The only way to stop them is to face them…I will teach you ~ Mr. Han

Dre (Jaden Smith) harus rela meninggalkan Detroit untuk terbang ke Beijing bersama Ibu kandungnya Sherry Parker (Taraji P. Henson). Orang tua tunggal dan anak berumur 12 tahun ini akan memulai hidup baru di negeri asing ini. Bukan perkara mudah untuk bisa beradaptasi di tempat baru ini, apalagi ketika berhadapan dengan masalah bahasa. Dre adalah orang yang paling merasakan “perbedaaan” tersebut, belum apa-apa dia sudah tak suka dengan tempat tinggal barunya dan merengek minta kembali ke Amerika. Beruntung Dre menemukan teman sebaya yang bisa berbahasa Inggris, Harry (Luke Carberry). Dia mengajak Dre untuk tur kecil-kecilan, memperlihatkan tempat dimana anak-anak sering bermain. Dre pun akhirnya menemukan satu-satunya yang bisa membuatnya tertarik saat dia melihat gadis cantik yang diketahui bernama Mei Ying (Wen Wen Han). Walau awal-nya malu-malu, Dre mulai berkenalan dengan Mei dan mencoba membuat dia terkesan dengan ber-“breakdance” dihadapan gadis yang suka bermain biola tersebut.

Hari pertama Dre di Beijing ternyata berubah tidak menyenangkan, ketika anak-anak “berandal” yang dipimpin oleh Cheng (Zhenwei Wang) menghajar habis-habisan Dre dan mempermalukannya di depan Mei. Kesialan Dre berlanjut sampai ke sekolah, padahal ini adalah hari pertamanya, karena Cheng ternyata satu sekolah dengannya. Tidak ingin terus diganggu oleh Cheng, Dre mulai nekat melakukan balas dendam dengan menyiram satu ember air kotor ke Cheng dan kawan-kawan. Aksi kejar-kejaran pun tak terelakkan, tapi sayangnya Dre akhirnya terpojok dan menjadi bulan-bulanan Cheng dan teman-temannya yang menghajar Dre hingga tergeletak tak berdaya. Mr. Han (Jackie Chan), seorang teknisi yang sebelumnya pernah bertemu Dre, datang menyelamatkannya dan tentu saja dengan keahlian kungfu yang lebih tinggi, ia dengan mudah mengalahkan gerombolan anak nakal tersebut.

Setelah Mr. Han menyembuhkan luka-luka Dre, mereka berdua lalu pergi menemui Cheng dan gurunya. Niat awal meminta maaf karena mungkin sudah melukai Cheng justru dibalas dengan tantangan duel, Mr. Han pun menolak. Mr Han lalu menunjuk sebuah poster Turnamen Kungfu, dan mengajak Master Li (Yu Rongguang), Cheng dan kawan-kawan untuk bertemu dan bertarung disana. Master Li pun sepakat, Dre tidak akan diganggu oleh murid-muridnya sampai turnamen nanti. Dre pun senang karena akhirnya dia bisa belajar kungfu, dalam benaknya dia membayangkan bisa menghajar Cheng nanti di turnamen. Tehnik pelatihan Mr. Han ternyata jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan Dre, guru barunya tersebut tidak mengajarkan jurus-jurus maut, melainkan latihan “spesial” berjam-jam yang membuat Dre frustasi. Apakah Dre bisa “lulus” dari latihan berat yang disiapkan master-nya?

Bulan ini kita benar-benar diajak kembali ke tahun 80-an, “The Karate Kid” bersanding dengan “The A-Team” dan sama-sama membawa embel-embel “adaptasi”, yang satu dari serial televisi terkenal dan satu lagi dari film layar lebar yang terkenal dengan tokoh bernama Mr. Miyagi (diperankan oleh Pat Morita). Parade 80-an ini tentu saja membuat rasa nostalgia tersendiri, apalagi bagi fans masing-masing film. Jika penonton “The A-Team” mungkin berharap disajikan adegan-adegan gila dari Hannibal dan kawan-kawan. Beda lagi dengan penonton “The Karate Kid”, mereka mungkin berharap dengan cerita yang menyentuh dan adegan-adegan pertarungan yang seru. Harald Zwart (The Pink Panther 2, Agent Cody Banks) dipercaya untuk duduk dibangku sutradara, “mengawal” film ini untuk memenangkan “turnamen” film-film blockbuster di musim panas ini.

Dengan naskah yang ditulis oleh Robert Mark Kamen –film “The Karate Kid” (1984) juga ditulis olehnya– film ini berangkat dengan kisah datar yang berfokus pada Dre yang digambarkan “cengeng”, tidak disiplin, namun semangat ketika mendengar soal kungfu. Tidak sah jika seorang jagoan tidak memiliki musuh, maka dihadirkanlah konflik-konflik yang menghiasi kehidupan baru Dre di Beijing, sekaligus memperkenalkan penonton dengan anak mengesalkan bernama Cheng. Ketidakseimbangan mungkin dirasakan saat saya justru lebih “kena” dengan karakter Cheng ini, wajah sok dan kelakuan luar biasa “nakal” membuat saya mengerutkan dahi ketika dia muncul menganggu Dre. Hal tersebut berbeda ketika saya melihat karakter Dre, dia hanya anak cengeng yang pintar melucu dan terlalu dipaksakan untuk dewasa, alhasil karakter ini sama sekali tidak “menyentuh” saya selama durasi bergulir dari menit ke menitnya.

Ketika tokoh Dre tidak terlalu menghibur saya dengan celetukan-celetukan ala ayahnya, cerita juga berjalan tidak begitu membuat saya nyaman duduk di dalam bioskop, terlalu lama dalam soal durasi ditambah dengan terlalu banyak hal bertele-tele yang disajikan film yang juga diproduseri oleh Will Smith ini, tampaknya menjadi poin yang paling bertanggung jawab membuat saya “tertidur” bosan. Harald Zwart dan kawan-kawan bisa dikatakan memasukkan semua unsur film pendahulunya, lalu diikuti dengan membuat semua menjadi dobel, berlebihan dimana-mana. Kisah cinta monyet antara Dre dan Mei juga tampaknya gagal dalam usahanya menggiring saya mencintai film ini, sama seperti pernak-pernik dramatisasi lainnya yang dihadirkan “lemah” dan bisa dikatakan numpang lewat saja. Beruntung film ini masih punya adegan-adegan laga yang cukup menghibur.

Jackie Chan walau terlihat “bodoh” ketika bertarung dengan anak-anak dan tak berkesan layaknya seorang master kungfu (itu mungkin karakternya yang memang rendah diri), saya akui masih bisa menyajikan pertarungan yang sedap untuk dinikmati. Koreografi kungfu yang dihadirkan merupakan hiburan yang menyelamatkan film ini dari kekalahan telak. Jaden Smith juga ternyata secara mengejutkan bisa bertarung sedemikian “keren” ketika harus melawan petarung lain dan juga Cheng di turnamen kungfu. Tapi sekali lagi saya harus kecewa ketika Harald Zwart meng-anak-tirikan adegan laga, ketika meramu-nya dengan cepat dan tidak berkesan sama sekali. Karena Zwart sudah menghabiskan durasi untuk hal-hal berbau drama yang bertele-tele tadi dan terlalu lama “melatih” mata saya untuk tidak menikmati segmen latihan Mr. Han. Ketika saya diajak berjalan-jalan bersamaan dengan pelatihan Dre, saya terkesima dengan pengambilan gambar yang juga menyisipkan keindahan lankap dan bangunan kuno China, dari Kota Terlarang sampai Sumur Naga di puncak gunung berbatu. Namun sekali lagi, saya sudah terlalu lelah dan bosan dengan lamanya durasi yang mengandalkan menu drama yang lemah dan adegan laga yang tanggung. Remake “The Karate Kid” ini sepertinya hanya menambah daftar hiburan yang mudah dilupakan.