First thing we do in the country, we piss up the trees, mark our territory. Then we’re gonna find a pub and drink till we’ve forgotten how to speak. We’ll communicate in grunts like caveman, until we pass out in the woods. Any question? ~Neil

Vince (Stephen Graham) sedang berada dalam situasi tersulit dalam hidupnya. Hubungannya dengan istrinya berada di ujung tanduk dan dalam proses perceraian. Dalam kondisi depresi berat, Vince beruntung masih memiliki sahabat karib yang mengerti dengan keadaannya sekarang. Neil (Danny Dyer), Mikey (Noel Clarke), Matt (Lee Ingleby), Patrick (Keith-Lee Castle), Graham (Emil Marwa), dan Banksy (Neil Maskell), berencana mengajak sahabat mereka Vince untuk melupakan sebentar masalah hidupnya. Ide gilanya adalah pergi ke desa terpencil bernama Moodley, untuk mabuk-mabukan, bersenang-senang, menghindar dari problematika hidup masing-masing individu. 

Weekend pun tiba, sebelum menuju Moodley, mereka berkumpul terlebih dahulu di sebuah bar untuk minum-minum dan menunggu teman mereka Banksy yang belum datang. Kenyataannya Banksy masih dirumah dan baru akan berangkat dengan mobil yang tampaknya akan membuat masalah itu. Terlalu lama menunggu, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bersama supir wanita yang akan mengantar mereka ke tujuan. Mobil minibus pun melaju menyusuri jalanan dengan pemandangan pedesaan. Di lain pihak, Banksy benar-benar terjebak dengan mobilnya yang mogok. Kembali ke perjalanan menuju Moodley, yang kabarnya penduduknya didominasi oleh wanita ini, seketika mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak. Bangkai domba menghalangi jalan, dan mereka harus turun untuk membuangnya agar bisa meneruskan perjalanan. Apakah itu sebuah tanda yang tidak baik bagi mereka untuk kembali?

Sesampainya di Moodley, mereka disambut dengan kesunyian yang tampaknya tidak mereka harapkan. Desa kecil itu benar-benar dikelilingi oleh hutan dan seperti ditinggalkan semua penghuninya. Vince dan kawan-kawannya tidak ambil pusing, tidak menganggap ada sesuatu yang aneh dengan desa tersebut, mereka malah dengan tenang mencari pub terdekat untuk meneruskan rencana pesta gila mereka. Ada apa dengan tempat ini? kemana semua orang? Bahkan pub yang seharusnya ramai dengan nyanyian dan orang-orang mabuk pun sepi layaknya kuburan. Bodohnya Vince, Neil dan yang lain masih juga tidak sadar kalau sedang terjadi sesuatu yang buruk di desa itu.

Pertanda demi pertanda pun muncul dari mayat yang tergeletak di belakang meja bertender sampai seorang wanita yang memuntahkan darah. Sayangnya pertanda itu tak terlihat oleh Vince dan yang lainnya, oleh karena itu mereka masih saja acuh dengan segala keanehan di desa tempat nenek Mickey tinggal tersebut. Matt, yang punya toko komik, berjalan-jalan menelusuri desa dan langsung terkagum-kagum dengan toko yang menjual aneka macam peralatan sihir. Sedangkan Mickey, pergi menuju rumah neneknya dan beruntung masih bisa menemukan kunci yang dicari-cari. Tapi sial baginya, dia juga menemukan seorang wanita dengan gaun pernikahan sedang memakan isi perut manusia. Jadi apa yang sebenarnya sedang terjadi di desa ini? siapa wanita kanibal bergaun seperti layaknya dia ingin menikah? Bagaimana nasib Vince dan keenam sahabatnya?

Gw nga pernah punya masalah dengan film zombie yang dikemas dengan komedi, toh buktinya film-film seperti Shaun of the Dead atau Dead Snow masih bisa menarik untuk ditonton dan berhasil jadi film zombie yang ada di list “terbaik” gw. Kali ini formula mencampur-adukan darah dan tawa pun kembali diterapkan di film arahan sutradara Jake West (Evil Aliens) berjudul Doghouse ini. Untuk catatan saja, jika ada yang bertanya keterkaitan judul “rumah anjing” dengan film yang nyata-nyata bertema zombie ini, gw akan menjawab tidak tahu. Memang ada rumah anjing yang sekilas terlihat di film ini, tapi apa arti sebenarnya dan hubungannya, gw sendiri kebingungan. Jadi jika ada yang tahu, please kasih tahu apa jawabannya hahahaha.

Film yang dibintangi Stephen Graham (The Damned United, This is England) dan berasal dari Inggris ini sukses membuat gw terpingkal-pingkal dengan spontanitas yang mendekati kebodohan dari aksi Vince dan kawan-kawan untuk selamat dari pada zombie. Unsur-unsur komedi yang terselip diantara adegan sadis dan tegang teraduk dengan pas dan berhasil berkali-kali menggelitik syaraf tawa ini. Walau banyak adegan yang ditujukan untuk memancing gelak tawa penonton, film ini tidak melupakan dasar cerita yang dibawanya serta genre yang diusungnya. Alur ceritanya menarik untuk diikuti karena tidak memaksakan cerita untuk lebih horor atau lebih lucu, berjalan dengan alami dan tidak berbelit-belit dengan sedikit penjelasan disana-sini yang akan menjawab teka-teki  “tentang apa yang sebenarnya terjadi” selama film berlangsung.

Film ini juga tidak lupa menampilkan adegan-adegan sadis ala film zombie, darah, otak, dan isi perut berceceran hampir di setiap adegan yang mempertemukan Vince dkk versus para zombie. Tentu saja ulah sadis para zombie lagi-lagi “dirusak” (dalam tanda kutip yang positip) oleh kelucuan Vince dkk. Dari melempari zombie dengan barang seadanya sampai mereka bertaruh ketika melihat zombie-zombie sedang berkelahi. Film ini memang pelepas stress yang mujarab, sebuah hiburan yang cocok di tonton kapan saja, dan dijamin tidak akan bosan untuk mengulang film ini. Doghouse juga menyajikan lagu- lagu yang enak didengar, mengiringi film ini dari awal yang dungu sampai akhir yang tolol. This movie is Hillariously-Funny!!! Enjoy!

Rating  3.5/5

How many times have I told you? Dead things don’t move fast. You’re a corpse, for Christ’s sakes. If you run that fast, your ankles are gonna snap off. ~Jason Creed

“Mockumentary” atau gaya pengambilan gambar seperti layaknya film dokumenter, atau bisa juga disebut film bergaya “hey…I found this lost tape” sepertinya makin disukai para filmmaker dan tentunya para penontonnya, terbukti setiap tahun ada saja film yang membawa semangat yang sama seperti apa yang dilakukan “The Blair Witch Project” pada tahun 1999. Jika genre horor punya “The Blair Witch Project” (yang notabennya nenek moyang untuk jenis film seperti ini) dan “Paranormal Activity”. Lalu sci-fi punya “Cloverfield” yang mengguncang dengan monsternya dan “District 9” yang mengejutkan dengan aliennya. Maka, film zombie juga memiliki “Diary of the Dead” sebagai lawan tandingannya. Oh iya sebenarnya film zombie juga punya “REC” (masih dengan gaya mockumentary) tapi dengan sekuel yang “merusak” jati diri film ini, akhirnya masih dipertanyakan apakah film asal spanyol ini masuk kedalam “march of the dead” (ini cuma istilah gw menyebut film-film zombie). Tapi okaylah-kita masukkan saja “REC” ke dalam list untuk sementara. Hehehehe.

“Diary of the Dead” memulai kisahnya dengan sepotong berita mengerikan tentang ibu dan anak yang telah mati namun hidup kembali dan menyerang paramedis dan seorang reporter yang tengah berada di tempat kejadian. Berita yang diceritakan menyebar di internet ini dijadikan sebagai pembuka sebuah film “The Death of Death” karya Jason Creed (Joshua Close). Adegan pun segera berganti dengan sekelompok mahasiswa yang sedang membuat film horor tentang mumi dengan Jason sebagai sutradaranya. Ketika sedang beradu mulut tentang cara mayat hidup berjalan, skenario, dan make-up yang berantakan, tiba-tiba Jason dan kawan-kawan dikejutkan dengan berita yang cukup aneh ditelinga mereka. Ditemani oleh professor mereka, para mahasiswa ini mendengarkan berita yang menyebutkan bahwa orang-orang yang sudah mati bangkit kembali dan mulai menyerang orang yang masih hidup. Tidak ingin terjebak dalam peristiwa yang masih dipertanyakan kebenarannya, mereka pun memutuskan meninggalkan tempat itu, begitu pula dengan Jason yang menunda syutingnya dan memilih pergi ke asrama dimana pacarnya tinggal.

Setibanya di asrama, Jason menemukan tempat itu sudah berantakan dan tampaknya juga telah ditinggalkan penghuninya. Jason pun bertemu dengan pacarnya, Debra Monahan (Michelle Morgan), yang sedang gelisah memikirkan keluarganya. Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Debra yang tak bisa menghubungi rumah orang tuanya, akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Debra tidak sendirian, selain bersama dengan Jason yang tetap setia dengan kameranya, perjalanan itu ramai dengan Mary Dexter (Tatiana Maslany) yang mengendarai mobil, Tony Ravelo (Shawn Roberts) si make-up artist, Elliot Stone (Joe Dinicol), Gordo Thorson (Chris Violetti), Tracy Thurman (Amy Lalonde) pacar Gordo, dan terakhir ada professor mereka, Andrew Maxwell (Scott Wentworth). Jason yang tak ingin melewatkan setiap kejadian yang bagi dia berharga ini, ingin semua yang terjadi masuk ke dalam kameranya, termasuk menyuruh teman-teman mereka untuk memperkenalkan diri satu-persatu. Saat asyik berkendara dengan diliputi kegelisahan tentang apa yang sebenarnya terjadi, mobil mereka dihentikan sejenak dengan sebuah kecelakaan. Seorang polisi lokal menghampiri mereka dengan perlahan dari balik mobil yang terbakar. Jason dan teman-temannya pun hanya bisa terkejut ketika yang mereka lihat adalah mayat hidup yang hangus dan berjalan.

Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Jason, Debra dan yang lainnya? Gw hanya bisa bilang, tonton saja sendiri. Wow!! untuk film ini!!! adalah kata pertama yang terungkap sejenak setelah barisan “end-credit” muncul di layar. George A. Romero sekali lagi membuktikan dia pantas dijuluki “The Father of Zombie Movie”, dengan dedikasinya yang tinggi terhadap film-film horor khususnya tema zombie. Dua tahun setelah “Land of the Dead” sutradara yang memulai karirnya di tahun 1968 lewat film “Night of the Living Dead” ini, kembali menyuguhkan “Diary of the Dead” ditahun 2007. Tidak tanggung-tanggung Romero mencoba membuat sesuatu yang berbeda yang belum pernah dia lakukan sejak film pertamanya yang jadi “cult” tersebut muncul, dengan berani dia meracik film zombie dengan gaya “mockumentary”. Tapi tentu saja sutradara yang pada tahun ini menginjak usia 69 tahun ini, tidak sembarang meramu filmnya menjadi kisah yang asal-asalan. Romero tahu dia tidak bisa meninggalkan ciri khas dalam film-filmnya.

Film yang punya tagline “A new vision of terror from the legendary filmmaker” ini tentu saja masih membawa formula khas Romero, sebut saja zombie berjalan yang sudah jadi pakem film zombie klasiknya. Romero tampaknya tidak tergiur untuk membuat zombie-zombienya berlari layaknya film zombie modern yang belakangan bangkit dari kematian. Sebaliknya dia tetap setia dengan mengajak kita untuk berlari ketakutan lewat zombie-zombie yang perlahan menyebar terornya tersebut. Walau tidak seagresif dan seaktif zombie-zombie modern, toh zombie berjalan khas Romero tak kalah dalam hal menakuti dan membuat bulu kuduk ini merinding dibuatnya. Sutradara berkaca-mata, berambut putih dan gondrong ini pun kembali memasukkan unsur-unsur “penyedap”nya, seperti film-film terdahulunya Romero selalu berhasil membalut kehororan zombienya dengan “human connection”. Selalu saja ada kisah menarik tentang moral manusia di balik otak yang berceceran ketika filmnya bergulir dari adegan ke adegan.

Romero tak hanya mengemas filmnya untuk menakuti saja, namun juga membentuknya sebagai sebuah pelajaran hidup. Film-filmnya yang kebanyakan bercerita bagaimana seorang yang biasa-biasa saja harus bertahan hidup dari zombie itu bisa diracik sedemikian rupa, mengolah hubungan manusia dengan manusia menjadi drama yang menarik untuk disimak. Terkadang film-film Romero selalu meninggalkan moral untuk dipertanyakan. Siapa manusia, siapa Zombie? Di film ini pun Romero melakukan hal yang sama, dengan hanya mengandalkan sekelompok remaja tanggung, unsur-unsur bertahan hidup orang “normal” dan nilai moral manusia pun dijejalkan di film berdurasi 95 menit ini. Romero mengemas film ini dengan sederhana namun penuh makna, walau minim action dan spesial efek, tapi dapat menjaga cerita dan intensitas tegang dengan baik. Alur yang sedikit melambat bukan masalah ketika sisi sadis masih tersisipkan dengan fantastis di film ini. Banyak orang yang mulai bosan dan mempertanyakan untuk apa Romero membuat film-film jelek seperti ini, semoga Romero tidak peduli omongan mereka dan terus membuat film zombie. let’s march with the dead, enjoy!!

Rating  3.5/5