Dilihat dari judulnya “Babi Buta Yang Ingin Terbang”, terbesit pikiran kalau film ini akan menceritakan sesuatu yang lucu atau setidaknya memberikan kisah fantasi tentang babi yang punya keinginan untuk terbang. Tapi khayalan itu pun pudar ketika membaca sedikit sinopsis film ini. Sebuah cerita tentang Linda dan orang-orang di sekitarnya yang memiliki agendanya masing-masing. Ditengah suasana perkotaan Indonesia yang dihiasi oleh ketegangan rasial, film ini memperlihatkan gelisahan yang dialami oleh mereka yang terlahir dengan identitas tertentu. Sekali lagi pikiran melayang dan mengambil kesimpulannya sendiri “ternyata ini adalah film drama kehidupan”. Apakah benar demikian? 

Tanda tanya besar tentang film apakah ini, langsung terjawab setelah film ini bergulir dari menit ke menitnya. Bila dikatakan sebuah drama kehidupan, tentu saja ada benarnya. Karena film ini menyajikan cerita-cerita kehidupan yang ditempatkan pada masing-masing karakter yang lalu-lalang di film ini. Ada Linda, seorang gadis yang gemar bermain petasan sejak kecil. Dia juga masuk ke sebuah acara televisi karena selain suka bermain petasan, dia juga hobi memakan petasan. Lalu ada juga Cahyono, teman dekat Linda sejak kecil. Cahyono ingin menjadi apa saja selain Cina. Itulah jawabanya anak yang setiap harinya “dikerjai” anak-anak sebayanya itu, ketika Linda bertanya tentang cita-citanya kelak besar nanti.

Drama kehidupan itu pun menjadi berbeda ketika setiap adegannya disampaikan lewat simbol-simbol, yang terkadang susah untuk dicerna. Edwin, sepertinya ingin menyajikan pengalaman hidupnya, curahan hatinya, dan memyampaikan itu semua lewat visual yang penuh dengan metafor kehidupan yang sebenarnya. Sutradara yang mengatakan kalau film ini adalah “personal” baginya, mencoba mewakili perasaan-perasaannya itu melalui karakter-karakter didalam film ini. Simbol-simbol bertebaran dimana-mana, setiap adegannya bak memakai topeng setiap saat. Kita pun dipaksa untuk menebak-nebak apa maksud dari setiap adegan-adegan itu, mencerna baik-baik, dan pada akhirnya mungkin menghasilkan kesimpulan kosong belaka.

Film ini boleh dikatakan terlalu berani dalam mengambil tema yang “absurd”. Tema yang sepertinya masih asing di mata penonton kita, yang lebih memilih untuk dimanjakan dengan tema-tema yang masuk akal dan lurus-lurus saja. Apalagi ditambah dengan suasana “depressing” yang mewarnai keseluruhan film ini. Alhasil film ini hanya akan jadi konsumsi segelintir penikmat film saja dan untungnya memang masih bisa dinikmati walau dengan gaya bercerita “non-linier”nya dan segala macam adegan “mengejutkan” yang disajikan. Diluar semua itu, secara keseluruhan, kreatifitas “gila” film ini dalam membangun cerita dari awal sampai akhir telah memberikan sebuah variasi pengalaman baru dalam menonton film Indonesia. Dengan kelebihan, kekurangan, keanehan, keunikan dan kejutan yang dimiliki “Babi Buta Yang Ingin Terbang”, sudah selayaknya kita para insan perfilman tanah air mengangkat film yang dengan berani “tampil beda” ini. Jika bukan kita siapa lagi? Enjoy!

Beruntung rasanya bisa mendapat tiket (untuk film-film gratis biasanya tiket cepat sekali habis) dan menonton film-film pendek karya anak negeri yang tergabung dalam kategori S-Express (Indonesia). S-Express sendiri adalah jaringan kerja pertukaran film pendek antar negara-negara Asia Tenggara dan rutin di menjadi bagian dari Jiffest. Di Jiffest ke sebelas ini,  film-film pendek yang ikut ambil bagian adalah La Promesse, CINtA, Menunggu Sepi, Facebooked, Anak-anak Lumpur, dan Fronteira.

La Promesse, bercerita tentang seorang pria yang berjanji akan datang makan malam dan bertemu dengan orangtua sang kekasih. Namun sayangnya dia melupakan janji itu dan sekarang dia berupaya untuk meyakinkan sang kekasih bahwa dia punya alasan kuat kenapa dia lupa janjinya. Seluruh dunia sedang tidak bersahabat dengannya. Joko Anwar dengan sederhana mengemas film ini menjadi begitu menarik walau dengan durasinya yang super-pendek, yaitu hanya 5 menit. Film yang berbahasa Perancis ini, dengan rentan waktu demikian sebentar masih bisa menghibur lewat keunikan cerita yang disajikan. Hadir dengan sudut-sudut kamera yang bervariasi, film ini dengan baik menuturkan jalan ceritanya dari awal sampai akhir, lengkap dengan twist di ujung ceritanya.

CINtA, bercerita tentang pencarian jawaban dari dua orang sederhana yang tidak mengerti kenapa mereka harus berbeda. Dan sebaliknya mengerti, kalau sebenarnya mereka cuma saling jatuh cinta. Film ini memang punya kemiripan judul dengan cin(T)a, namun keduanya jelaslah film yang berbeda. Film ini dengan baik bercerita dan fokus pada usaha dua insan manusia yang saling mencintai namun terhalang oleh tembok  “perbedaan” diantara keduanya. Cinta seorang pria bernama A Su (Verdi Solaiman) kepada wanita muslim bernama Siti (Titi Sjuman) serta problematikanya divisualisasikan dengan sangat baik. Berdurasi 28 menit, film ini mampu untuk memadatkan cerita namun tidak kehilangan arahnya, tidak ada adegan yang putus atau sia-sia. Menit ke menitnya bergulir nyaman, melepas satu-persatu adegan dan membiarkan penonton untuk mencernanya dengan santai. Cinematografi, akting, musik, teracik dengan takaran yang pas, hasilnya adalah film yang sangat jempolan, menghibur, dan juga nikmat untuk ditonton.

Menunggu Sepi, adalah kisah dua pasangan suami istri yang menemukan refleksi dari kehidupan melalui tetangga mereka, yaitu sepasang kekasih muda yang lari dari orang tua, atas nama cinta. Film yang berdurasi sekitar 24 menit ini minim sekali dialog, namun bisa menyampaikan maksud dan perasaan masing-masing karakternya dengan baik. Penggambaran suasana penantian yang dikemas dengan kelam dapat terwakili oleh permainan-permainan mimik wajah, bahasa tubuh yang mendominasi keseluruhan film. Seperti halnya para karakter disini, kita juga diajak untuk menunggu apa yang sebenarnya akan terjadi di akhir cerita. Visualisasinya pun didukung juga dengan pengambilan gambar yang lumayan pas, menghasilkan atmosfir yang lumayan “depressing” dari adegan ke adegan berikutnya. Walau cerita yang cukup “depressing” tapi setidaknya film ini masih bisa menjaga alur ceritanya dengan baik.

Facebooked, berkisah tentang tulisan Rezky di situs jejaring sosial “Facebook” yang menyinggung Sarjono, sang guru kewarganegaraan. Rezky tidak merasa bersalah, namun sang guru menganggap semua menjadi serius. Rezky pun menjalankan balas dendamnya. Film yang dibuat oleh anak-anak SMA ini, menjadi begitu menarik karena menyajikan cerita yang unik dikemas secara kreatif. Anak-anak ini sepertinya ingin bercerita sedikit tentang fenomena “facebook” yang ada di kehidupan sehari-hari mereka sekarang ini, dan cerita itu divisualisasikan lewat film ini. Konsep pengambilan gambarnya pun sangat unik, “first person” dengan keseluruhan film hanya memperlihatkan tampilan Facebook. Cerita pun bergulir dengan lucu, walau hanya disampaikan tanpa dialog hanya tulisan-tulisan di kotak “chat” dan “comment” yang tersedia di situs ini. Film ini dengan baik dapat mengemas cerita sederhana dengan lucu lewat tulisan-tulisan komentar nakal dan jahil di Facebook, terbukti senyum dan tawa menonton menghiasi film yang berdurasi 15 menit ini.

Anak-Anak Lumpur, bercerita tentang anak-anak korban lumpur panas lapindo, yang berjuang mempertahankan “harta” yang masih tersisa dalam hidup mereka. Danial Rifki dengan berani mengambil sisi kemanusian dari balik tragedi lumpur di daerah Sidoarjo tersebut. Menangkap peristiwa-peristiwa memilukan dan juga miris dari kehidupan sebenarnya para korban, pengungsi, dan penduduk sekitar yang kehilangan rumah, harta, serta nyawa akibat keteledoran pihak lapindo. Sekarang yang tersisa hanya rumah-rumah yang tenggelam dan hancur oleh lumpur yang sampai sekarang masih memuntahkan lumpur-lumpur panasnya itu. Film ini dengan jujur, mewakili sekian banyak cerita pedih para korban, mencoba memperlihatkan kepada kita sedikit kisah perjuangan mereka untuk bertahan hidup ketika mereka tidak lagi punya tempat tinggal.

Fronteira, mengisahkan tentang prajurit Indonesia dan pemberontak Fretelin yang terjebak ranjau di waktu dan tempat yang sama. Film ini sekilas mengingatkan pada film “No Man’s land”, tapi jelas ini bukan jiplakan film tersebut. 26 menit yang sangat menyenangkan, itulah ungkapan pertama untuk film ini. Unsur dark-comedy sangat terasa disini, bagaimana kedua orang yang seharusnya sedih ketika terjebak oleh kematian, tapi malah masih bisa tertawa. Film ini dengan baik mengemas ceritanya untuk tidak mengarah serius tapi dibawa santai dengan akting para pemainnya yang se-natural mungkin, tidak dipaksakan untuk lucu. Sedikit banyak film ini dapat mengajarkan bahwa sesuatu yang indah seperti persahabatan ataupun pertemanan bisa tercipta dari mana saja, termasuk dari keadaan yang tidak menguntungkan seperti yang ditampilkan film ini. Jika dibuat film panjang, pasti film ini bisa jadi tontonan yang sangat menarik.