I’ve never complained! When have I ever complained about you practicing the violin at three in the morning, or your mess? Your general lack of hygiene or the fact that you steal my clothes? ~Dr. John Watson
Lord Blackwood (Mark Strong) mungkin saja akan berhasil melakukan pembunuhan yang ke sekian kalinya, jika Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) tidak datang dan mengusik kejahatan kejinya dibalik kedok sebuah ritual “black magic”. Ditemani sahabat dan sekaligus rekan kerjanya John Watson (Jude Law), mereka berdua sekali lagi berhasil membokar kasus pelik nan rumit dan sukses mengirim Blackwood ke penjara. London pun bisa kembali tersenyum manis karena sekarang penjahat yang mereka takuti ada dibalik jeruji dan sedang menunggu hukuman mati. Sebaliknya, senyum itu tidak terlukis pada wajah sang detektif kita yang seharusnya menikmati kesuksesan karena sudah menangkap penjahat yang dia cari selama ini. Kenapa? karena Senyum itu terhapus ketika tiba-tiba Blackwood memanggil Holmes sebagai permintaan terakhirnya. Pesan-pesan terakhir musuhnya itu betul-betul menghantui diri pria yang pandai berkelahi ini dengan pertanyaan-pertanyaan. Sayangnya kunci menuju jawaban dari misteri ini dibawa bersama Blackwood ke alam baka.
Setelah kematian Blackwood, semua sepertinya akan kembali tenang dan damai, tunggu dulu ternyata tiang gantungan tidak menghentikan orang yang diduga memiliki kekuatan magis yang jahat tersebut. Sherlock Holmes harus kembali berurusan dengan kasus yang di luar akal manusia, karena Blackwood bangkit dari kuburnya. Watson pun kembali “terjebak” bersama rekannya yang kadang bersikap urakan tersebut, untuk bersama-sama memecahkan kasus ini. Padahal Watson sendiri sudah merencanakan untuk tidak lagi terlibat dengan pekerjaan detektif dan fokus untuk melanjutkan hidupnya untuk segera menikah. Namun apa daya pria yang bergelar doktor ini ketika kecerdikan rekannya yang pintar dalam menganalisa kasus tersebut mengalahkannya dan berhasil memancingnya untuk “mengalah”. Duo Holmes dan Watson pun kembali menelusuri tiap inci jalanan di London, mencerna setiap bukti yang mereka temui dan mengikuti setiap misteri yang menghadang mereka sampai ke tiap sudut gelap kota London. Sebuah konspirasi jahat sedang menunggu mereka, menanti dengan sabar, layaknya predator yang kelaparan memancing mangsanya.
Gw tidak pernah membaca kisah detektif esentrik ini langsung dari novelnya. Demikian juga dengan film-film yang diadaptasi dari pengarang berkebangsaan Inggris yang punya nama lengkap Sir Arthur Ignatius Conan Doyle ini, sama sekali tak pernah menontonnya, mungkin sekilas pernah menonton tapi lupa kapan dan film tahun berapa. Jadi cukup berterima kasih kepada sutradara yang juga berasal dari negeri yang terkenal dengan “Big Ben” ini untuk mempotretkan karakter “Sherlock Holmes” kembali ke layar lebar. Dengan memasukkan ciri khas dan gaya uniknya, Guy Richie mencoba mengemas film yang menceritakan tokoh detektif legendaris ini dengan ikatan pita yang lebih modern, dengan tujuan lebih menarik penonton untuk berbondong-bondong ke bioskop untuk menontonnya. Terbukti ditangan pria yang juga mantan suami Madonna ini, film ini berhasil menghibur lewat gabungan action dan humornya, terlebih plot ceritanya yang lumayan bisa membuka mata ini untuk tidak tertidur dengan dialog-dialog panjang dan penuh teori di film yang berdurasi 128 menit ini.
Seperti sudah disebutkan sutradara “Snatch” ini memasukkan unsur-unsur magis yang merupakan ciri khasnya, sebuah trade mark yang menjadikan film-filmnya selalu menarik untuk disaksikan. Unsur yang paling dominan terlihat disini adalah bagaimana Ritchie dengan cermat dapat membangun set kota London menjadi sebuah kota yang “dekil” dan “dark” menghantarkan aura film-film seperti Snatch dan Lock, Stock and Two Smoking Barrels untuk kembali hadir di film tahun 2009 ini. Sebuah nuansa gelap yang kental akan kriminal-bawah tanah dan nuansa klasik kota London tercampur dengan pas, menghasilkan visual kota yang memanjakan mata. Masih membawa ciri khasnya, Ritchie juga masih bermain dengan narasi-narasi panjang yang menemani keseluruhan cerita. Kali ini narasi-narasi tersebut mewakili pikiran Sherlock ketika atau pada saat dia menjelaskan teori-teorinya yang memang sulit dicerna jika hanya oleh dialog biasa. Kreativitas Ritchie pun kembali tertantang, adegan-adegan bernarasi itu di padu-padakan dengan permainan slow-motion yang cukup indah. Alhasil, Ritchie pun berhasil menterjemahkan otak brilian Sherlock Holmes dan divisualisasikan lewat adegan-adegan tadi, dan membiarkan kita sebagai penonton untuk terlena mencernanya.
Guy Ritchie juga dengan apik dapat membangun plotnya dengan tempo yang teratur, walau terkadang di beberapa adegan masih terasa terlalu lambat. Namun ketika titik didih “bosan” penonton mulai meninggi, Ritchie dengan sigap dapat “membangunkan” para penontonnya melalui adegan-adegan action yang terkemas dengan matang, merangsang adrenalin untuk ikut terpacu bersama kepiawaian Sherlock dalam memecahkan kasus dan juga mengadu tinjunya dengan penjahat-penjahat yang menghalangi jalannya. Di film ini keeksentrikan seorang Sherlock Holmes memang tervisualisasikan dengan baik, dimana dia diperlihatkan sebagai orang yang terkadang cuek, urakan, dan suka seenaknya. Tetapi dibalik sikap “bad boy”-nya, Sherlock betul-betul bisa menunjukkan kelasnya sebagai seorang detektif yang cemerlang dengan analisa-analisanya yang ajaib. Kita hanya bisa memutar dan memeras otak ini untuk menyanggupi kejeniusan seorang Sherlock Holmes dalam memecahkan setiap pecahan teka-teki kasusnya.
Misteri demi misteri yang hadir menemani Sherlock kembali bisa berbaur dengan racikan alur cerita yang dibuat oleh Ritchie. Seperti biasa, sutradara yang selalu menghadirkan aktor Jason Statham dalam film-filmnya itu, juga sudah menyiapkan twist-twist yang cukup mengesankan di film ini. Walau kadar kejutannya cukup kurang dirasakan dan tidak terlalu istimewa ketika misteri mulai tersibak satu-persatu. Beberapa “kartu” yang sudah dijejerkan Ritchie dengan rapih dan siap untuk dibuka tersebut bahkan terlalu mudah untuk ditebak “isi”nya. Tetapi tetap saja seorang Guy Ritchie memang terlalu mahir dalam mempermainkan penontonnya, toh dia pada akhirnya berhasil mengajak kita tersesat dalam “lorong labirin” yang dibuatnya. Terjebak di tumpukan plot cerita, sampai ending mengeluarkan kita dari labirin tersebut.
Robert Downey Jr, sudah sepantasnya berterimakasih kepada Jon Favreau, yang melihat bakatnya dan memboyongnya ke proyek film Iron Man. Ketika reputasi masa lalunya membayangi karirnya yang sedang terjun bebas tersebut, perannya sebagai Tony Stark di film itu justru makin melambungkan namanya, memperbaiki reputasinya dan menjadikannya aktor yang patut disegani di Hollywood. Aktor serba bisa yang bisa menghidupkan karakter-karakter dalam setiap filmnya ini, kali ini juga memperlihatkan kemampuan beraktingnya yang tidak biasa. Sebagai seorang Sherlock Holmes, Downey bisa terlihat menyatu dengan karakter detektif tersebut. Walau sekilas kita masih melihat sosok Tony Stark dalam diri aktor yang tidak hanya bisa bermain serius namun juga “tidak serius” tersebut dalam beberapa adegan. Jude Law, yang memerankan “soulmate” sang detektif yaitu Doktor John Watson juga tidak kalah menyita perhatian. Justru dengan tidak disangka-sangka, aktor yang juga bermain menggantikan mendiang Heath Ledger di film The Imaginarium of Doctor Parnassus tersebut, dapat bermain dengan cukup cemerlang untuk mengimbangi Downey sebagai seorang “side kick”.
Peran Mark Strong sebagai penjahat bernama Lord Blackwood juga cukup meyakinkan di film ini dan Rachel McAdams harus puas ditempatkan sebagai pemanis di film ini lewat aktingnya sebagai “kekasih” Holmes, Irene Adler, penjahat kambuhan yang punya kelicikan tiada duanya. Secara keseluruhan, Sherlock Holmes tampil baik dibawah arahan Guy Ritchie, sebuah paket cerita detektif yang terkemas baik tapi juga tak terlalu istimewa. Balutan-balutan action dan bumbu-bumbu humornya tidak dapat disangkal merupakan sebuah hiburan yang dapat mengangkat film ini untuk tidak terjebak dengan plotnya sendiri dan menjadi tontonan yang membosankan pada akhirnya. Film ini pun menjadi menarik dengan gaya Ritchie yang setidaknya masih menyangkut dengan kuat, merajut plot demi plotnya dengan rapih, dan menghembuskan kesegaran twist yang juga masih “style” Ritchie tersebut. Menutupi segala kekurangan film yang seharusnya bisa lebih baik jika bisa memadatkan ceritanya ini. Selebihnya, Sherlock Holmes pantas untuk ditonton bagi anda yang rindu dengan film-film Guy Ritchie, butuh hiburan yang terkemas pintar, dan menginginkan cerita detektif yang lumayan berisi.
Rating: 3.5/5
xcatra
ugh pengen nonton film ini…..
tp midnight kali ini gk dpt seh 🙁
hal yang membuat gw mau nonton film ini krn guy ritchie nya, sherlock holmes nya, dan robert downey nya :D. tp gw juga lom baca seh novel nya sherlock holmes, cuma sekedar tau aja kl dia ntu detektif yang terkenal, apa lg setelah baca komik conan kan. kisah detektif begitu seru, walo sbnr nya gw juga gk ngerti seh trik2 nya, pusink bos,,,, ud mah penjahat nya pinter tp detektif nya lebih pinter lg krn bisa memecahkan nya.
tp sejujur nya ada yang gw mau tanyakan, tokoh sherlock holmes ntu memang kek gt ya? suka ngebanyol gt… kl gw trailer nya seh gw berpikir malah si robert kek tony stark bgt tuh. gw kira sherlock holmes ntu sifat nya serius gt 😀
raditherapy
nah gw nga ngerti deh gimana sherlock yang asli itu…hehe
yang gw tahu sherlock itu esentrik, detilnya lagi2 nga tahu
yang pasti versi si ritchie kayanya udah dipermak deh buat
dicocok2in sama “taste” zaman sekarang, trus untuk menarik
fans baru…sama kaya “startrek”-nya abrams atau “batman”-nya nolan
Hobi Nonton
pengen nonton tapi gak sempat 🙁
padahal dah diajakin 3x ma temen2… 🙁
raditherapy
well tunggu aja tanggal 31, klo nga salah sih tanggal segitu rilisnya 🙂
denhurd
wah pengen nonton
movietard
Thanks for ur review, ngebuat ekspektasi saya jadi naik nih! kayaknya filmnya bagusss juga,
kemarin pas midnite gak mau nonton, soalnya well, i’m not the one who impressed with Downey-Law duet at this movie,
pas liat trailer Sherlock udah kayak mau nangis ngeliat Sherlocknya Downey,
hihihi…lebay saya
but yea, i’m sherlockian, gue baca hampir semua novelnya dan kecewa karna secara physical appearance Downey sangat tidak Holmes,
Holmes dibuku digambarkan tinggi,kaku,agak snob tapi juga charming..well,kind of elegant british guy seperti karakter cowo2 di Jane Austen dan well, dia druggie.tapi pas lihat trailernya plus karna ini Ritchie’s movie, kok jadi komedi ya,
tapi sepertinya filmnya cukup menghibur ya
raditherapy
wah akhirnya ada yang pernah baca bukunya dan sedikit bercerita disini…gw skrg punya gambaran lah kaya apa Sherlock aslinya di novel…
berarti emang Sherlock versi Ritchie ini beda bgt sama di novel sepertinya…
mirip2 tony stark kelakuannya, cuma beda jaman aja, gw ngeliatnya begitu
well biar anda sendiri nanti yang menjudge pas udah nonton filmnya hehehe
🙂
movietard
saya udah nonton bung, *kok jadi kayak laporan ya sekarang*
yea, it’s a well done, Ritchie sukses memotret suasana london yang memang bukan dalam tahun2 terbaiknya
dan well, Sherlock memang jadi nyeleneh bgt! but since we must to divide the novel and the movie, gue pikir hal ini gak fair,
yg pasti Downey memang membawakana karakter Holmes dgn interpretasi dia sendiri dan hasilnya cukup baik walaupun jujur, Holmes rasanya tidak akan sampai menghalang2i Watson untuk menikah,
dia memang kehilangan tetapi dgn sifat snobnya itu,dia terlalu malu untuk mengakuinya.
Law bermain sesuai porsi walaupun sebetulnya ada sedikit bagian dr diri saca yg justru merasa dia sebetulnya bisa jadi Holmes yang oke 😛
and it’s definitely have a sequel and the biggest enemy-lah yang muncul
kania
saya suka Tony Stark dan Jude Law *genit
tapi gue justru kurang dapet suasana misterius dari film ini..
bukan mistery cases nya, tapi aura misterius nya yg kurang berasa 😀
jadi penasaran pengen baca buku sherlock holmes dan mengetahui gimana karakter Holmes di novel 😀
raditherapy
hahahaha jadi tony stark yah bukan downey…
berarti karakter iron man udah nyangkut tuh di diri si downey 😀
klo kita liat aktingnya di sherlock, pasti inget bgt tony stark
klo soal suasana misterius dari kemistisan Blackwood
mungkin Ritchie nga mau terjebak dengan ceritanya sendiri
dengan menampilkan sherlock yang terlalu mistis…
raditherapy
hihihihi laporan diterima 😀
Si Ira
belom nonton, tapi penasaran, dari triler filmnya karakter SH sama Dr.Watson dibuat sanagt berbeda dengan novelnya. SH di sini gak elegan, malah watson yang elegan bgt. but thanks for da review..jadi bersemangat buat nonton.
raditherapy
senang reviewnya bisa bikin semangat 🙂
selamat nonton…
andre
film yg akan bikin conan doyle bangkit dari kubur karena penggambaran holmes yg beda dari novelnya..
tapi, seperti sahabat saya bilang dahulunya,jika sebuah novel diibaratkan dengan jeruk, maka versi layar lebar adalah sebuah orange, serupa tapi tak sama..
ceritanya lumayan kocak, dan g sabar nunnggu kelanjutannya..mudah2an Profesor Moriarty bakalan nongol..wkwkwkwkwk..
cerita detektif dari baker street emang g ada matinya..
raditherapy
iya emang sulit jika harus membanding-bandingkan trus suatu karya film dengan sebuah novel (adaptasinya) yang ada akhirnya kita malah nga enjoy nontonnya…
yah klo soal holmes disini, Ritchie emang udah merekayasa sedemikian rupa agar sesuai dengan pakem/ciri khas dia…mungkin dari awal dia emang mau buat holmes versinya sendiri, lebih “bersahabat” untuk mengundang banyak fans baru…
sama halnya dengan apa yang dilakuin JJ Abrams untuk “startrek”
andre
like i said before..
kalo novel kita ibaratkan jeruk
maka adaptasi ke pilmnya bisa kita katakan dengan orange..
serupa tapi tak sama..
btw novelnya keren lho ram..