Mayatnya ada di dalam koper, udah aku potong-potong ~ Santi

Setelah Rumah Dara alias Macabre (judul internasional) sukses membawa angin segar ke ranah perfilman Indonesia dan berbaik hati menciptakan sebuah standar baru “bagaimana seharusnya film horor dibuat” dengan tema slasher-nya. Jejak kesuksesan tersebut tentu saja tercium oleh para sineas lokal, yang berpikir saatnya membangkitkan tema yang sebelumnya jarang dilirik ini. Muncul-lah Rizal Mantovani yang dahulu pernah berjasa “membangunkan” film horor tanah air yang sempat mati-suri dengan Jelangkung-nya dan menciptakan pakem-pakem untuk film horor yang kelak banyak bermunculan. Sayangnya tak semua punya kualitas dan originalitas sebaik Jelangkung. Pamor sang sutradara pun makin redup ketika dia terjun bebas kehilangan eksistensinya sebagai sutradara horor yang pernah dibanggakan, alasannya “simpleton”, filmnya tak sebaik Jelangkung. Maka pada bulan Desember 2009 lalu, dia sedikit mengubah haluan (tampaknya terlalu banyak memutar setir, karena hasilnya ohhh…) dengan mencicipi tema slasher lewat film yang dibintangi Tamara Blezinski “Air Terjun Pengantin”. Tapi lagi-lagi kita dikecewakan, film ini tidak berani untuk tampil beda, justru terjebak dan mengekor tren yang sudah jadi langganan horor saat ini. Harapan berubah menjadi debu kekecewaan, slasher bukan hidangan utama melainkan hiasan “pahit”, karena film ini sudah punya “pemanis” lain.

Slasher pun menemukan takdirnya ditangan seorang Nayato (ooooh saya kok tiba-tiba jadi malas me-review), orang yang produktivitasnya tidak perlu ditanyakan lagi ini (tapi perlu diragukan kualitasnya) dalam membuat film-film horor dan drama percintaan anak muda. Sutradara yang kerap memunculkan filmnya dengan tiba-tiba ini, dengan gagah berani layaknya seorang kapiten (kalau berjalan gimana anak-anak…?) membuat gempar dunia persilatan…ups! maksud saya dunia perfilman horor terutama genre slasher. Dibintangi oleh Sigi Wimala (Rumah Dara), Nayato mempersembahkan “Affair”. Filmnya kali ini berfokus pada tiga orang muda-mudi (ooohhh, pasti sudah tidak asing donk dengan pola tiga karakter ala Nayato), Reta (Sigi Wimala) yang bersahabat sejak lama dengan Santi (Garneta Haruni) dan akhirnya bertemu kembali saat kuliah. Lalu satu lagi adalah Daniel (Dimas Aditya) kekasih Santi. Karena Reta sepertinya jatuh hati pada Daniel, Santi dengan sangat terpaksa menyembunyikan hubungannya karena tidak ingin merusak persabatan mereka. Keadaan diperburuk sampai akhirnya Reta mengidap penyakit parah (apa yah namanya, cegukan kalau tidak salah), hal tersebut membuat Santi memutuskan untuk memberikan Daniel kepada Reta. Vonis dokter yang mengatakan sahabatnya tersebut tidak akan hidup lama, memaksa Santi dengan berat hati merelakan Reta berpacaran dengan Daniel (ooohhh sangat mengharukan, saya mencoba menahan air mata tapi apa daya film ini tetap diguyur oleh hujan…).

(lho kok tidak ada bedanya dengan film-film dramanya Nayato nih, mana slashernya?) lanjut cerita, ternyata Reta tidak kunjung menutup usianya, justru waktu tiga bulan yang diberikan oleh Santi untuk keduanya berpacaran telah jatuh tempo. Reta dan Daniel masih tetap berpacaran selama setahun penuh dengan kehadiran Santi diantara mereka, bahkan ketika perayaan hari jadi sahabatnya itu. Santi yang manusia biasa, sudah cukup tersiksa melihat kekasihnya terus mendapat ciuman (kenapa nga cari pacar lagi sih? yah entar pusing lagi si penulis cerita…yang ini aja ceritanya udah complicated bin a mess). Santi pun mempertanyakan kenapa Reta belum juga mati, dia menyesal sudah menyuruh Daniel berpacaran dengannya (asli ngakak gw—temennya nga mati nyesel doi). Jengkel bertumpuk menjadi dendam lalu berubah menjadi niat jahat untuk membunuh Reta. Tapi sebenarnya Santi tidak setulus itu untuk “menidurkan” sahabatnya selama-lamanya, jika saja Reta tidak memamerkan cincin lamaran dan sengaja membisikkan kata “gw hamil” di telinga Santi. Yah, ternyata selama ini Reta sudah tahu soal hubungannya dengan Daniel dan parahnya penyakitnya itu cuma akal-akalan super bulus Reta saja (ooooh twist yang sangat diluar dugaan…pintar!!). Santi pun gelap mata, ditambah ruangan memang gelap karena pencahayaan dalam pembuatan film ini dibuat sedemikian rupa agar sesuai dengan selera sang DOP (iya siapa lagi kalau bukan Nayato). Reta dibunuh dan mayatnya dipotong-potong lalu dimasukkan ke dalam kopor (ini baru slasher…yakin??).

Saya tidak akan mengulang untuk membicarakan bagaimana Nayato mengolah adegan demi adegan dengan cinematografi khas dia banget atau dialog-dialog ajaib dalam film ini. Sudah cukup review-review saya sebelumnya membahas sekilas beberapa ciri khas sutradara yang satu ini. Nayato kali ini benar-benar keterlaluan (ceritanya gw marah nih) dengan seenaknya dia mengklaim film ini dengan sebutan slasher, lihat saja poster dan trailer film ini. “Horror and slasher it rocks!”, “Fatal game absolutely hot, mutilation entering cinemas”, “Affair as appetizer, blood as dessert”, WTF!!!! itulah komentar-komentar yang muncul di poster dan trailer (entah quote siapa yang dipamerkan). Klaim film ini yang seperti akan menyuguhkan hidangan slasher sebagai menu utamanya ternyata bohong belaka. Tidak ada darah segar yang mengalir deras dan jangan coba membayangkan film ini akan menyajikan aksi sadis motong-memotong (justru yang ada sadis menipu penonton). Malahan film ini banyak diisi dengan adegan kurang pintar yang saling tumpang-tindih hanya untuk membuat film ini jadi berdurasi lebih lama, apalagi diawal film, adegan didominasi oleh para pemain kebingungan-bengong-kaget-bengong-pusing-dan-kembali-bingung. Lho bukannya tadi dikatakan ada mayat dipotong?

Iya memang mayat Reta dipotong dan dimasukkan ke dalam kopor, tapi adegan itu sama sekali tidak ada di film ini, kita tahu itu semua dari perkataan Santi “mayatnya di dalam koper, aku udah potong-potong” (gw masih berpikiran positip, mungkin LSF mensensor adegan sadisnya…ah tidak mungkin, hahaha). Drama justru mendominasi hampir 60% durasi film yang kurang dari 2 jam ini, sisanya dibagi rata antara kemunculan hantu yang fungsinya untuk membuat kita kaget dan aksi bunuh-membunuh dengan sedikit darah yang sebagian sudah diperlihatkan di trailer. Pertama antara Santi dengan Reta yang saling beradu fisik lengkap dengan pisau, berakhir dengan Reta mati dibunuh. Adegan sadis di sini hanya sabetan pisau di tangan dan tusukan berkali-kali ke wajah Reta yang ditutupi oleh bantal (nilai sendiri apakah itu sadis? not for me). Adegan kedua antara Santi yang dirasuki oleh Reta berusaha membunuh sepupu Santi, dimana ada adegan seru sepupu Santi menghujamkan tabung gas ke arah setan Reta (hey kok di kamar mandi ada tabung gas…LOL). Owh ada adegan ranjang rumah sakit yang melayang dan berputar yang tidak penting untuk dimasukkan ke dalam cerita…atau hanya ingin pamer kalau Nayato bisa sulap dan berniat untuk masuk the master.

Bagi saya, “Affair” tidak ubahnya seperti anak kecil yang baru mengenal pisau dan tidak tahu untuk apa, yang dia tahu pisau ini sangat tajam. Jadi menurut yang empunya film, slasher itu cukup dengan darah secukupnya, sayatan-sayatan luka yang terlihat bohongan karena hampir lepas tempelannya (sudah tahu asal tempel, di zoom pula lukanya…oooh), dan teriakan berlebihan dari pemainnya walau hanya sabetan kecil di mulut tapi teriaknya sama dengan tangan yang terpotong. Sadis tidak, memalukan sudah pasti, penonton pun terpaksa keluar lebih dulu bukan karena tak kuat menahan kesadisan tapi lebih kepada level bosan mereka sudah mencapai batas yang tidak bisa ditolerir lagi. Meninggalkan bangku penonton lebih dahulu sepertinya lebih baik ketimbang harus memikirkan kenapa ada tabung gas di kamar mandi atau kenapa sekali lagi setan-setan di kereta kembali eksis di film Nayato ini. Sudahlah tak ada habisnya jika harus terus membahas ketidakcerdikan Nayato dalam urusan mengemas filmnya. Hiburan satu-satunya adalah sepersekian menit penampakan zombie di kereta (sebenarnya setan kereta tapi mirip zombie). Hey Nayato saya tantang anda membuat film zombie! hahahaha!! Enjoy…off course not!