bodoh karena tidak mengerti kenapa lagi-lagi para filmaker ini harus terjebak pada mitos “jika mau laku, yah bikin film mesum”, apakah ada sebuah ideologi baru bernama mesumisme (ketololan saya mulai ber-ulah)? atau sekali lagi sebuah jalan pintas menghalalkan segala cara menjadi modal utama film-film sejenis untuk seenaknya tayang di bioskop.

Jika bioskop-bioskop tanah air terus saja kebanjiran produk lokal yang kadaluarsa dalam segi kualitas, apakah tidak mungkin suatu saat nanti sinema lokal justru bertransformasi menjadi zombie, tak pernah puas mencari keuntungan dan terus kelaparan dijalankan oleh otak yang sudah usang. Film lokal tidak lagi ditonton, namun diburu dan ditembak tepat di kepala. Ketika penonton kita sudah diambang batas kesabaran, sikap pesimis kronis, dan kejengkelan dengan film yang itu-itu saja—kualitas pun bertahan di level itu-itu saja, minus tak bergerak—serta tenggelamnya film-film bagus, ditambah ideologi mesumisme dan menu “fastfood”, saya tidak bisa membayangkan Film Indonesia yang “mati suri”. Tunggu dulu bagaimana mungkin saya bisa sepesimis itu, tentu saja karena si pengantin topeng sudah dengan seenaknya meniup tumpukan kartu bertuliskan “optimis” prime *hammer.

Sudah cukup basa-basinya, mari kita menengok Alexa (Masayu Anastasia) dan kawan-kawan yang sedang berlibur ke sebuah pantai (kenapa nga kebun binatang sekali-kali). Oh pantas saja mereka nafsu mau ke pantai, di kebun binatang mana bisa buka baju terus foto-foto dengan bikini. Tidaaaaaa….k! (a-nya panjang banget seharusnya tapi masa gw isi review ini sama huruf “a” doang) sesampainya di pantai Alexa, Kinar (Lolita Putri), Rosa (Adelia Rasya) mulai merusak film ini dengan sesi pemotretan bikini yang sukses menghabiskan rol film dan seharusnya ganti saja judul film ini dengan “bikini-killer” atau “saya pembunuhnya karena saya paling seksi dan malu-malu kucing tidak mau difoto pakai bikini tapi akhirnya mau juga”. Judul pertama tidak mungkin karena film ini masih punya moral, bercanda? saya sedang tidak bercanda ketika mengatakan moral. Pengantin topeng sebenarnya punya moral tapi terlanjur digadaikan untuk membuka usaha franchise toko bikini. Judul kedua tidak mungkin karena judulnya terlalu panjang, malu dong kalau judulnya panjang tapi filmnya sendiri “pendek” kualitas dan berotak dangkal.

Akhirnya sesi pemotretan yang mengabiskan durasi dan hanya berisi adegan penuh obral aurat yang diulang-ulang ini selesai juga. Lalu maksudnya adegan-adegan tadi apa? seni? atau murni untuk membuat “adik” terhibur? jika tujuan untuk menjawab pertanyaan ke-2, film ini sudah gagal di awal film dong, mau mesum aja gagal apalagi bikin slasher. Oke kembali ke PEPENG *gaya tukul (Pepeng = pengantin topeng), setelah asyik jeprat-jepret di pantai mereka mutuskan untuk kembali ke mobil menuju ke hotel. Beruntung nasib malang menimpa mereka, mobilnya tidak bisa jalan. Bodohnya tidak ada satupun yang memeriksa mesin mobil (nga mungkin-lah entar nga keluar-keluar tuh tukang topeng). Alexa pun menelepon penginapan untuk minta dijemput, tapi lagi-lagi sial karena hotel tidak punya mobil untuk menjemput. Tololnya tidak ada satupun yang berusaha untuk menelepon hotel—yang entah berapa jauh dari tempat mereka—sekali lagi, seperti pasrah menerima nasib dikerjai sang sutradara. Ketika mobil mogok, lalu diikuti dengan tidak ada sinyal, tanpa kita ketahui seseorang sedang buru-buru pakai topeng wayang dan jas hujan murahan dan akhirnya baru sadar dia lupa pakai celana dalam.

Alexa dan teman-temannya pun lebih memilih bermalam di pantai ketimbang tetap diam di mobil (kesian dong tukang topeng lama diri di balik pohon nahan pipis pula). Saya kira atraksi bodoh sesi pemotretan adalah hal bodoh terakhir yang akan saya lihat di film ini, ternyata ada sesi permainan “truth or dare” yang lagi-lagi mengobral kebobrokan film yang sudah telanjur gagal dari awal ini. Di tengah kobaran api unggun, adegan seperti cowok dan cowok berciuman, Kinar melepas pakaian, dan Rosa berstriptis-ria tanpa malu sukses menelanjangi otak saya yang saat itu sudah terpanggang habis oleh bosan, padahal film belum selesai. Singkat cerita mereka akhirnya menemukan mayat yang sudah mati (namanya juga mayat yah mati dong) di sebuah rumah kosong. Masih kebingungan dan mencari sinyal untuk menelepon polisi, masing-masing berpencar. Tiba saatnya bagi sang pembunuh untuk keluar dari sarangnya, lengkap dengan topeng dan gunting rumput, dia sepertinya lega sekali bisa membunuh orang-orang dari kota ini untuk melampiaskan rasa dongkolnya sudah disuruh berdiri lama di balik pohon yang banyak semut pula.

Ketika satu-persatu teman Alexa bersusah payah lari dari “maut”, saya di kursi penonton juga bersusah payah untuk tidak keluar lebih dahulu, tapi saya masih penasaran seperti apa sajian slasher dari film ini. Si tukang topeng ternyata mengecewakan ketika bertindak sebagai malaikat pencabut nyawa, saya maklum saja ketika dia membunuh dengan ala kadarnya tanpa sedikitpun memperlihatkan dia adalah seorang pembunuh. Mungkin saja dia marah atau jengkel karena sudah disuruh menunggu lama atau dia tidak suka dengan topeng yang dipilih untuk dipakainya, atau jas hujan yang dikenakan tidak cocok dengan gaya fashionnya sehari-hari. Jadi saya pasrah saja ketika si tukang topeng terlihat seperti tukang kebun yang kehilangan gunting rumput favoritnya. Lagi-lagi saya punya ide gila tentang film slasher dengan tokoh utama tukang kebun…hahahaha lupakan.

Pahitnya sajian pembunuhan diperparah dengan akting pemainnya yang dari awal film memang sudah tidak bisa diharapkan. Ketika saya menunggu adegan penuh horor, alhasil saya hanya tertawa melihat para cewek kota ini terbunuh. Apalagi ketika satu orang di antara mereka jatuh ke tumpukan kawat, belum ada 2 detik tapi sudah dilumuri darah di seluruh tubuh (sepertinya jadi momen terbaik film ini). Satu jam lebih memang bisa jadi terasa menonton seluruh season cinta fitri (ketahuan deh gw penggemar sinetron), ketika cerita dan esekusinya sudah berantakan dari awal. Film ini sepertinya bingung memilih untuk jadi film drama komedi remaja atau meneruskan skenario film slasher, yah karena sekali lagi tidak tega melihat si tukang topeng seharian berdiri di balik semak-semak bau tempat kru buang air, jadi diputuskan saja terus dengan slasher. Tapi hasilnya tidak hanya membunuh para pemainnya tapi juga membunuh kualitas film ini. “Pengantin Topeng” sudah seharusnya memikirkan untuk membuat topeng cadangan, bukan untuk tokoh antagonis bertopeng (dia tidak perlu topeng lagi), tapi film ini juga harus memakai topeng untuk menutupi coretan hitam di wajahnya.