Carandiru

Doc, you wanna hear another lie? Ain’t no one guilty in here. You worked that one out yet? ~Chico

Carandiru, yang terletak di kota Sao Paolo, Brazil adalah penjara terbesar di Amerika Latin. Penjara yang juga terkenal karena kekerasan dan kebrutalan ini menampung kira-kira 7800 narapidana, yang sebenarnya sudah di luar batas tampung yaitu sekitar 3000 orang. Tidak heran banyak masalah timbul akibat terlalu banyaknya narapidana ini ditambah lagi dengan munculnya berbagai penyakit termasuk AIDS.

Dari sinilah cerita berawal, ketika seorang dokter datang ke penjara ini, ditugasi secara sukarela untuk memeriksa para narapidana dari infeksi AIDS. Melalui pandangan si dokter-lah kita menyaksikan kehidupan nyata sebuah penjara yang penuh sesak, dengan setiap narapidana membawa ceritanya masing-masing. Beruntung si dokter diperlakukan dengan baik di penjara yang hampir seluruhnya merupakan penjahat sejati, tidak sedikit dari mereka adalah pembunuh dan pemerkosa.

Adakalanya narapidana yang menemui sang dokter karena suatu penyakit atau sedang diperiksa darahnya dengan jujur bercerita sebab mereka masuk ke penjara. Sang dokter sudah seperti teman curhat mereka, curhat para narapidana tentang kehidupan di luar penjara sebelum mereka akhirnya terkurung di Carandiru. Walau kadang kisah mereka membuat sang dokter tertawa dan tersenyum, dia tak menutup mata dengan kondisi mereka yang sebenernya memprihatinkan di penjara tak layak huni ini.

Setelah sebelumnya, gw diajak melihat-lihat kehidupan sosial yang nyata kota Rio de Janeiro dan menelusuri tiap sudut permasalahannya lewat film City of God (Cicade de Deus), City of Men (Cidade dos Homens), dan Elite Squad (Tropa de Elite). Kali ini lewat Carandiru, gw kembali diajak menyaksikan sebuah fenomena lain kehidupan di kota Brazil, namun tidak lagi berfokus pada permasalahan pelik di kotanya tetapi di dalam penjara. Sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata, kehidupan seorang dokter bernama Drauzio Varella yang berkerja secara sukarela di balik tembok penjara.

Gw menyukai apa yang ditawarkan film ini, sebuah formula dan pendekatan film yang sama dengan film-film Brazil yang sebelumnya gw tonton. Sineas Brazil mencoba kembali membangun film yang jujur, bahkan terlalu jujur bagi gw, dengan mengangkat isu-isu sosial dengan permasalahan yang unik di tiap inchi-nya. Lewat Carandiru, kita bisa melihat contoh nyata kehidupan sosial dalam komunitas kecil bernama penjara. Film ini memperlihatkan sisi sebenernya dari penjara yang sudah penuh sesak dengan para narapidana. Mengungkap kebenaran apa yang terjadi di setiap sel-sel berpintu besi yang sempit dan gelap.

Melalui film ini, gw menyaksikan “bebas”-nya sebuah penjara. Para penghuninya bisa berkeliaran keluar masuk selnya. Lebih kaget lagi ketika ternyata di dalam sel sudah seperti kamar hotel, mereka bisa memasukkan apa saja dan mendekorasi ruangan mereka semau-nya. Bayangkan mereka, para narapidana ini bisa memasak dan juga menonton tv didalam sel mereka. Sebuah kenyataan yang mengejutkan yang dapat di lihat di film ini.

Film ini berhasil, sekali lagi, mengungkap sebuah kejujuran lewat film. Mengekspos ke dunia luar sebuah sisi lain dan pandangan berbeda dari sebuah penjara. Penjara yang diisi oleh beragam cerita dan konflik, kondisi yang sedemikian rupa dengan kisah-kisah menariknya, membuat film ini layak untuk ditonton dan mendapat apresiasi yang lebih. Sineas Brazil memang selalu bisa mengejutkan dengan film-film festivalnya yang sangat berkualitas. Salut buat film ini. Mengejutkan sekaligus menyentuh.

——————————-
Rating  4.5/5

Ice Age 3

Look, who are we kidding, Manny, I’m-I’m-I’m not a kitty-cat, I’m a sabre. I’m not really built for chaperoning play-dates. ~Diego

Terapi stress, begitulah gw menyebut film ini. Selama satu jam lebih gw dibuat tertawa non-stop. Film ini tampaknya hanya mengijinkan kita untuk mengambil nafas sejenak, selepas itu kita akan kembali tertawa lewat adegan-demi-adegan lucu,kocak, sekaligus bodoh dari tiap karakternya. Formula film ini sangat-lah simple, dengan cerita yang tidak terlalu muluk-muluk yang sifatnya memaksa. Drama yang disajikan dengan menarik, komedi yang totally-smart, menjadikan film ini wajib ditonton sebagai hiburan sejati.

Ice Age: Dawn of the Dinosaurs, mengisahkan kehidupan Manny dan kawan-kawan yang sudah berubah. Karakter utama sang Mammoth jantan, Manny, akan segera menjadi orang tua bersama dengan pasangannya Ellie si Mammoth betina. Diego, si Sabertooth, sedang mengalami masa depresi karena dianggap “kucing rumah” yang selalu kelelahan dan tidak bersemangat lagi ketika berburu. Sedangkan si Kungkang pemalas dan ceroboh bernama Sid tampaknya sedang iri melihat kawannya Manny yang sebentar lagi punya keluarga lengkap. Sid-pun berinisiatif untuk mempunyai keluarganya sendiri.

Kisah di jaman es ini pun dimulai, Sid menemukan 3 buah telur yang sudah dianggap sebagai anaknya, padahal dari bentuknya sudah pasti itu adalah telur-telur dinosaurus. Ice Age tidaklah lengkap tanpa kehadiran si tupai, Scrat, yang dari film pertamanya pantang menyerah untuk mendapatkan biji kenari. Tupai yang sudah jadi bagian dan ikon film ini kembali hadir dengan kebodohan dan keunikan tingkahnya yang selalu membuat gelak tawa tanpa henti. Scrat nantinya akan bertemu dengan tupai betina yang akan menjadi pesaingnya dalam mendapatkan biji kenari sekaligus kisah cintanya.

Blue Sky dengan animasi andalannya Ice Age sekali lagi berhasil di sekuel ketiganya ini. Tidak menghilangkan ciri khas mereka sejak film pertama, cerita menarik dengan unsur komedi yang unik lain daripada yang lain, membuat film ini punya ciri khas tersendiri. Sekuel ketiganya toh gw akui lebih bagus, dengan penyempurnaan disana-sini. Walau dalam urusan membuat film animasi yang sempurna dari segi cerita dan gambar masih dipegang oleh Pixar, gw bisa bilang Manny dan kawan-kawan punya tempat tersendiri bagi pecinta animasi.

Setidaknya Blue Sky sekarang bisa dan layak untuk disandingkan dengan studio Dreamworks Animation yang sudah melahirkan Shrek dan Madagascar. Gw rasa cukup fair walau pencipta tokoh Scrat ini belum banyak menelurkan film-film animasi, tapi film andalannya Ice Age tidak kalah dengan film animasi dari studio-studio lain. Sudah jelas sejak film pertama, gw udah menyukai film berlatar belakang jaman es ini, Ice Age adalah animasi favorit gw. Bukan hal yang mustahil akan ada kisah selanjutnya dari Sid dan kawan-kawannya, dan sudah tentu wajib ditunggu.

Secara keseluruhan, Ice Age: Dawn of the Dinosaurs adalah film yang total menghibur. Sebuah tontonan yang betul-betul lucu dari awal sampai akhir, sebuah tontonan yang menarik tanpa rasa bosan. Apalagi Ice Age kali ini juga menawarkan pengalaman yang berbeda dengan hadir dalam versi 3D, hal yang tampaknya menjadi trend baru dalam menonton di bioskop. Gw sendiri baru kali ini menyempatkan dan akhirnya merasakan menonton dengan kacamata khusus alias menyaksikan film dengan teknologi 3D. Ternyata memang menghadirkan pengalaman baru dalam menonton. Enjoy Ice Age with 3D!!

——————————-
Rating  3.5/5

This Is England

Lovely, lovely, love you for that, that’s fucking great. A proud man, learn from him; that’s a proud man. That’s what we need, man. That’s what this nation has been built on, proud men. Proud fucking warriors! Two thousand years this little tiny fucking island has been raped and pillaged, by people who have come here and wanted a piece of it – two fucking world wars! Men have laid down their lives for this. For this… and for what? So people can stick their fucking flag in the ground and say, “Yeah! This is England. And this is England, and this is England. ~Combo

Salah satu film favorit gw sepanjang masa, nga pernah bosen untuk ditonton ulang. Sampe harus beli dvd-nya lagi karena pengen banget nonton lagi. Gw selalu suka kisah-kisah sub-urban yang unik berasal dari Inggris. Dengan aksen kental british-nyaa film ini dapat menyihir lewat cerita sederhana kehidupan di kota kecil. Sisipan kisah “growing-up”, romantisme, rasisme, nasionalisme, musik, punk, lifestyle dan geng dibalut jadi satu, menghadirkan film yang -klo gw bilang- totally awesome!! love this movie very-much.

This Is England, berlatar belakang Inggris di tahun 1983. Mengisahkan seorang anak bernama Shaun yang mesti hidup tanpa seorang figur ayah, karena tewas di medan perang, Falklands War. Hidup hanya dengan ibunya, Shaun yang berumur 12 tahun mencoba untuk menjalani masa kecilnya sendiri tanpa teman, dia ingin terlihat dewasa dimata orang lain, namun kenyataannya sebaliknya, dia selalu diejek karena aneh. Begitu pula disekolah, karena ejekan seorang anak yang lebih besar dari-nya terhadap ayahnya, Shaun akhirnya berkelahi dengan anak itu. Kehidupan masa kecil Shaun memang terlihat tidak bahagia, murung dan sedih.

Kehidupan Shaun sedikit berubah ketika dia bertemu dengan Woody, pimpinan geng skinhead setempat, yang merasa iba dengan keadaan Shaun yang selalu diejek dan diolok-olok. Woody dan kawan-kawan, dengan senang hati menerima Shaun sebagai anggota baru mereka. Setelah itu, Shaun bisa sedikit bersenang-senang, bermain dengan teman barunya yang pada kenyataanya jauh lebih dewasa darinya. Tidak hanya mengubah tampilannya menjadi skinhead dengan rambut yang dicukur habis sampai plontos, Shaun juga mengubah penampilannya yang selama ini jadi bahan ejekan.

Kepala plontos, lengkap dengan celana jeans ketat, sepatu hitam, dan kemeja bener-bener sudah mengubah Shaun yang selama ini hanya anak 12 tahun yang terlihat dungu menjadi Shaun anggota skinhead yang lebih dewasa. Sejak saat itu, Shaun melewati hari-harinya yang baru bersama Woody dan kawan-kawan. Shaun bisa akur dengan mereka juga karena Woody dan gengnya bukan tipikal anak-anak berandalan yang nakal, tapi malah kebalikannya, mereka geng yang “sopan”. Woody sendiri adalah anak yang baik, yang selalu menjaga Shaun, tidak suka klo teman barunya itu dijahili. Maka bersama dengan Woody, Shaun lebih bahagia, ceria, dan menemukan pengalaman-pengalaman baru, termasuk kisah roman dengan Smell, gadis yang lebih tua darinya.

Film ini sanggup berbicara banyak lewat cerita yang berbeda  dengan mengungkap isu rasial sampai isu kehidupan sosial. Lewat kehidupan Shaun yang sederhana dan sudut pandang anak berumur 12 tahun ini, mata gw jadi lebih terbuka akan sebuah arti persahabatan dan pertemanan. Shaun dan komunitas kecil yang dipimpin oleh Woody, memperlihatkan kisah inspiratif, klo geng tidak selalu “bandel” namun bisa juga bertingkah sopan walau dandanan mereka tidak biasa. Karena mereka tetap hanyalah anak-anak namun tumbuh dengan citarasa style yang berbeda dan rasa friendship yang kuat.

Film ini juga menjadi tambah menarik- yang membuat gw semakin suka, dengan penuturan plot yang tidak berbelit-belit, alur yang mengalir baik dan terjaga sampai akhir. Ditambah dengan karakter-karakter keren dengan keunikan masing-masing yang dibawakan dengan briliant oleh para aktornya. Tokoh Shaun yang menjadi main character disini bener-bener menjadi pusat perhatian, dengan akting yang bagi gw pantas diberi 2 jempol, apalagi gw selalu suka dan ingat bagaimana dia tertawa dengan suara yang khas.

Dengan mengangkat isu rasial, tak pelak memang jika film ini dinilai film yang rasis. Namun sekali lagi kembali pada bagaimana kita masing-masing individu menilai film ini. Bagi gw poin dari film ini adalah mengajak kita untuk melihat  apa yang sebenernya terjadi dan memahami tingkah pola setiap karakternya bukan menghakimi mereka karena bersikap rasis. Toh setiap karakter di film ini mengajarkan kita untuk bersikap terhadap isu rasis dan sosial dengan cara mereka masing-masing.

Well, gw bener-bener menyukai film ini dari semua segi yang ditawarkan, cerita dan segala sisipan pesan moralnya, tokoh dan karakter yang unik, dan atmosfir film yang membuat nyaman untuk ditonton. Secara keseluruhan, ini merupakan karya yang hebat dari sutradara Shane Meadows, dan tontonan yang patut direkomendasikan. Enjoy Then!!

——————————-
Rating  4/5