Percy Jackson (Logan Lerman) tadinya hanya murid sekolah biasa saja, tak terlalu aktif dalam kelas, dan punya hobi yang sedikit unik. Anak remaja yang tinggal dengan ibu dan ayah tiri ini, gemar menenggelamkan dirinya dalam air hingga beberapa menit (dari sini sebenarnya sudah menjelaskan kenapa dia suka sekali dengan air). Kehidupannya yang cenderung membosankan berubah seketika pada saat dia dan rekan-sekan satu sekolahnya sedang mengunjungi museum, mempelajari tentang mitologi Yunani. Percy tidak hanya diserang oleh monster bersayap (dikenal dengan nama Fury) namun juga dikejutkan oleh kenyataan bahwa orang-orang disekitarnya bukan orang yang selama ini dia kenal (termasuk gurunya yang berubah menjadi monster bersayap tersebut). Teman karibnya, Grover (Brandon T. Jackson) ternyata adalah seorang mahkluk dari mitologi Yunani dikenal dengan sebutan Satyr (manusia bertanduk dan berkaki seperti kambing), dia juga mengaku sebagai pelindung Percy selama ini. Gurunya Mr. Brunner (Pierce Brosnan), yang selama ini berada di kursi roda ternyata adalah Centaur (setengah manusia dan setengah kuda). Percy juga sekarang mengetahui bahwa dia adalah anak dari dewa laut, Poseidon (Kevin McKidd), semua kebenaran itu disembunyikan oleh Grover, Mr Brunner, termasuk Ibunya sendiri untuk melindungi Percy.
Kejutan yang datang bertubi-tubi kepada Percy tersebut ditambah dengan masalah besar yang menimpanya. Percy dituduh mencuri barang penting milik Dewa Zeus (Sean Bean), sebuah tongkat yang memiliki kekuatan petir. Percy yang sebenarnya tidak bersalah harus mengembalikan tongkat tersebut sebelum waktu 14 hari yang ditentukan habis atau akan ada perang besar antara dewa-dewa yang akan membuat dunia ini hancur (sekali lagi semua ini berujung pada akhir dunia). Percy pun dikirim ke perkemahan khusus para demigod (sebutan untuk manusia setengah dewa), untuk menjalani serangkaian latihan dan bertemu dengan teman-teman “senasib” disana. Sayangnya ketika menuju ke tempat tersebut, Percy dan yang lainnya termasuk ibunya diserang oleh Minotaur (mahkluk mitologi berbentuk manusia berkepala banteng). Walau berhasil membunuh monster raksasa tersebut, Percy harus rela kehilangan sang Ibu. Belakangan diketahui Ibunya ternyata tidak tewas, namun dikurung oleh Hades (Dewa penghuni neraka) yang meminta Percy untuk membawakannya tongkat petir Zeus jika ingin ibunya selamat. Lewat latihan “instant” yang dia dapatkan, Percy siap untuk menolong ibunya bersama dengan bantuan Grover dan juga Annabeth (Alexandra Daddario), anak dari Dewi Athena. Berhasilkah Percy menolong sang Ibu sekaligus menyelamatkan dunia dari “War of Gods”?
Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief mengajak kita berpetualang ke dunia mitologi Yunani yang dipenuhi beragam macam keajaiban. Melalui perjalanan Percy untuk menyelamatkan Ibunya dan juga dunia, kita akan diperkenalkan dengan para Dewa-Dewi Yunani yang mungkin selama ini kita kenal, seperti Zeus, Poseidon, Hades, dan juga Athena. Selain dipertemukan dengan Dewa dan Dewi, yang kali ini diceritakan dapat berbaur dengan manusia (berubah wujud seperti manusia biasa), film ini juga akan memperkenalkan monster-monster yang juga berasal dari mitologi Yunani. Film ini juga tidak lupa memberikan sisipan-sisipan pengetahuan tentang mitologi Yunani bersamaan dengan bergulirnya film. Chris Columbus dengan cerdik dapat memanfaatkan cerita-cerita mitologi tersebut dan akhirnya melebur dengan jalan cerita yang ada. Sedikit banyak kita jadi lebih tahu apa hubungan Zeuz dengan Poseidon dan Hades, atau cerita tentang Dewa penghuni gunung Olympus lainnya. Sayangnya film yang diadaptasi dari novel berseri karya Rick Riordan ini tidak terkemas dengan begitu baik, terkesan hanya mengekor film-film adaptasi novel yang sebelumnya sudah lebih dahulu hadir.
Sutradara yang pernah membesut dua film pertama Harry Potter ini (Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets) sepertinya lupa melengkapi film ini dengan hal-hal baru yang tidak pernah muncul di film sejenis. Alhasil kita harus puas dengan suguhan cerita yang sepertinya agak “familiar”, kurang lebih kita akan selalu ingat dengan kisah Narnia atau nantinya akan dibanding-bandingkan dengan seri-seri awal Harry Potter. Bagaimana tidak, film ini juga menampilkan kisah layaknya “negeri dongeng” dengan segala pernak-pernik Dewa, mahkluk-mahkluk ajaib, dan juga tiga jagoan yang kesemuanya masih remaja (kalau tidak ingin dibilang anak kecil). Apakah ini pertanda kita yang mulai bosan dengan film-film bergenre sama dengan ramuan serupa, atau film yang juga dibintangi Uma Thurman ini memang termasuk biasa saja. Dari adegan awal yang kurang menjanjikan, film berlanjut menyajikan alur cerita yang terkesan dipaksakan dengan plot yang berjalan datar. Penonton juga serasa dipaksa untuk pasrah menerima cerita apa adanya, tiba-tiba begini dan tiba-tiba begitu.
Columbus berbaik hati masih memasukkan unsur-unsur pemanis kedalam film ini, adegan-adegan perkelahian dengan monster (minotaur, fury, hydra) dibalut dengan menarik lewat spesial efek yang cukup mumpuni (termasuk kemunculan Hades untuk pertama kalinya). Tapi tetap saja adegan-adegan yang punya kesempatan lebih tersebut kurang teresekusi dengan cermat, plot hole dimana-dimana dan sekali lagi adegan yang “dipaksa” untuk menjadi menarik. Melalui “sidekick” Percy yaitu Grover, kita juga akan disajikan humor-humor ringan. Walau sedikit mengundang tawa penonton, upaya sang Satyr sepertinya kurang maksimal dan tidak menyelamatkan film ini sedikitpun. Kekurangan paling kental yang dirasakan dalam film ini adalah jalinan “chemistry” antara karakternya yang justru tidak dikembangkan dan dibiarkan begitu saja, Columbus mungkin berpikir yang terpenting selesaikan film sampai selesai. Untuk sekian kalinya film ini justru diselamatkan bukan karena ceritanya, namun dengan kehadiran spesial efeknya. Khususnya ketika Percy mengajak kita ke “kediaman” Hades, film ini menampilkan “neraka” yang begitu mempesona sekaligus menakutkan (walau sekilas mengingatkan kita dengan neraka versi Constantine). Film yang punya judul terlalu panjang ini secara keseluruhan dapat menghibur di beberapa adegannya, terutama ketika adegan action menjadi menu utamanya. Tetapi dengan plot yang klise dan cenderung dipaksakan tanpa tambahan nuansa baru pada filmnya, Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief harus rela berakhir di jajaran film yang sangat mudah dilupakan. Semoga sekuelnya dengan embel-embel “The Sea of Monsters” yang direncanakan rilis 2012 dapat belajar dari film pertamanya dan tampil lebih baik.
Rating 3/5
ReviewSexy
kirain spin off dari Harry Potter,kalo ga salah ada nama tokoh Percy juga di HArpot.Ternyata kagak.Nonton ah..
ReviewSexy
Oh..btw,sucks itu verb,jadi harusnya ga pake to be..my review sucks..bukan my review is sucks.
xcatra
gw demen ama cerita kek beginian neh jeng mimi, novel fantasy mang kesukaan gw, tp ya itu dia, selalu deh film pasti gk lebih bagus dari buku nya. tp gw lom baca seh bukunya, dan setelah nonton film ini gw mau baca, jadi yang menarik di sini adalah cerita fantasy nya, film nya mah biasa ajah, mirip harpot abis malah, hehehehehe….
feeling gw seh bukunya akan keren, hal ini juga pernah terjadi pada the golden compass, gw nonton doloan, tertarik dengan ceritanya, beli buku nya, baca dan WOW!!! bukunya keren paraaahh, film nya?! ngg… biasa ajah.
tp enak nya nonton dolo br baca adalah kita gk tau seberapa mengecewakan nya film nya, pasti nya yang ud baca akan membandinginkan ama bukunya. jadi bua yang lom baca kekecewaan nya gk terlalu dalam, hahahahahaha…..
raditherapy
sebenarnya filmnya punya potensi yang bagus nih karena bawain mitologi-mitologi yunani yang notabennya udah menarik klo dijaiin film…sama halnya kaya LOTR yang mengusung mitologi eropa
tapi sayang (gw sih nga baca bukunya juga) kurang di eksplor dan esekusinya flat bgt…mitologinya jadi kaya mejeng sebentar, numpang lewat…akhirnya cuma kaya film action “anak kecil” biasa..
tapi keren Hades dalm bentuk “real”nya 😀
JGPratama
well, gw sudah membaca bukunya. soul-nya ilang, sayang banget. terlalu banyak yang diubah. it spelled, terlalu banyak. (a minor spoiler, penjahatnya bukan Hades, tapi ares), see, told you. agak gergetan pas nonton, walaupun gw bukan fans bukunya tapi tetap, jiwa bukunya ilang. hufff..
raditherapy
maksudnya Hades nga ikut rebutin tuh tongkat? wow bergeser jauh bgt donk…soalnya di film Ares malah nga disebut sedikitpun, cuma ada anaknya pas bertarung di camp…itu juga cupu hahaha 😀
xcatra
hmmm… sepertinya memang bener lebih menarik buku nya ya… kok aneh seh maen ilangin hal2 penting d buku nya, payah neh chris colombus……
tukang soto
‘suck’ itu verb mas. jadi gak pake ‘to be’. jadinya ‘my review sucks’.
Oni Suryaman
yah. emang gak maksimal sih. kupikir bakal lebih bagus kalau lebih setia pada pakem mitologi yunani.
misalnya, neraka hades itu lebih mirip musim dingin yang dingin, gloomy, gelap, daripada pada kobaran api, yang adalah neraka versi agama samawi.
jadi pengen nyari bukunya sih.
http://semuareview.wordpress.com
Abid famasya
saya juga merasa biasa2 aja tuh liat film ini. Setuju banget kalo kita dipaksa pasrah sama alur ceritanya. Adegan tegang2annya g begitu kerasa.
IMO versi novelnya (yang kagak sengaja kebaca) masih lebih baik daripada ni film. Walopoun lewat tulisan, rasa tegangnya masih “menggigit”.