They’ve sent us a message… that they can take whatever they want. Well we will send them a message. That this… this is our land! ~Jake Sully

Para pecinta film khususnya mereka yang memuja genre science fiction, benar-benar dimanjakan oleh film-film terbaik di genre tersebut pada tahun 2009 ini. Setelah dihibur oleh Startrek yang mempesona dan dikejutkan oleh District 9 yang diluar dugaan begitu luar biasa. Kali ini giliran film besutan James “King of The World” Cameron yang sudah ditunggu-tunggu melengkapi lingkaran kejayaan sci-fi tersebut, dengan datang sebagai hadiah terbaik di penghujung tahun. “Avatar” yang selama setahun ini secara pribadi menghantui gw dengan promonya yang begitu gencar, telah berhasil menghanyutkan gw kedalam penantian, menunggu dengan setia film yang diketahui memakan bujet sampai 400 juta dollar untuk segera hadir di bioskop-bioskop Indonesia. Propaganda penggunaan teknologi tercanggih lewat proyek rahasia James Cameron selama 10 tahun makin membuat “hype” film ini semakin naik. Level antusiasme itu pun semakin meninggi ketika sutradara yang pernah menggebrak lewat “Titanic” itu membocorkan sedikit informasi kalau film ini akan mengubah cara pandang kita akan sebuah film, sebuah film yang tak akan pernah anda bayangkan sebelumnya. Well, ternyata penantian itu tidak sia-sia, film ini memang jauh dari apa yang diperkirakan… sepertinya imajinasi kita telah dikecewakan. Tetapi tentu saja, “dikecewakan” dengan sangat brilian. 

Perjalanan kita ke Pandora diawali dengan kedatangan Jake Sully (Sam Worthington) ke planet yang hampir mirip dengan Bumi tersebut. Pandora yang kaya akan sumber daya alam yang tentu saja berharga bagi kepentingan manusia, mengundang “ketamakan” mereka untuk menjadikan planet itu sebagai daerah kolonialisasi. Namun tidak mudah untuk “menjajah” planet yang kaya akan kandungan mineral ini, pihak manusia dengan para peneliti dan militernya harus terlebih dahulu berkonfrontasi dengan penduduk setempat, dikenal dengan nama Na’vi. Guna tujuannya untuk berbaur dan beradaptasi di Pandora, maka diciptakanlah Avatar, sebuah program yang mengijinkan manusia untuk bisa mengontrol tubuh yang mirip dengan Na’vi. Dengan tubuh layaknya penduduk asli Pandora, tak hanya bisa bernafas bebas di planet ini, mereka berharap bisa bebas berinteraksi dengan pihak Na’vi untuk tujuan penelitian dan agar nantinya pihak militer bisa leluasa “mengusir” pada Na’vi. Jake yang mantan seorang marinir diberi kesempatan untuk mengikuti program Avatar tersebut. Sebuah program yang tak hanya membuat dia bisa berjalan lagi, tetapi juga memiliki tubuh baru dalam bentuk Na’vi. Jake bisa mendapatkan hak istimewa itu bukan karena kebetulan, tetapi setelah saudaranya tiada, hanya DNA dia yang cocok dengan Avatar yang dipakai oleh saudaranya itu.

Jake dengan tubuh avatarnya pun segera diperkenalkan dengan keajaiban Pandora dan keunikan didalamnya. Bersama dengan tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Grace Augustine (Sigourney Weaver), mereka segera dikirim ke hutan Pandora untuk melakukan penelitian. Tatkala Jake sedang terpesona dengan keanekaragaman kehidupan yang ada di planet itu dan terlalu senang dengan tubuh barunya, dia diserang oleh binatang buas dan membuatnya terpisah dari tim. Ketika pada akhirnya dokter Grace meninggalkan hutan tersebut untuk kembali ke markas, Jake harus berjuang sendiri di tempat yang masih benar-benar asing baginya. Dalam usahanya untuk “survive” di kegelapan malam Pandora, Jake sekali lagi harus berhadapan dengan mahkluk-mahkluk penghuni hutan tersebut. Ketika dia sedang bersusah payah menghadapi binatang-binatang aneh yang berbahaya itu, dirinya tiba-tiba diselamatkan oleh salah satu “native” yang diketahui bernama Neytiri (Zoe Saldaña). Keduanya pun beranjak ke “rumah” para Na’vi tinggal, Neytiri memperkenalkan Jake kepada seluruh kaumnya, termasuk Ayahnya sang kepala suku dan ibunya serta “jenderal” Na’vi yang tampaknya tidak menyukai kehadiran Jake.

Jake yang mereka sebut sebagai “dreamwalker” tidak diperlakukan seperti tawanan oleh para Na’vi, justru mereka ingin mengenal lebih jauh tentang Jake dan mengajarkan dia bagaimana menjadi seorang Na’vi sejati. Dengan bimbingan Neytiri, Jake mulai belajar sedikit demi sedikit tentang kebudayaan dan cara mereka hidup. Jake yang mulai bisa berbahasa Na’vi pun berpetualang lebih dalam, lebih jauh menuju tempat-tempat di Pandora yang sungguh diluar imajinasi manusia. Selagi Jake mengikat hubungan dengan penduduk asli, dia bisa kembali ke tubuh manusianya hanya dengan tidur dan dalam sekejap dia bangun sebagai manusia kembali. Lambat laun Jake mulai menyadari kalau dia lebih senang bisa hidup sebagai Na’vi ketimbang menjadi manusia. Ikatannya dengan dunia barunya makin erat sejalan dengan makin seringnya Jake berinteraksi dengan Na’vi terutama dengan Neytiri. Pilihannya sekarang adalah, apakah Jake harus terus sembunyi dibalik tugas yang diembannya untuk membangun kepercayaan pihak “musuh” dan mengusir baik-baik Na’vi dari tempat tinggalnya untuk memberi jalan militer untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Atau memilih untuk tetap setia berpihak pada dunia yang mulai dia cintai dan berjuang bersama “keluarga” barunya.

James Cameron memang tahu bagaimana membuat orang terhibur dengan maksimal. Menyuguhkan atraksi magis yang luar biasa lewat tontonan yang hampir memakan waktu 3 jam tersebut. “Avatar” tidak hanya menawarkan sebuah hiburan yang mengundang kita untuk bertepuk tangan disetiap adegannya, tetapi juga mengundang kita untuk masuk ke sebuah dunia penuh petualangan fantasi yang diciptakan oleh sutradara yang juga pernah membesut “The Terminator” dan sekuelnya “Terminator 2: Judgment Day” itu. Visi ajaib dan jenius Cameron benar-benar tertuang dengan formula yang penuh dengan perhitungan yang hati-hati, hasilnya adalah mahakarya yang dikemas dengan spektakuler, lengkap dengan kandungan cerita, action, spesial efek, dan karakter yang akan melemparkan imajinasi para penonton ke tempat yang tidak lagi bisa terjangkau, karena Cameron telah membuat film yang jauh dari imajinasi orang “normal”, jika bisa mengatakan pria yang lahir di Ontario, Canada, pada 16 Agustus 1954 itu sebagai orang “tidak normal”.

Film yang sebelumnya diberi julukan “project 880” ini berhasil menyihir mata para penonton khususnya pandangan gw untuk tidak melepaskannya sedikitpun. Penggunaan teknologi terkini melalui “motion capture” dan “virtual camera” telah menghasilkan pengalaman menonton yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, lewat penampakan Pandora dan Na’vi yang sungguh menghipnotis. Cameron seperti menyusun dunianya sendiri dari serpihan-serpihan surga. Pandora menyimpan semua rangkaian imajinasi yang mungkin pernah kita bayangkan selama ini dan membentuknya jauh lebih baik dari apa yang kita imajinasikan. Lanskap Pandora dan segala isi didalamnya, dari tumbuhan dan binatang-binatangnya secara pribadi sudah menghilangkan rasa lapar gw akan sebuah fantasi yang tak terkira. Hutannya yang begitu indah, lebat, dan hijau menghantarkan rasa nyaman dan sekaligus rasa rindu akan kesejukan hutan yang sebenarnya. Cameron sepertinya ingin mengirimkan pesan tersembunyi untuk menyayangi hutan kita secara tidak langsung.

Dari keajaiban lanskap Pandora, kita beralih ke karakter-karakter Na’vi yang terlahir tanpa cacat dari hasil rekayasa komputer. Jake, Neytiri, dan Na’vi lainya tidak lagi tampak seperti hasil persilangan kreatifitas dan cgi, namun sudah bisa dikatakan mirip dengan manusia dengan balutan kulit biru khas avatar. Pengembangan bertahun-tahun Cameron menunggu sampai teknologi menyanggupi visinya, tampaknya tidak sia-sia. Avatar yang diinginkannya, tercipta dengan sempurna, setiap gerakan Na’vi tidak sedikitpun terlihat kaku seperti layaknya animasi di film lain. Teknologi “motion capture”-nya telah benar-benar menangkap setiap perubahan dan gerak wajah setiap pemainnya dengan tingkat detil yang dalam. Ketika gerakan itu ditransfer ke dalam bentuk animasi, gerakan itu pun akan seluwes gerakan manusia sebenarnya. Dengan tingkah laku dan gerakan yang sesempurna itu, emosi yang disampaikan pun langsung terasa. Kita akan ikut merasakan campuran emosi dari senang, sedih, dan marah dari para karakter berwarna biru ini. lalu kemudian ikut hanyut bersama kisah fantastis yang disajikan Cameron.

Cameron memang menyajikan cerita yang standart, sedikit mengingatkan kita dengan film-film seperti “The Last Samurai’, dimana seseorang jatuh cinta dengan dunia barunya dan berjuang melawan kaumnya sendiri untuk mempertahankan apa yang dicintainya. Tetapi kisah “umum” tersebut tidak lagi biasa ketika racikan Cameron mulai bermain dan bergulir brilian dari menit ke menitnya. Terbukti dengan durasi yang tidak bisa dikatakan sebentar itu, 162 menit, kita tidak pernah merasa bosan sedikitpun. Justru dari adegan-ke-adegan menelurkan rasa ingin tahu yang tinggi, penasaran level teratas, bertanya-tanya kejutan apalagi yang film ini siapkan untuk kita. Setelah bermandikan spesial efek,  diguyur oleh serangkaian adegan action yang mengundang decak kagum dan ditemani oleh score yang hebat dari awal film ini dimulai, kita masih saja disungguhkan adegan-adegan lezat nan mengenyangkan.

Layaknya hidangan-hidangan restoran yang terus berdatangan, film ini terus menawarkan kita menu-menu terbaiknya. Belum selesai kita “menyantap” adegan penuh kejar-kejaran dan ledakan yang “hillariously” indah, bersiaplah karena film ini masih punya adegan-adegan maha dasyat lainnya yang menunggu di balik keindahan planet bernama Pandora. Avatar pun menutup kisahnya dengan sempurna, 20 menit terakhir film ini adalah klimaks terbaik yang pernah gw alami, tak terlupakan dan melebihi kata spektakuler. Avatar simply become The King of 2009. Have a nice journey into Pandora. Enjoy your trip!!

Rating: 5/5