Kita membicarakan kenyataan dalam dunia yang tak kumengerti, kita membicarakan kepasrahan dalam spektrum yang hitam dan putih, kita merasa benar benar pintar memasyarakatkan kebodohan ini, kita membicarakan kenyataan dalam dunia fantasi ~Koil

Nayato Fio Nuala (jangan tanya gw siapa nama alias dia yang lain, karena gw nga hapal dan nga peduli) tampaknya pintar menyembunyikan simbol dalam filmnya, lihat saja lirik dari lagu “Kenyataan Dalam Dunia Fantasi”yang dibawakan oleh Koil, yang secara kebetulan dipasangkan untuk menjadi cameo di film ini. Coba perhatikan baik-baik kata-demi katanya, gw bisa bilang lirik tersebut sudah 100% mewakili apa yang ditawarkan film ini. 18+ yang menghadirkan bintang-bintang muda sebagai tokoh utamanya ini, memang nyatanya berada di dunia yang sulit dimengerti. Hampir seluruh durasi dihabiskan untuk membuat bingung penontonnya, maaf penonton disebelah pun bilang “film ini sama sekali tidak menarik”. Fio pun kembali memamerkan ciri khasnya dalam mengemas suatu adegan agar terlihat “art”, mungkin yang sering nonton filmnya (salut?) sudah tahu dan sangat mengerti kalau sutradara yang satu ini hobi sekali dengan ruangan “remang-remang” set yang separuh hitam (gelap) dan separuh putih (terang). Tidak perlu sok terlihat pintar dengan beli tiket dan menonton film ini, karena isinya justru memutar-balikkan otak kita layaknya wahana “tong setan” yang sering muncul di pasar malam, akhirnya keluar studio kita malah terlihat bodoh dengan muka pucat dan setengah tidak sadar (klo gw tadi keluar dengan gaya cool, LOL!) 

Bait terakhir dari lagu grup band beraliran industrial metal itu pun masih melukiskan dengan jelas dunia apa yang menjadi setting film ini…tentu saja dunia fantasi. Gw yakin seburuk-buruknya keadaan seseorang atau dalam kata lain seberat-beratnya cobaan yang seseorang hadapi, tak akan pernah seperti apa yang dapat kita saksikan di film ini. film yang benar-benar keluar dari kodrat Tuhan, satu orang diceritakan sudah jatuh masuk lubang pula, lantas sialnya tertimpa tangga juga (bayangkan betapa sialnya orang itu). Gw sih inget kata-kata yang menyebutkan “Tuhan tidak akan pernah menguji manusia diluar batas kemampuan manusia tersebut” (benarkan kata-katanya jika gw emang salah). Tetapi apa yang diperlihatkan di film ini toh berbanding terbalik dengan kata-kata barusan. So? Tidak salah jika gw menyebut ini adalah dunia fantasi, bukan drama yang disadur dari kisah nyata yang biasa diagung-agungkan sang sutradara. Lalu apa yang diceritakan film ini, sekali lagi sebuah cerita fantasi tentang cinta dan persahabatan. Alkisah Raka (Samuel Zyglwyn) dan Topan (Adipati) saling mencintai…ups salah (You know how I know that you’re gay? How?) maksudnya saling bersahabat. Sangat setia satu sama lainnya, dan siap membantu jika satu diantara mereka sedang mendapat masalah. Topan memiliki pacar bernama Chanisa (Stevanie Nepa) yang diketahui belakangan punya penyakit paru-paru yang parah.

Bagaimana dengan Raka?, anak yang terkenal sok ganteng di kampusnya, hobi tebar pesona namun tak jarang menjadi bahan cacian para cewek-cewek di kampus (kesian yah, are you gay?). Ternyata Raka punya hati dengan Helen (Leylarey Lesesne), yang juga teman dari Topan dan Chanisa. Seperti biasa (klise) Helen malu-malu kucing, sok tidak suka dengan sikap Raka yang urakan dan punya tampang cowok yang suka “mainin” cewek tersebut. Tapi lambat-laun benang merah cinta yang kasat mata itu pun mengikat hati mereka berdua.  Tentu saja berkat bantuan dari sahabat mereka juga. Ketika ke-empat remaja yang katanya berumur 18 tahun ini sedang dimabuk cinta, permasalahan pelik mulai menghampir, menggerogoti kebahagian yang mulai tumbuh. Hubungan Topan dan Chanisa terganggu oleh mampirnya cewek psycho terbalut dengan wajah manis bernama Nayla (Arumi Bachsin). Topan masih bersikap acuh, sampai akhirnya Nayla mulai menebar teror (eng-ing-eng) dan Chanisa sudah cukup terganggu dengan ulah mantan pacar Topan itu. perlu diketahui, Topan punya keluarga yang tidak kalah “complicated” dibanding kehidupan cintanya. Kedua orang tuanya tidak lagi harmonis (kenapa?) karena ayahnya ternyata seorang gay. Topan pun memilih mengurus pacarnya Chanisa yang semakin sakit-sakitan, ketimbang harus pusing dengan urusan di rumahnya dan melihat ibunya yang “kesepian”.

Coba kita tengok sebentar keadaan Raka dan Helen, aw…aw…mereka semakin vulgar saja menyatakan cintanya satu sama lain. Mereka berdua memang belum berani punya komitmen atas hubungan ini alias ttm (coba googling untuk tahu artinya). Walau hubungan mereka tanpa status, toh itu tidak menghalangi mereka untuk saling “terbuka” bukan soal pikiran dan hati lho, tapi buka-bukaan beneran dalam artian melakukan hubungan layaknya suami istri (sopan bener bahasa gw). Sekarang saatnya masalah berikutnya menyatukan 4 remaja yang kuliah di satu kampus ini. Penyakit Chanisa semakin bertambah parah, dan hal itu mengharuskannya melakukan beberapa tes (adegan doktor-chanisa-topan didramatisir terlalu berlebihan). Selagi Chanisa dirawat inap, Topan kebingungan mencari uang untuk biaya rumah sakit (WTF!! Kemana orang tua kalian?? Saudara kalian??). Raka pun dengan heroik menawarkan bantuan untuk mencari uang, tampak tenang dia menghibur sahabatnya itu untuk ikut tenang dengan jaminan semua akan beres. Kemana Raka mencari uang? Bagaimana nasib Chanisa? Seperti apa jadinya hubungan Raka dan Helen? Apakah keluarga Topan akan kembali normal? Lalu akankah Nayla kembali mengganggu Topan dan Chanisa yang sedang tertimpa musibah? Gw mengakhiri sinopsis yang terlalu panjang ini sampai disini, silahkan kalian menontonnya sendiri.

Liat pertanyaan-pertanyaan diatas, itu belum mewakili semua pertanyaan yang muncul ketika film berdurasi hampir 2 jam ini bergulir dari menit ke menitnya (serius, film ini serasa punya durasi 4 jam). Nayato sangat pintar menumpuk konflik demi konflik, masalah demi masalah, namun tidak pintar (sekali lagi bahasa gw terlalu sopan) dalam urusan mengesekusi ceritanya. Alur cerita yang terlanjut dibuat bertumpuk yang berisi masalah dari masing-masing karakternya dikemas tidak tuntas. Konflik yang disajikan Nayato bisa dibilang hanya numpang lewat saja, satu adegan menghadirkan masalah yang peliknya bukan main, lompat ke masalah berikutnya lalu lompat lagi…terus saja seperti itu, tanapa penyelesaian yang jelas dan masuk diakal. Kita akan diajak “mengambang” bersama plot-plot yang tidak punya arah cerita, entah mau dibawa kemana. Apakah film ini punya multiple penulis? Sama halnya dengan multiple identity yang melekat pada diri sang sutradara. Nayato seenaknya menumpuk piramida kartu dan dengan gampang meniup tumpukan kartu tersebut, alhasil plot-plot cerita tersebut berantakan. Selain judul yang punya embel-embel “plus”, film ini juga punya plus-plus lainnya. Film ini punya dialog-dialog yang buruk, contohnya: Kalo tetek aku kempes, pantat aku penyok, kamu masih cinta aku? dialog ajaib tersebut juga diperparah dengan akting yang ajaib pula.

Fio juga dengan gampang menyisipkan adegan-adegan tidak penting kedalam skema plotnya. Adegan berdurasi beberapa menit yang sebetulnya tidak berpengaruh ke cerita, Fio memunculkan adegan itu hanya untuk pamer skill sinematografinya, adegannya memang terlihat indah (layaknya video klip cinta-cintaan) namun hanya menambah “depresi” penonton yang sudah cukup dipusingkan dengan cerita yang sudah ada. Dramatisasi yang terlalu berlebihan juga menjadi sisi yang sangat “menjual” disini. Sebut saja adegan slow-motion, tiupan angin yang mengibar-ngibarkan rambut, jika itu dirasa belum cukup. Fio punya tambahan hujan yang selalu mengguyur setiap waktu, dari pagi sampai malam sepertinya hujan tidak berhenti. Musiknya pun dibuat sedemikian rupa untuk menambah momen sedih, marah, dan apapun itu, tapi tetap saja “feel” yang diharapkan tidak sampai ke penonton. Setelah dibuat “depresi” dengan filmnya, padahal ini bukan tema depresi, durasi dan tumpukan plot yang “nyasar” itulah yang membuat gw buru-buru ingin meninggalkan bioskop. Jadi tidak salah gw sedikit bersenang-senang me-review film ini. Gw tidak bermaksud menjatuhkan film ini, tapi kenyataannya itulah hasil dari apa yang sudah gw tonton. Jujur apa yang membuat gw tertarik menonton film ini adalah adanya nama Koil yang “nyangkut” di poster film ini. Setidaknya ada sedikit hiburan dari hentakan keras musik Koil yang membuat gw “betah” untuk bisa bertahan sampai film selesai. Enjoy….not!