Bumi jangan menangis…Bumi jangan menangis ~Sal, Ayah Bumi

Sebuah kapal bernama Atlas terombang-ambing oleh ombak dilautan luas, tampaknya tidak ada harapan bagi kapal ini untuk selamat dari amukan badai. Sal, sang pemilik kapal pun memutuskan untuk menyelamatkan anaknya dengan memasukkannya ke sebuah “kapsul” penyelamat. Sebelum kapal ditelan ombak, anaknya telah lebih dahulu meninggalkan kapal. Bumi, nama anak itu, sekarang terdampar sendirian di pantai. Ternyata dia sudah berada di benua Utopia, tempat tujuan ayahnya, dimana terdapat sebuah kastil yang akan menjadi tempat tinggal Bumi dan ayahnya. Berbekal sebuah alat yang menampilkan keberadaan kastil tersebut, Bumi pun melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya menguburkan Ayahnya beserta awak kapal lainnya terlebih dahulu di pantai. Di tengah perjalanan Bumi dihentikan oleh kehadiran “naga”, yang sepertinya sedang bertarung dengan kawanan babi hutan. Bumi tepat pada waktu untuk menyelamatkannya sewaktu si naga hampir saja dijemput oleh maut, terjatuh ke jurang (padahal si naga bisa terbang, tapi entah kenapa tetap bergelantungan di tepi jurang).

Kebaikan Bumi akhirnya mendapat balasan ketika dia hampir saja dimangsa oleh tumbuhan pemakan manusia, dia ditolong oleh sang naga. Bumi pun tersadar dari pingsannya dan mendapati dirinya sudah sampai di kastil Utopia yang ia cari. Bumi pun tanpa berlama-lama langsung masuk ke dalam kastil yang punya nilai historis tinggi ini, dahulu kastil ini dibangun oleh 4 kerajaan sebagai lambang persatuan dan perdamaian, di puncak kastil ini pun terdapat sebuah pedang yang tertancap pada kristal yang menyimbolkan tidak ada lagi peperangan diantara kerajaan-kerajaan tersebut. Siapa sangka, ternyata kastil ini dihuni oleh ras sejenis kapibara. Walau diawali dengan salah paham, akhirnya penghuni kastil yang dipimpin oleh tetua bernama Bob, menerima Bumi di kastil tersebut. Sebuah kolam cahaya yang berada tidak jauh dari kastil, kembali mempertemukan Bumi dengan teman baru, kali ini seekor panda dan seorang gadis bernama Siren. Bumi pun diajak ke tempat dimana sekelompok pemain sirkus berkumpul dan bernyanyi, disini dia mendapat banyak teman baru. Semua teman barunya akhirnya tinggal di kastil Utopia. Sepertinya mereka hidup bahagia selamanya, tapi yang tidak Bumi dan teman-temannya ketahui adalah, setahun dari sekarang kastil ini akan menjadi sebuah medan perang dan tugas Bumi dan teman-temannya untuk mempertahankan kastil yang tidak hanya tempat tinggalnya tetapi juga rumah bagi keluarga baru Bumi.

Lewat kerjasama Visi Anak Bangsa dan Studio Kasat Mata, lahirlah “Homeland”, film animasi buah tangan animator-animator tanah air. Film buatan tahun 2004 ini diklaim sebagai film animasi 3D pertama di Indonesia, tetapi sayangnya karena keterbatasan dana film ini gagal untuk tayang di bioskop. Sebagai gantinya diadakanlah sebuah roadshow bertajuk “A Journey To Homeland” ke 13 kota di Indonesia, dengan harapan besar dapat menarik minat pecinta film untuk bisa menonton film ini. Film besutan Gangsar Waskito yang dikabarkan memakan waktu satu tahun untuk menyelesaikannya ini, tidak luput dari kekurangan disana-sini. Lewat tema fantasi yang diusungnya, film ini berani ambil resiko menghadirkan cerita yang berbeda, ditengah pasar perfilman Indonesia yang pada tahun itu diramaikan oleh drama dan horor. Jika melirik tahun sebelumnya, yaitu tahun 2003, ternyata ada film animasi yang lebih dulu hadir. Tetapi “Janus: Prajurit Terakhir” tidak dikemas full 3D, melainkan dibalut dengan live action.

Kembali ke “Homeland”, film ini sebenarnya punya cerita yang cukup menjanjikan tetapi tidak berkembang menjadi satu kesatuan kisah yang kokoh. Film yang disuarakan oleh Tika Panggabean, Udjo, Yossi serta Enno Lerian ini terkesan memaksakan plot yang ada untuk saling berhubungan, alhasil banyak sekali ditemukan “plothole” yang pastinya akan membuat kita bingung. Padahal film ini sudah didukung dengan animasi yang cukup bagus, dilihat dari ukuran film Indonesia (bagi saya sudah cukuplah) walau terlihat masih agak kasar dan kaku. Tapi jika saja dilengkapi dengan cerita yang kuat, minus plot-plot “terpaksa” niscaya film ini akan bertambah menarik dan tidak terasa terlalu “game fantasi”. Dengan karakter yang cukup ramai, film ini juga tidak mampu mengembangkan karakter-karakter yang ada, yah seperti hanya numpang lewat menemani aksi-aksi Bumi dalam usahanya menemukan takdirnya. Padahal film ini punya karakter yang cukup unik, sebut saja para pemain sirkus, Bob dan para kapibara, atau naga yang kelak diberi nama Atlas oleh Bumi (walau sekali lagi kurang maksimal dari segi animasi).

“Homeland” dengan segala kekurangan disana-sini, tak terbantahkan masih bisa lumayan menghibur dengan cerita yang menyisipkan kisah “ksatria” dan tumpukan pesan moral yang baik untuk mendidik penonton cilik akan tingginya sebuah nilai persahabatan. Tak pelak film yang memang dikemas dengan alur yang “bersahabat” dan sederhana dalam bercerita ini, masih bisa dikatakan layak untuk dinikmati, walau agak “tersiksa” jika ditonton pada zaman dimana film-film animasi Hollywood dengan bujet besar dan lahir dari studio-studio raksasa, makin banyak bermunculan dan mereka semakin canggih. Namun tetap saja, film buatan anak negeri ini harus bisa dibanggakan, karena jika bukan kita yang mengapresiasi, siapa lagi? lupakan apa yang kurang di film ini dan jadikan itu sebuah pelajaran untuk membuat karya yang lebih baik. Secara keseluruhan Gangsar Waskito, Studi Kasat Mata, Visi Anak Bangsa, dan segenap animator serta para kru yang terlibat dalam proyek ini telah membuktikan bahwa “Homeland” bukanlah karya yang asal buat, film ini dengan kesederhanaanya masih bisa menghibur dan menghasilkan senyum manis di beberapa adegannya.

Rating 3/5