Mr. Kamikaze is a chicken today! ~ Dr. Heiter

Berangkat dari kalimat “100% medically accurate” serta konsep “gila” yang tentu saja mengundang kontroversi, apalagi ketika ide orisinil Tom Six tersebut terungkap dalam sebuah cuplikan singkat trailer-nya, hati saya tiba-tiba langsung berteriak “saya harus menonton film ini”. Bermodalkan rasa penasaran yang kronis dan ekspektasi yang terlalu berlebihan, saya berharap film ini bisa menciptakan euphoria yang berbeda, sensasi sakit yang berasal dari film yang mudah-mudahan amat sangat “sakit”. Jadi apakah saya siap untuk meloncat-loncat kegirangan karena otak ini dipenuhi visual sadis atau sebaliknya, berakhir dengan mengencingi monitor karena kecewa lagi-lagi dijejali horor murahan? Hmm… apakah “The Human Centipede (First Sequence)” akan menjadi kandidat kuat film horor terbaik versi saya untuk tahun ini?

Tirai rombeng dan bau pesing terangkat, perkenalkan Lindsay (Ashley C. Williams) dan Jenny (Ashlynn Yennie), dua pasangan yang bukan kekasih tetapi teman ini beruntung bisa berkeliling Eropa. Kali ini mereka berada di Jerman setelah sebelumnya berlibur di Belanda, tujuan turis asal Amerika ini selanjutnya adalah Itali. Sayangnya niat bersenang-senang harus kandas di tengah jalan (benar-benar ditengah jalan), mobil yang mereka tumpangi yang seharusnya mengantar ke sebuah club bernama “bunker” berhenti karena ban tiba-tiba bocor. Momen klise yang sering terjadi di banyak film horor terulang lagi dan ternyata tidak berhenti sampai disitu, setelah ban bocor, kedua cewek ini tidak ada yang tahu bagaimana mengganti ban. Saatnya menelepon siapapun yang bisa menolong karena beruntung ada teknologi canggih bernama telepon genggam, yah tentu saja saya tahu apa yang akan terjadi, apakah kalian bisa menebak? yah betul tidak ada sinyal di tempat tersebut. Selanjutnya bisa ditebak, Lohan…maksud saya Lindsay dan Jenny pergi menjauhi mobil untuk meminta pertolongan sampai akhirnya tersesat di tengah hutan.

Keberuntungan ternyata masih berpihak pada dua cewek yang sebenarnya sudah bersiap untuk bergoyang di lantai dansa ini, tapi apa boleh buat gara-gara ban bocor sial, semua menjadi hancur berantakan. Diguyur hujan, mereka berbasah-ria menuju rumah yang di depannya terparkir mobil mercedes, seorang pria dengan tatapan tajam pun membukakan pintu. Setelah menyapa dengan sangat “dingin” (ditambah dingin karena hujan), si tuan rumah yang belakangan diketahui bernama Dr. Heiter (Dieter Laser) ini akhirnya dengan berbaik hati mempersilahkan keduanya masuk. Kehangatan rumah ternyata tidak diikuti oleh keramahtamahan si pemiliknya, mimpi buruk pun dimulai ketika Dr. Heiter berhasil membuat mereka terbius dengan Rohypnol (pil tidur). Ketika terbangun, Jenny sudah ada di tempat tidur dan terikat, begitu juga dengan Lindsay. Dr. Heiter yang dulunya ahli memisahkan bayi-bayi yang kembar siam ini menyekap mereka di ruangan bawah tanah lengkap dengan peralatan medis layaknya di rumah sakit. Lindsay, Jenny, dan nantinya seorang turis Jepang akan dijadikan kelinci percobaan eksperimen jeniusnya, mereka beruntung bisa terpilih dari seleksi yang sangat ketat untuk “freakshow” sang dokter.

Tom Six dengan ide “human centipede” gila-nya memang menjadi umpan menggiurkan dalam usahanya mengundang para penggemar film-film disturbing dan gore. Terlebih lagi saya yang mudah sekali tergiur hanya dengan melihat trailer-nya dan menjadi saksi manusia yang menjadi seperti kelabang. Konsep menyambung mulut dengan anus lalu membiarkan korbannya merangkak, jelas-jelas adalah sesuatu yang baru dan saya sangat berharap film ini bisa jadi horor yang spesial dan berbeda. Tapi tampaknya waktu yang diberikan Tom selama 90 menit, ternyata tidak cukup mengenyangkan saya, seperti ada yang kurang dari menu yang disajikan sutradara asal Belanda ini. Elemen klise yang lagi-lagi meramaikan film yang didistribusikan IFC Films dan premier di banyak festival horor ini memang tidak terlalu mengganggu kenikmatan menonton. Saya justru maklum dengan faktor klise tersebut asalkan dengan syarat Tom bisa menghadirkan sesuatu yang beda dalam filmnya, esekusi yang sakit, sadis, dan level horor yang sanggup meledakkan otak saya. Tetapi ternyata kegilaan Dr. Heiter tidak berhasil “membius” saya dengan plot dan visual yang saya harapkan di awal film.

Kalau bukan karena konsep orisinal yang ditulis sendiri oleh Tom Six dan juga kehadiran Dieter Laser sebagai “doktor satan”, saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa jadi nya film ini dan betapa bosannya saya di depan layar menunggu film berakhir. Ketika saya berharap operasi menyatukan mulut dengan anus tervisualisasi dengan detil dan jelas, Tom justru memilih untuk mengemasnya dengan sopan, tampilkan sedikit sayatan di bokong dan abrakadabra operasi pun selesai tanpa sedikitpun diperlihatkan adegan jahit-menjahit. Saya masih punya pemikiran positif, yah mungkin sutradara ingin sedikit melakukan pemanasan, tidak terlalu cepat membuat mual penontonnya. Tapi harapan yah tinggal kenangan, ternyata Tom memang membalut film ini dengan level yang bagi saya cukup “bersahabat” dan ramah menyapa perut-perut penontonnya.

Parahnya saya justru bisa tertawa ketika seharusnya merinding ketakutan, si turis Jepang yang selalu mengoceh, tingkah laku menggelitik si dokter ketika memperlakukan hasil eksperimennya seperti binatang peliharaan, polisi bodoh yang tidak diundang, bahkan ada adegan yang mengingatkan saya pada gameshow “Benteng Takeshi”. Lupakan kalau film ini punya sisipan komedi (atau mungkin hanya saya saja yang aneh), jika berbicara soal membuat kita mual, mungkin beberapa adegannya bisa menghibur anda. Namun sekali lagi saya hanya bisa berkata mengecewakan, adegan yang saya tunggu, seperti bagaimana kotoran dari A sampai ke B dan bersarang di perut si C, ternyata digambarkan biasa saja. Para pemainnya pun berakting biasa saja, tidak memperlihatkan mereka sedang menelan kotoran dan hanya bisa menangis. Untungnya Dr. Heiter masih bisa menghibur ketika dia layaknya “cheersleader” terus menyoraki dengan semangat “ayo telan…ayo telan”, anda pasti tahu dia menyuruh menelan apa.

Dieter Laser bermain sangat gila di film ini, tidak saja dia berhasil membentuk image orang gila dengan aktingnya. Tetapi juga karena dia sukses membawa film ini dari bagian yang membosankan ke bagian yang bertuliskan “sakit juga film ini”. Lakonnya sebagai Dr. Heiter bisa saya katakan masuk ke jajaran icon horor modern seperti Jigsaw ataupun Captain Spaulding. Dieter bisa meyakinkan saya bahwa dia memang 100%  tidak waras dengan gerak geriknya yang tidak wajar, kosakata Jerman-nya yang sering meledak-ledak dan yang terpenting wajahnya yang berbicara dengan jelas, Dieter bukan manusia. Secara keseluruhan The Human Centipede (First Sequence) adalah sajian horor yang “mencubit” sakit namun tidak sesakit apa yang dibayangkan. Konsep “centipede”-nya sudah jelas “menampar” otak ini bolak-balik dan Tom Six masih punya hutang untuk membawa ke dua belas orang untuk di-centipede-kan di sekuel kedua film ini. Enjoy!