It’s so fluffy, I’m gonna die! ~ Agnes

Bulan Maret lalu, “Toothless” menjadi pusat perhatian lewat atraksinya yang menggemaskan di “How To Train Your Dragon”. Film animasi keluaran DreamWorks Animation tersebut tidak hanya sukses secara komersil dengan mengantongi $400 juta lebih tetapi juga berhasil “menghipnotis” para kritikus untuk memberikan respon positif. Sebuah pertanda baik bagi pecinta film animasi, karena sepertinya 2010 ini memang jadi tahun bagi film-film animasi. Seri terakhir dari “Shrek” pun muncul tahun ini dilanjutkan dengan sekuel ketiga dari petualangan Woody dan Buzz dalam “Toy Story 3”. Sukses besar yang diraih Woody dan kawan-kawan pun kembali mengharumkan nama besar studio animasi Pixar, untuk (masih) menjadi yang terbaik. Pertanyaannya sekarang adalah ketika studio-studio animasi yang sudah punya nama besar begitu mendominasi, apakah studio debutan seperti Illumination Entertainment sanggup berbicara banyak lewat film animasi pertama mereka “Despicable Me”?

Saya sendiri sempat pesimis melihat gambar-gambar dan teaser trailer awal film ini tahun lalu (apa yang saya mesti harapkan ketika filmnya saja masih akan tayang tahun depan). Namun seiring waktu berlalu, tentu saja dengan adanya tambahan poster, puluhan gambar, dan trailer, rasa pesimis itu tergantikan oleh rasa penasaran dan ekspektasi lebih. Apalagi saat perhatian saya “tercuri” oleh kehadiran para Minions yang sepertinya akan menjadi “maskot” film ini. Keyakinan saya bahwa film ini tidak akan mengecewakan ternyata memang terbukti benar, saya tidak kecewa itulah intinya. Dan pertanyaan saya di awal paragraf pun terjawab dengan mudah, studio baru ini ternyata sanggup berbicara, walau tidak “selantang” Woody. Saya tidak akan sejahat Gru dengan membandingkan film ini secara detil dan head to head dengan Pixar ataupun DreamWorks Animation. Apalagi saya menganggap film-film keluaran Pixar hanya pantas untuk dibandingkan dengan film-film mereka sendiri (hehe). Sekali lagi ini hanya komentar seorang yang masih buta ilmu film, ketika melihat kenyataan kualitas dan “benchmark” studio tersebut sepertinya masih sulit untuk dilampaui.

Jadi mari kita fokus saja pada “Despicable Me”, film ini mengawali kisahnya lewat fenomena aneh ketika dunia kehilangan salah satu keajaibannya, Piramida di Mesir. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Perancis menjaga Menara Eiffel-nya dan Cina dengan persenjataan lengkap tidak akan membiarkan siapapun mencuri Tembok Besarnya. Pada saat seluruh dunia panik, tidak demikian dengan Gru (Steve Carell) yang masih berleha-leha dengan status penjahat nomor satu di dunia. Namun ketika dia tahu seseorang telah berhasil mencuri piramida, Gru sadar tahta penjahat paling terjahat akan segera pindah ke tangan orang lain. Ketika Gru mengetahui penjahat nomor satu itu ternyata adalah anak muda bernama Vector (Jason Segel), dia pun merencanakan kejahatan yang lebih besar dari sekedar mencuri piramida, yaitu mencuri bulan!. Sayangnya sebelum menjalankan rencana terbesarnya itu, Gru terhalang masalah dana untuk membuat roket dan juga harus mencuri sebuah senjata yang bisa mengecilkan segalanya, termasuk bulan.

Untuk mendanai proyeknya, Gru mendatangi “Bank of Evil” disinilah dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Vector. Langkah berikutnya mencuri senjata pengecil seharusnya bisa berhasil jika tidak mendapat gangguan dari Vector yang mencuri senjata tersebut dari tangan Gru. Permusuhan diantara mereka pun dimulai, Gru yang harus mendapatkan senjata pengecil tersebut untuk memuluskan jalannya menuju ke bulan sepertinya tidak akan mudah mencurinya kembali dari Vector. Segala cara dia lakukan untuk memasuki “benteng” Vector yang penuh jebakan dan persenjataan lengkap. Satu-satunya yang bisa masuk ke tempat Vector justru anak-anak penjual kue, otak licik Gru pun segera bereaksi ditandai dengan kata-kata sakti dari mulutnya “light bulb” (dengan aksen inggris-eropa). Margo, Edith, dan yang paling menggemaskan si kecil Agnes akhirnya diadopsi oleh Gru dari panti asuhan. Anak-anak penjual kue ini tentu tidak sadar sedang diperalat oleh ayah baru mereka. Selagi Gru sibuk dengan proyeknya bersama dengan para makhluk kuning bernama Minions dan asisten setianya Dr, Nefario, dia pun secara tidak sadar merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, yaitu menjadi orang tua.

Apakah Gru berhasil terbang ke bulan atau dia justru menemukan kembali kebaikan yang selama ini telah tercuri dari dalam hatinya? Lewat sebuah kisah animasi yang sederhana, saya kembali diajarkan berharganya nilai keluarga. “Despicable Me” berhasil mengemas nilai-nilai positif tersebut dengan kelucuan yang dihadirkan oleh Gru dalam menggapai ambisinya mencuri bulan, Agnes yang sangat adorable, dan tentu saja tidak lupa dengan pencuri perhatian nomor satu di film ini, para Minions. Para kreator film ini bisa dibilang cemerlang dengan ide karakter berwarna kuning memakai kacamata besar ini. kelucuan-kelucuan yang muncul di film ini kebanyakan berasal dari aksi para anak buah Gru ini. Jumlahnya banyak, kecil, imut, menggemaskan, sering memukul temannya sendiri, bisa punya seribu ekspresi, dan berbicara gibberish, membuat saya langsung jatuh hati pada komplotan pemancing tawa ini.

Keseluruhan kemasan komedi dalam film ini dikemas tidak berlebihan oleh Pierre Coffin dan Chris Renaud namun efektif dalam menghasilkan adegan-adegan yang “memaksa” penonton untuk tertawa. Saya tidak pernah berhenti tertawa ketika tiba lagi saatnya untuk para Minions muncul di layar bioskop. Mereka benar-benar ditempatkan dengan pas pada situasi yang menggelikan, pada akhirnya sukses merangsang urat tawa penontonnya. Gru yang menjadi tokoh utama disini juga tidak kalah kocak, beberapa adegan saat dia hendak mencuri senjata dari Vector atau terpaksa bermain dengan Agnes dan yang lainnya jadi kunci suksesnya dalam membuka tawa penonton, terlebih dengan logat Inggris-nya yang ke-eropa-eropaan. Berbicara soal kekurangan, formula cerita film ini memang masih bisa dibilang kurang teracik dengan hebat dengan plot standart dan alur yang mudah ditebak. Hey untuk ukuran studio baru saya akan melupakan sisi minus film ini, karena dengan dosis hiburan yang diinjeksikan film ini, perasaan menyenangkan itu dengan bahagia berenang-renang mengalirkan euphoria ke dalam penatnya otak. Papoy…papoy!!