Demi karsa dan daya yang mengendalikan alam semesta, aku memanggilmu Ki Hitam dalam kerandamu yang gelap pekat, untuk hadir kembali ke dalam kehidupan fana ~ Ki Bidin

In the VOC-occupied Indonesia during Dutch colonial… (serasa film tarantino-basterds aja) yah pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia dibawah bendera kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), munculah pendekar yang berjuang atas nama rakyat, membela kebenaran atas kesewenang-wenangan “kompeni” (sebutan orang pribumi kepada Belanda). Pendekar ini bernama Parmin asal Kandang Haur, orang-orang lebih mengenalnya dengan nama “Jaka Sembung”. Disebut-sebut sebagai pemberontak yang berbahaya, Jaka Sembung ditangkap bersama puluhan orang lainnya yang terdiri dari rakyat jelata yang dituduh penjahat dan rakyat yang tidak bisa membayar pajak. Mereka termasuk Jaka, diperintahkan untuk kerja paksa oleh komandan VOC yang kala itu bagian dari pemerintahan kolonial di Jawa Barat. Sayangnya Jaka berhasil melarikan diri dan itu membuat kapten Van Shramm harus memikirkan cara yang jitu untuk dapat menangkap kembali Jaka. Sang kapten lalu memutuskan untuk mengadakan sayembara dengan hadiah 100 holden, bagi siapa saja yang bisa menangkap si Jaka Sembung.

Sayembara tersebut berhasil mengundang jawara bernama Kobar, dia sendirian dengan percaya diri datang ke markas kompeni dan menjamin bisa menangkap Jaka Sembung. Tapi apa daya, janji pun melayang bersama nyawa, Kobar yang bisa menyemburkan api dari mulutnya tersebut tewas ditangan jagoan kita. Disaat komandan sedang kebingungan mencari cara bagaimana melawan dan menangkap Jaka Sembung, muncul seorang dukun yang ingin ikut sayembara. Kakek tua bernama Ki Bidin ini mengaku bisa menangkap Jaka Sembung dengan bantuan mayat yang akan dia hidupkan kembali. Komandan dan anak buahnya sempat tidak percaya dengan perkataan sang dukun, tetapi mendengar penjelasan dan melihat sendiri ilmu yang dimilikinya, “bule-bule” ini akhirnya percaya dengan Ki Bidin. Mayat yang akan ditemuinya tak lain adalah Ki Hitam, pendekar yang mempunyai ilmu “Rawe Rontek”, sebuah ajian yang membuat siapa saja hidup kekal alias tidak bisa mati. Mayatnya terpisah menjadi dua bagian, kepalanya digantung di sebuah pohon dan tubuhnya dipendam jauh dari kepalanya, guru Jaka Sembung lah yang dahulu membunuh dan melakukan ini, karena Ki Hitam bisa hidup kembali jika bagian-bagian tubuhnya menyentuh tanah. Ki Hitam pun berhasil dihidupkan kembali, dengan kesaktiannya Jaka Sembung ternyata dengan mudah dikalahkan. Tak berdaya melawan orang yang lebih sakti darinya, Jaka Sembung harus rela dimasukkan ke penjara.

Nostalgia masa kecil sekali ketika menonton film ini!! gw masih inget beberapa adegan di film yang dibintangi oleh aktor laga terkenal Barry Prima ini, tapi memang hampir sebagian besar sudah lupa. Seingat gw dulu film ini dan film-film sejenis sering sekali diputar oleh salah satu stasiun tv (tapi lupa stasiun tv apa) bersama film-film horor klasik yang bintangnya siapa lagi jika bukan ratu horor Indonesia “Suzanna”. Namun sayangnya makin kesini jarang sekali stasiun tv yang mau menayangkan film-film Indonesia tempo dulu atau bahkan tidak pernah sama sekali (walaupun ada mungkin gw yang nga tahu). Film-film laga Barry Prima dan horor klasik Suzanna sudah terkikis habis masanya digantikan oleh sinetron-sinetron *sensor dan infotainment *sensor. Gw juga tidak ingat kapan terakhir kali menonton film-film “jadul” di tv.

Jaka Sembung memang bukan film masterpiece yang mengobral kesempurnaan akting, cinematografi, cerita, efek, dan kemasan keseluruhan film. Apalagi jika disaksikkan pada zaman sekarang yang notabennya kita sudah sering dijejali oleh film-film Hollywood yang kaya akan efek dengan pola cerita yang bervariatif, pasti akan menganggap film sekelas Jaka Sembung atau film laga tanah air tempo dulu sebagai film tak layak tonton. Tapi tunggu dulu, film-film seperti ini lah yang pada zamannya sempat menguasai bioskop-bioskop di Indonesia dan layar-layar tancap di sudut-sudut kampung. Walau minim dari segi kualitas, tapi tak menutup kenyataan bahwa film seperti Jaka Sembung ini adalah termasuk bagian dari sejarah perfilman Indonesia. Lupakan kita berada di era dimana efek cgi berseliweran dimana-mana, mari kita bayangkan kembali ke zaman dimana film ini pernah berjaya, maka niscaya kita akan lebih menikmatinya.

Apa yang ditawarkan oleh film yang punya judul internasional “The Warrior” ini bukanlah cerita berbelit yang memusingkan otak, melainkan sebuah sajian ringan, sederhana, namun jitu menghibur penontonnya. Hiburan itu datang dari aksi jagoan yang mengajarkan kita arti dari sebuah rasa nasionalisme. Film ini tak perlu efek yang berlebihan untuk memancing decak kagum penonton –sekali lagi dengan kesederhanaan– bermodalkan akting, trik kamera, dan beberapa stuntman yang rela babak belur, film ini bisa menghasilkan aksi perkelahian yang lumayan realistis (walau sedikit membuat tertawa juga). Jangan salah, menurut gw koreografi dan efek ala-kadarnya lebih bagus dan lebih reliastis ketimbang tayangan di *sensor, yang penuh dengan cahaya-cahaya aneh dan efek-efek tanggung tak karuan. Yah jika ingin dibandingkan, film tahun 1981 yang disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra ini bisa memenangkan duel film mana yang paling menghibur.

Jaka Sembung tak ubahnya seperti permen berbagai macam rasa (ada yah permen kaya gini), manis di beberapa bagian yang menghibur dan membuat kita tersenyum, tapi juga dirasa pahit ketika berbicara soal kekurangan film ini, apalagi jika mengingat begitu banyaknya plothole yang hadir menemani film yang berdurasi hampir dua jam ini. Tetapi rasa pahit itu hilang seketika, entahlah gw sendiri merasakan kepuasan ketika menonton film ini, melupakan berbagai kekurangan film ini dan fokus bagaimana cara terbaik untuk menikmatinya. Mendengar dialog-dialog di film ini mengingatkan gw dengan pelajaran bahasa Indonesia di sd dulu, tak bisa rasanya jika nga ketawa mendengar Barry Prima dan pemain-pemainnya beradu kata difilm ini (kata-kata gw juga udah mulai campur aduk nih, aneh). Bahasa Indonesia yang baku cukup kental mewarnai film ini, apalagi para penjajah juga memakai bahasa yang sama tapi lebih dibedakan dengan logat bule yang lagi-lagi membuat gw ingin tertawa. Ah film Indonesia zaman sekarang juga punya dialog yang lebih ajaib dan lebih bodoh, jadi film yang didasarkan pada cerita komik karya Djair ini masih lebih baik (tahulah film apa hahahaha). Secara keseluruhan Jaka Sembung merupakan paket istimewa berisi hiburan yang unik dengan cerita yang ringan. Akting yang datar dan kekurangannya yang lain, bagi gw adalah pernak-pernik tersendiri dan tidak serta merta menobatkannya sebagai film yang sangat buruk, karena gw tidak mau munafik ketika gw nyata-nyata terhibur dengan film ini. Memorable scene: Dorman yang pura-pura gila, Ki Bidin ketika menghidupkan “Rawe Rontek”, dan Ki Sapu Angin pada saat memindahkan mata Surti ke Jaka Sembung. Enjoy!

Rating 3/5