Hell is overflowing, and Satan is sending his dead to us. Why? Because, you have sex out of wedlock, you kill unborn children, you have man on man relations, same sex marriage. How do you think your God will judge you? Well friends, now we know. When there is no more room in hell, the dead will walk the earth. ~ Televangelist

Ana (Sarah Polley), seorang perawat yang bekerja pada sebuah rumah sakit, baru saja pulang setelah lelah seharian bekerja. Saatnya untuk bercumbu mesra dengan suami tercinta di rumah. Rasa rindu pun mengalahkan kewaspadaan, sebuah berita penting terlewat begitu saja kala mereka sedang asyik bercinta. Pagi harinya, sang suami dikejutkan dengan sesosok tubuh kecil yang tertutupi bayangan di depan pintu kamar. Ternyata itu adalah anak dari tetangga sebelah rumah, namun ada yang berbeda dengan gadis cilik tersebut pagi itu. Ketika suami Ana ingin mendekat karena kaget melihat si anak yang mulutnya penuh luka dan darah, tiba-tiba gadis itu menyerangnya. Ana pun langsung bergegas menyelamatkan suaminya yang digigit pada leher oleh si anak. Darah segar pun keluar dari leher si suami, sekarat dan Ana butuh pertolongan. 

Sayangnya jaringan telepon gawat darurat sedang sibuk dan tampaknya nyawa sang suami tak lagi tertolong. Ana yang masih sibuk dengan telepon tak menyadari di belakang sang suami telah bangkit dari kematiannya. Suaminya yang telah berubah menjadi mayat hidup dengan ganas langsung menyerang Ana. Bingung dan ketakutan, Ana akhirnya bisa menyelamatkan diri keluar dari rumah melalui kamar mandi. Di luar keadaan sudah sangat kacau balau. Orang-orang berlarian kesana-kemari sambil berteriak, rumah-rumah banyak yang terbakar, dan situasi benar-benar tak terkendali. Ana yang berhasil melarikan diri dari rumahnya, melihat kekacauan itu tak hanya di daerah tempat tinggalnya saja. Namun sudah meluas kemana-mana, manusia saling memakan manusia, dimana-mana terlihat api dan asap mengepul, dan mobil-mobil ditinggalkan begitu saja dijalan tanpa ada pemiliknya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Cerita pun berlanjut, sampai Ana bertemu dengan seorang polisi bernama Kenneth (Ving Rhames), lalu berkumpul dengan tiga orang “survivor” lainnya. Mereka akhirnya memutuskan untuk menyelamatkan diri ke sebuah mall besar, karena sudah tidak bisa kemana-mana lagi, mereka sudah dikelilingi kematian. Sesampainya di dalam mall, mereka malah bertemu dengan para penjaga mall yang tidak terlalu ramah. Setelah saling berdebat seru sambil menodongkan senjatanya masing-masing, Ana dan timnya pun mengalah dan pasrah dikurung di salah satu toko, asalkan selamat dan tidak dikirim keluar lagi. Sementara di luar, keadaan semakin kacau dan tidak lagi terkendali. Semua orang yang mati, bangkit kembali. Apakah ini sebuah tanda kemurkaan Tuhan akan dosa-dosa manusia? Neraka sepertinya sudah terlalu penuh dan tidak ada lagi tempat untuk yang mati, mereka yang mati pun akhirnya melangkah kembali di bumi.

Inilah salah satu film zombie terbaik sampai saat ini. Film yang bisa lepas dari kutukan yang menyebutkan kalau remake selalu gagal. Sutradara Zack Snyder (Watchmen, 300) nampaknya tahu bagaimana cara membuat sebuah film bertema zombie tanpa menghancurkan reputasi film terdahulunya. Jadi ini film remake? Betul sekali, Dawn of the Dead adalah sebuah film yang dibuat ulang dari film karya George A. Romero, berjudul sama di tahun 1978. Film ini menawarkan segala elemen penting dari film horor dengan sub genre zombie. Elemen-elemen seperti infeksi, gigitan sana-sini, kota yang hancur, makan-memakan daging manusia, usus terburai, shoot in the head, dan darah berhamburan kesana-sini, hadir menemani kita selama durasi film ini berjalan. Tentu saja Zack Snyder tidak lupa menambahkan elemen baru untuk memberikan kesan zombie “new school” dalam film ini, yaitu dengan mengijinkan para zombie-zombie bertampang buruk rupa ini bisa berlari.

Para zombie telah melanggar aturan “zombie berjalan” yang telah diciptakan oleh sang master George A. Romero, dan sekarang mereka menambah teror dengan bisa berlari kencang untuk mengejar mangsanya. Walau sebenarnya tren “zombie berlari” bukan untuk pertama kalinya di populerkan oleh film ini, karena sebelumnya “28 Days Later” telah lebih dahulu memerdekakan hak para zombie untuk bisa berlari. Kembali kepada Dawn of the Dead, film ini telah menyelamatkan genre zombie dari film-film bertema sama yang bermunculan namun dengan kualitas yang buruk. DOTD, telah membawa angin segar, memberi lampu hijau untuk film-film zombie selanjutnya untuk lebih berkembang dan berekperimen lewat ceritanya masing-masing.

Sajian spesial yang ditawarkan oleh DOTD memang lengkap. Ketegangan dibangun perlahan dari awal film, lambat-laun level ketegangan tersebut semakin naik sejalan dengan semakin banyaknya zombie berdatangan dan ketakutan yang sialnya merubah diri masing-masing karakternya dalam upaya mereka menyelamatkan diri. Film ini memaku kita tidak hanya dengan ngerinya menyaksikan manusia dilahap hidup-hidup oleh para zombie namun juga merinding melihat teror itu bisa datang darimana saja, bahkan dari manusia yang masih hidup itu sendiri. Film ini memperlihatkan jika kita manusia akan mengeluarkan sifat aslinya ketika sedang dalam situasi seperti ini, situasi dimana hidup dan mati dipertaruhkan dan kondisi dimana sesuatu bernama “menunggu” kematian itu lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.

Film yang memberikan pengalaman neraka dunia selama lebih dari 100 menit ini, sudah jauh dari arti kata menghibur. Selain menghibur, seperti halnya film-film zombie lainnya, selalu saja ada pesan moral tentang “kemanusian” yang tertinggal di kepala, saat film selesai. Lewat pembuka film yang tidak mudah dilupakan dengan footage-footage menarik, film ini diakhiri dengan sedikit twist yang akan menyerat kita kembali ke kursi dan terpaku selama beberapa menit. Berharap banyak untuk bisa menonton film zombie yang bisa menyaingi DOTD, sambil menunggu tidak ada salahnya anda menonton ulang film-film zombie yang ada di list terbaik anda. Enjoy!

——————————-
Rating  4/5

Sebagai sebuah sekuel, [REC] 2 telah mengecewakan gw sebagai penyuka “genre” yang satu itu, silahkan tebak genre apa hehehehe. Kenapa gw kecewa pada akhirnya? karena plotnya telah memaksa gw memutar kepala 180 derajat dan pasrah menerima jawaban-jawaban tidak memuaskan dari tanda tanya gw selama ini. Jika boleh berkata jujur, film ini bagi gw sudah merusak apa yang sudah dicapai film pertama, film yang selama ini gw puja sebagai film zombie terbaik, loh akhirnya gw menyebut nama genrenya hahaha. Yah, sekuel ini telah mengejutkan gw dengan “asal virus” yang ternyata diluar pemikiran gw selama ini dan keluar dari kodrat sebuah film zombie yang sudah-sudah.

Entahlah film ini mau dibawa kemana oleh sutradaraya. Apakah sang sutradara mencoba menempatkan kita yang sudah terlanjur berpikiran kalau biasanya penularan virusnya berasal dari “A”, “B”, atau “C”, ke paradigma dan cara berpikir yang baru. Lalu, terakhir sang sutradara dengan gampangnya memberi pilihan, alternatif dalam memperkenalkan motif penyebaran virus yang fresh, bukan “A”, bukan “B”, dan bukan juga “C” melainkan “D”. Hmmm atau memang film ini dari awal sudah akan dibawa menuju kesana, tentu saja maksud gw adalah alur yang ada sekarang di sekuelnya. Apakah sekuel ini masih bisa masuk ke kategori film zombie? Hehe bagi gw “nope”. Selama pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala gw sekarang belom terjawab, gw akan berpegang dengan pernyataan ini bukanlah film zombie. atau akankah pakem film zombie akan berubah dan bertambah variasinya dengan adanya [REC] 2 ini ? wait and see deh.

Tetapi semua alasan kekecewaan gw itu, hanya jika film ini dilihat dari sebuah sekuel, film yang membawa atmosfir film pertama. Berbeda jika gw melihatnya sebagai film yang berdiri sendiri, film ini masih bisa dibilang horor yang bagus untuk ditonton. Yah setidaknya ada bagian yang masih gw suka dari film yang melanjutkan kisah “gedung yang terkarantina” tersebut. Filmnya sendiri kali ini mengetengahkan aksi tim S.W.A.T yang tiba ke lokasi gedung yang dikarantina beberapa lama setelah film pertama berakhir. Pihak berwajib dalam hal ini kepolisian, mengirim tim taktis bersenjatakan lengkap tersebut masuk kedalam gedung untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

Tim beranggotakan 4 orang dari S.W.A.T dan 1 orang dari departemen kesehatan ini pun memasuki gedung yang tidak lagi punya tanda-tanda kehidupan didalamnya itu. Misi utama mereka adalah kamar yang berada paling atas di gedung tersebut. Di kamar itu, mereka mencoba mengumpulkan bukti, data dan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu dan apa penyebab dari kekacauan yang mengakibatkan penghuni gedung menjadi tidak terkendali. Selagi mereka berkerja mengumpulkan setiap berkas dan potongan berita koran yang ada, sesuatu yang berbahaya dan menakutkan mengintip dari kejauhan. Mereka tampaknya harus bergegas menyelesaikan misinya, karena para penghuni gedung yang notabennya bukan manusia lagi sudah menunggu mereka di setiap sudut ruangan.

Film berdurasi 85 menit ini telah sukses membuat ngeri, takut, penasaran, kaget di setiap adegannya yang dikemas dengan penyajian sudut pandang orang pertama, seperti halnya film pendahulunya [REC]. Jaume Balagueró dan Paco Plaza, masih setia dengan formula film pertama yang dengan brilian menyeret kita satu-persatu ke situasi super-tegang-nya. Di film keduanya ini, formula tersebut sedikit di tambah dan hasilnya ketegangan berhasil tercipta disana-sini. Setiap adegannya siap meneror kita dengan kemunculan-kemunculan mahkluknya yang tidak terduga, diperparah dengan pengambilan gambar yang selalu meng-close-up muka-muka hancur penuh dengan darah tersebut. Dijamin anda akan merinding ketakutan sambil memegang pegangan kursi erat-erat.

Seperti judulnya yang berarti “merekam”, film ini benar-benar bermain dengan kamera. Film ini dapat mem-visualisasikan ketegangan itu dengan cerdas lewat pengambilan gambar yang unik dan bervariasi. Selain, kamera utama yang dibawa oleh salah satu anggota S.W.A.T berperan mewakili apa yang dilihat dan dirasakan oleh mereka. Kita juga dapat merasakan apa yang dirasakan masing-masing individunya lewat visual-visual mendebarkan dari kamera kecil di helm mereka. Pengambilan-pengambilan gambar yang dibuat unik dari helm mereka ini lah yang menambah film ini makin terasa menakutkan setiap kali sudut pandang kamera kecil ini muncul dilayar, menyusuri ruangan gelap dan koridor-koridor sempit, bersiap dengan apa yang menunggu di ujung kegelapan tersebut.

Secara keseluruhan, sekali lagi dengan segala kekecewaan gw tidak menjadikan ini adalah film horor yang buruk tapi memang belum bisa mengalahkan pendahulunya, yaitu [REC]. Film ini masih bisa menghibur gw yang butuh dengan horor yang segar dan dapat membuat takut. [REC] 2 tentu saja masih berada di jalur yang benar untuk sebuah horor yang menawarkan sesuatu yang beda. Film ini dengan kekurangannya masih punya ciri khas yang masih bisa dibanggakan. Film asal Spanyol ini terbukti sanggup tidak “latah” menirukan gaya-gaya Hollywood yang tampaknya sudah basi dalam urusan cerita horor dan hanya bisa memamerkan yang itu-itu saja. Toh, sebaliknya malah [REC] yang dijadikan patokan dan akhirnya “menjiplak” untuk bahasa halusnya hehehe, untung saja remake tersebut bagus dan tidak merusak citra film aslinya. Enjoy!

——————————-
Rating  3.5/5