Twelve years, eight months and nine days. What do you mean, “more or less”? ~ Oskar

Oskar (Kåre Hedebrant), bocah berumur 12 tahun, hidup bersama ibunya –orangtuanya sudah lama bercerai– di pinggiran kota Stockholm bernama Blackeberg. Berbeda dengan anak seusianya yang lain yang mudah bergaul, Oskar punya kesulitan untuk bersosialisasi dan tidak punya teman dekat di sekolah. Anak berkulit pucat ini lebih memilih untuk menyendiri, bermain sendiri di kamar dan menghabiskan waktu di lapangan di depan tempat tinggalnya. Oskar juga setiap hari selalu di”kerjai” oleh teman sekelasnya, tetapi dia tidak berani untuk membalas. Uniknya Oskar punya caranya sendiri untuk sekedar melampiaskan kemarahannya, dengan meng-kliping berita-berita kekerasan yang ada di surat kabar. Sampai suatu malam, Oskar bertemu dengan seorang anak perempuan yang seumuran dengannya dan berwajah pucat seperti orang sakit. Gadis yang belakangan diketahui bernama Eli (Lina Leandersson) ini baru saja pindah bersama dengan ayahnya, tepat bersebelah dimana Oskar tinggal. Awal pertemuan mereka diakhiri dengan pemberitahuan Eli kalau mereka tidak bisa berteman. Tetapi lambat laun, setiap malam mereka bertemu di tempat yang sama, saling berbagi “kesendirian” dan akhirnya persahabatan itu terjalin seperti takdir yang nantinya akan mengikat kehidupan mereka. 

Oskar masih dengan kesehariannya, penyendiri dan selalu diejek “babi”, sekarang punya teman yang bisa diajak bermain, dia dan Eli juga punya cara untuk saling berkomunikasi lewat sandi morse. Apa yang tidak diketahui Oskar adalah, tetangganya itu punya sisi gelap yang sulit diterima akal dan rahasia yang mengerikan. Ayahnya, sering “bekerja” di malam hari membunuh siapa saja yang dia temui dan mengumpulkan darah korbannya, apa yang dilakukannya tentu saja dilakukan untuk memberi “makan” Eli. Sayangnya berkali-kali juga Hakan (nama ayah Eli) menemui kesulitan untuk mencari “makanan” untuk Eli. Kegagalan sang ayah memaksa Eli pergi keluar untuk “berburu” sendirian, hal yang sebenarnya tidak diinginkan sang ayah dan juga Eli. Seorang penduduk bernasib malang yang ketika itu sedang berniat pulang justru menjadi “korban” keganasan Eli. Kota kecil itu pun digemparkan dengan kabar serangkaian pembunuhan yang misterius. Hal ini makin menyulitkan Eli dan juga sang ayah untuk keluar “diam-diam” di malam hari. Oskar sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungannya, karena dia sekarang sedang didera rasa “cinta” yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Walau berjalan lambat dan “kaku”, Oskar mencoba untuk terbiasa berada disisi Eli dan berusaha untuk bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan. Begitu juga dengan Eli, dia sepertinya nyaman ketika di dekat Oskar. Apakah rahasia Eli yang sebenarnya akan terungkap?

Let The Right One In atau Låt den rätte komma in dalam judul aslinya, merupakan film bertema horor-romantis tahun 2008 yang berasal dari Swedia. Film ini diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama karangan John Ajvide Lindqvist. Film yang tayang di Indonesia International Fantastic Film Festival 2008 (INAFFF) ini secara mengejutkan muncul ke permukaan membawakan cerita yang sangat begitu menarik. Tomas Alfredson selaku sutradara, berhasil menyuguhkan sebuah kisah cinta yang unik dibalut dengan kemasan cinema eropa yang begitu kental. Ketika kisah vampir dieksploitasi sedemikian rupa tak karuan oleh Hollywood (melirik Edward dan kawan-kawan), film ini hadir membawakan kisahnya sendiri tanpa ingin mengikuti tren yang sedang berkembang. Bermodalkan cerita yang kuat dan plot yang diesekusi “dingin” –sedingin Blackeberg yang pada saat itu sedang diguyur salju– film yang judulnya terinspirasi oleh “dongeng” vampir ini sukses men-dongeng-kan kita sebuah “lullaby” yang manis dan juga luar biasa indah.

Jalinan persahabatan dan cinta antara manusia dan vampir, anak berusia 12 tahun yang sering di-bully bernama Oskar dan Eli yang mengaku berumur sama ini teresekusi dengan baik lewat gaya penceritaan Alfredson yang sebenarnya sederhana namun cerdas dalam menangkap detil penting didalam film ini. Detil-detil yang berhasil mengajak kita untuk merasakan dinginnya kota Blackeberg, merasakan “lonely”nya seorang Oskar, merasakan “haus” yang sama dengan Eli, dan kita serasa ikut ambil bagian dalam setiap konflik yang bertahap muncul kemudian. Sutradara yang sekarang sedang sibuk dengan produksi film terbarunya berjudul “The Danish Girl” ini juga cerdas mengikat erat ceritanya untuk tidak terlepas dari skema plot yang sudah terbentuk “halus” dari awal. Alur yang diciptakan sangat “bersahabat” tersebut justru berhasil menjebak kita untuk tidak beranjak dari tempat duduk, “betah” menghabiskan durasi 115 menit-nya. Film yang sukses mengumpulkan banyak penghargaan dari berbagai festival di seluruh dunia ini tak hanya menjadi jaminan sebuah tontonan yang tidak membosankan, namun pintar dalam menyembunyikan kejutan-kejutan yang cukup membuat “wah”. Sama halnya dengan Oskar yang penasaran dengan siapa orang yang baru saja pindah ke sebelah rumahnya, kita juga teracuni dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Alfredson pun melaksanakan tugasnya dengan sempurna, tidak membiarkan kita untuk terus terkurung dalam rasa penasaran yang tinggi, ia dengan baik hati melepas satu-persatu jawabannya.

Sanjungan juga pantas disematkan kepada orang yang bertanggung jawab dibalik kamera. Hoyte Van Hoytema dengan luar biasa menghadirkan pergerakan kamera yang indah, menghasilkan cinematografi yang lezat untuk dinikmati. Nuansa gelap dan gothic yang menemani selama film bergulir dari menit ke menitnya begitu melekat menempel seakan Eli sedang siap menerkam leher kita. Nuansa yang dibangun Alfredson nyatanya berhasil mendukung film ini semakin “sunyi” namun sekali lagi sangat indah, kesunyian yang merangkak naik lalu berubah menjadi semakin intense ketika cerita mulai masuk ke babak yang dipenuhi konflik, kekerasan, sedikit gore, dan juga romantisme cinta. Tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung para aktor/ aktris-nya yang bermain gemilang dalam melakonkan perannya masing-masing. Terutama tokoh utama Oskar dan Eli, –dibutuhkan casting yang cukup lama untuk mendapatkan pemeran yang sangat cocok untuk tokoh utamanya– ketika pada akhirnya Kåre Hedebrant dan Lina Leandersson ternyata dapat bermain sangat natural sebagai Oskar yang penyendiri dan Eli si vampir (dengan make-up yang cukup menyeramkan). Mereka berdua bener-benar telah menampilkan performa akting yang “powerful”, alhasil mereka dapat mendukung cerita yang sudah begitu indah menjadi semakin indah lewat lakon yang mereka mainkan. Secara keseluruhan film ini tampil “adorable”, membuat kita yang rindu akan kisah horor yang unik dengan cerita yang menarik terpuaskan oleh kehadiran film yang juga dibumbui kisah cinta ini. Apakah remakenya “Let Me In” benar-benar perlu dibuat? I don’t think so. Enjoy!

Rating 4.5/5

(illustration by: Tom Humberstone | www.ventedspleen.com)