Bagi yang menganggap The Ritual hanya film horor berlatarkan hutan yang klise-gitu-gitu-aja, kalian enggak sendirian, gue pada awalnya pun meremehkan horor garapan David Bruckner ini, termakan penggalan trailer-nya yang terkesan tidak menyuguhkan sesuatu yang baru (yah, gue emang kadang-kadang sesongong itu, gue benci ketika gue sedang songong). The deeper you go, the scarier it becomes. Kalimat yang terpampang di posternya tersebut seperti sebuah panggilan, ujung-ujungnya gue merasa tertantang untuk masuk ke dalam hutan, ditambah elemen pagan dan okultisme yang membuat gue semakin penasaran. Gue memang lemah dengan film-film horor yang bermuatan simbol-simbol aneh, praktik ilmu hitam, dan penyembah setan, itulah alasan utama yang menggerakkan gue untuk berani mencicipi Cipali KM 182 meskipun beresiko tinggi kehilangan kewarasan (jangan terlalu serius amat bacanya, please). Yah, kesan meng-underestimate-kan horor yang diproduseri oleh Andy Serkis ini, ternyata dimanfaatkan Bruckner jadi bumerang yang menyerang balik dengan keras dan telak ke ekspektasi penonton belagu-sotoy-banget-horor macam gue ini.

Mengambil materi mentahnya dari novel karangan Adam Nevill berjudul serupa, film horor asal British ini ternyata apik menyembunyikan rahasianya, tersamar rapat-rapat di balik rimbun pepohonan pinus yang berbaris tegak tak beraturan. Berbekal cuplikan trailer yang rendah hati tidak mau mengobral banyak plot dan penampakan (sungguh berterima kasih untuk siapapun yang meng-edit), ketika gue masuk ke dalam hutan bersama Rafe Spall dan kawan-kawan maboknya, gue sama sekali clueless, tidak tahu apa yang akan gue temui selagi asyik menelusuri jalur pendakian King’s Trail yang katanya diciptakan oleh palunya para Dewa ini. Keindahan deretan pegunungan sebelah utara Swedia seperti mantera ajaib yang membuat rombongan anak kota terlena, sesaat David Bruckner membuat liburan keempat sahabat Phil, Dom, Hutch, dan Luke tampak begitu menyenangkan, tapi tentu saja momen menikmati pemandangan naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali ini hanya sebuah pengalihan, sehingga gue lupa kalau sesuatu dalam gelap hutan sedang mengamati, menunggu dengan sabar untuk meneror, sesabar The Ritual saat mencoba bangun horornya.

Ketidaktahuan adalah kunci untuk menikmati The Ritual, semakin planga-plongo justru semakin bijak, bahkan sebenarnya kalian-kalian tak perlulah buang waktu untuk membaca ulasan gue yang amburadul ini, segerakan tutup jendela browser dan cari filmnya. Kejutan-kejutan yang nantinya sudah disiapkan David Bruckner tentunya bakalan lebih efektif membuat jantung berdebar dan adrenalin jungkat-jungkit turun naik, karena sedari awal gue pasrah-terserah mau dibawa kemana oleh film yang berdurasi 90 menitan lebih dikit ini, termasuk ketika nantinya gue dipaksa untuk masuk ke dalam hutan yang tampak banyak penunggunya, bahkan Treebeard sekalipun gue yakin ogah diajak jalan-jalan sore lewati hutan tersebut. Dari penampakan hutannya saja sudah menyeramkan, ditambah David Bruckner dengan brengsek membiarkan gue perlahan-lahan tersedak oleh atmosfer cekam yang pekat. Lanskap hutan angker tempat Loki main jelangkung ini benar-benar dimanfaatkan dengan jahanam untuk membuat gue hampir saja gila, seperti Phil dan kawan-kawannya yang mulai tidak waras ketika sesuatu yang bersembunyi di balik kegelapan mulai bermain teror.

Hindarilah untuk googling tentang The Ritual, karena semakin sedikit kalian tahu semakin asyik, gue sendiri lebih memilih terkena spoiler-nya Thanos dan perang batu akiknya. Namun menurut gue, David Bruckner tak sekedar membuat horor untuk mereka yang hanya menyembah sebuah twist, tapi juga diperuntukan bagi orang-orang seperti gue yang lebih mementingkan sebuah proses. Iya, The Ritual tahu bagaimana memutar kewarasan gue 180 derajat, sekaligus sangat mengerti cara mempresentasikan formula horor generik jadi terlihat epik disaat menakut-nakuti. Taktik “anjing, itu apaan sih di balik pepohonan, bangsat!” pun dimainkan dengan cantik, gue dipaksa hanya boleh mengintip-ngintip apa yang sebenarnya mengganggu Phil dan kawan-kawannya, sehingga pikiran gue meliar-liar sendiri, menciptakan bayangan seram-seram hasil produksi otak yang sudah terangsang ketakutan. David Bruckner membiarkan penontonnya untuk diteror dan ditakuti oleh imajinasi buatan mereka sendiri, yang terbentuk dari campuran kecemasan dan rasa was-was. Penampakan dan twist-nya kemudian hadir untuk melengkapi pengalaman horor The Ritual yang ngehe.