Do you believe there is a part of yourself, deep inside in your mind, with things you don’t want other people to see? During a session when I’m inside, I get to see those things. ~Catharine Deane

Novak (Vince Vaughn) dan teman-temannya di FBI sedang kewalahan menangani kasus pembunuhan yang dilakukan Carl Rudolph Stargher (Vincent D’Onofrio). Pembunuh berantai ini punya motif yang unik, menculik lalu mengurung korbannya di tempat yang tidak diketahui selama 40 jam. Di sebuah ruangan berkaca, sang korban tidak bisa kemana-mana hanya bisa berteriak tanpa ada yang mendengar. Bagaimana cara Stargher membunuh lebih mengerikan lagi, setiap saat ruangan mirip akuarium raksasa tersebut akan terisi air. Sampai akhirnya berisi penuh air dan menenggelamkan korbannya hingga tewas. Stragher pun ditemukan dirumahnya dalam keadaan tak sadarkan diri, setelah sebelumnya anggota kepolisian dan SWAT mengepung rumahnya dan menyerbu masuk ke kediamannya. Keadaan makin dipersulit ketika diketahui belakangan, Stargher ternyata mengidap penyakit skizofrenia akut yang langka. Penyakit kejiwaan parah tersebut menyebabkan Stargher “terjebak” dalam dunianya sendiri. Hal ini berdampak pada makin sulitnya sang pembunuh untuk ditanyai soal kasusnya, diperburuk lagi dengan situasi dimana di luar sana korban lain sedang menunggu ajal. Terbatasnya waktu yang hanya kurang dari 40 jam membuat Agen Novak pun berburu dengan waktu untuk bisa menyelamatkan korban yang dipercaya masih hidup tersebut. 

Beruntung ada sebuah teknologi yang memungkinkan untuk bisa “melihat” isi kepala Stargher yang sedang koma ini, Agen Novak dan timnya segera membawanya ke tempat Catherine Deane (Jennifer Lopez). Deane adalah seorang psikolog anak yang memiliki sebuah alat yang bisa menghubungkan dirinya dengan pikiran pasien yang sedang koma. Sebuah teknologi virtual yang memungkinkan Deane untuk masuk ke “dunia” orang lain. Akhirnya Novak dan Deane sepakat, metode ini akan diterapkan kepada Stargher untuk mengetahui dimana lokasi korban yang sekarang sedang disekap. Lewat serangkaian prosedur dan persiapan, Deane akhirnya memasuki dunia sang pembunuh. Dalam dunia yang luar biasa ajaib tersebut, Deane melihat dua sisi psikologis Stargher. Satu sisi memperlihatkan jiwa penuh kepolosan, tak berdosa yang dipresentasikan lewat sosok anak kecil. Sisi lainnya adalah sosok monster yang mewakili jiwa jahat dan haus akan membunuh. Deane bisa melihat masa lalu Stargher, ketika kecil dia selalu disiksa oleh ayah kandungnya. Deane beruntung bisa “lari” dari sisi jahat Stargher yang digambarkan dengan sosok pria “freak” lengkap dengan atribut aneh. Merasa dirinya bisa, Deane mencoba sekali lagi untuk bisa bertemu dengan Stargher kecil dan bertanya soal korban yang disekap. Apakah Deane berhasil membujuk Stargher untuk membuka mulutnya dan “save the day”? atau akankah sisi jahat Stargher menghentikan upayanya?

“The Cell” tak hanya membawa kita ke dunia antah berantah penuh dengan keanehan, namun juga memperkenalkan kita dengan ciri khas Tarsem Singh untuk pertama kalinya di film debutnya ini. Sutradara yang kelak membuat “The Fall” tersebut mengajak kita untuk memasuki alam imajinasinya yang luar biasa berani dalam berekspresi dan kreatif dalam mengesekusi bentuk keindahan menyatu dengan filmnya. Walau dengan plot dasar yang tidak terlalu istimewa, Singh nyatanya bisa mengemas ceritanya menjadi begitu menarik. Sutradara yang punya nama lengkap Tarsem Dhandwar Singh ini dengan cermat dan brilian membawa sebuah drama kejahatan berbalut thriller ke dimensi yang baru. Sebuah cerita serial killer yang terkemas berbeda dengan tambahan paket sureal yang mengejutkan, mengerikan, sekaligus indah. Singh memang tidak menawarkan twist-twist yang fenomenal, namun itu sudah cukup ketika kita ditawarkan sesuatu yang lebih hebat. Visualisasi-visualisasi sureal hasil ciptaannya sudah menjadi jaminan tersendiri nantinya pikiran kita juga akan ikut ter-twisted.

Ketika kita untuk pertama kalinya diperkenalkan dengan “twisted mind”-nya Stargher melalui perjalanan virtual Deane, kita akan disuguhkan dunia yang kelam, aneh, freak, disturbing, penuh dengan metafora dan simbol. Penghuni-penghuni aneh, wanita-wanita berpenampilan tak lengkap dan beraksesori tak biasa akan menemani kita di kunjungan pertama ini. Sedikit banyak akan mengingatkan kita (khususnya gw sendiri) dengan video klip Tourniquet dari grup band Marilyn Manson, yang sama-sama “memotretkan” penampakan-penampakan aneh bin ajaib. Sutradara yang awal karirnya dimulai dengan membesut video klip ini (termasuk video “Losing My Religion” dari R.E.M) memang ternyata terinspirasi dari gaya penyutradaraan Floria Sigismondi (The Runaways) ketika dia membesut video untuk Manson. Film yang rilis pada 18 Agustus tahun 2000 ini juga banyak terinspirasi dari karya-karya seni, jadi wajar jika Singh membuat film ini bak lukisan yang bergerak kesana-kemari.

Sutradara yang lahir di India ini tidak serta merta melupakan dunia “nyata” ketika asyik bermain dengan “lukisan”-nya. Sisipan-sisipan dunia mimpi memang sepertinya menjadi fokusnya dan segmen yang menjual dari film ini, namun itu tak membuat Singh lupa akan tanggung jawabnya membuat keseluruhan cerita menjadi satu-kesatuan. Terbukti, film ini dapat berjalan seimbang antara sisi “artistik” –jangan lupakan juga kostum dan make up luar biasa yang ada di film ini– yang disajikan amazing dengan segi cerita yang dari awal susah payah dibangun. Jennifer Lopez yang menjadi karakter utama di film ini dapat dengan baik melakonkan perannya. Film ini tak ubahnya pemanasan bagi Singh untuk nantinya membuat film yang jauh lebih baik. “The Fall” terbukti menjawab keraguan semua orang, film ini makin menajamkan skill penyutradaraanya, sisi artistik dan ceritanya pun semakin berkembang. Kita tunggu saja apa yang akan ditawarkan Tarsem Singh dalam film selanjutnya “Dawn of War.” Enjoy!

Rating 4/5