Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya kenapa saya menggemari film-film horor, saya tanpa banyak pikir hanya simple menjawab “Suzanna.” Horor era 80-an, khususnya kolaborasi Sisworo Gautama Putra dan Yang Mulia Ratu Horor, bisa dikatakan memang bertanggung jawab menjadikan saya budak setan. Harus diakui film-film horor seperti Lukisan Berlumur Darah—adegan tengkorak yang mengeluarkan sinar laser itu epik—atau Telaga Angker yang mempertontonkan hantu Sundel Bolong naik eskavator membunuh penjahat, memang akan tampak menggelikan jika dibandingkan dengan horor masa kini yang serba canggih. Tapi ada satu elemen yang membuat film-film horor lawas lokal tersebut tidak lekang dimakan oleh jaman, meskipun ditonton di era dimana hantu bisa keluar dari TV layar datar, yakni kelebihannya dalam menghadirkan rasa cekam. Rasa takut itu tidak timbul begitu saja karena dipacu oleh penampakan singkat, melainkan ada pengaruh dari bangunan atmosfir, memanfaatkan budaya kita yang kental unsur mistisnya. Atmosfir adalah senjata pamungkas yang membuat horor lokal jaman dulu mampu berjaya hingga sekarang.

Sayangnya, film horor Indonesia sekarang kebanyakan begitu mengandalkan trik jump scares tanpa peduli untuk men-setup sebuah atmosfir yang dapat dikatakan layak. Padahal, film horor bukan sekedar menghadirkan penampakan seram saja, tapi juga mengajak penonton untuk ikut merasakan nuansa tak mengenakan, ada rasa mencekam yang dengan sabar merangkak, ada ketakutan yang menyelimuti perlahan-lahan. Sinema horor Indonesia makin kehilangan daya magisnya untuk menakut-nakuti, para pembuatnya seakan malas untuk membangun atmosfirnya dan lebih memilih jalan pintas, mengandalkan ribuan jump scare yang menyiksa. Muhammad Yusuf muncul di saat yang tepat, Kemasukan Setan, Angker, dan juga Misterius adalah jawaban atas keraguan apakah kita masih bisa ditakuti oleh film horor Indonesia. Film-film horor Yusuf bisa dikatakan berhasil dalam urusannya menakuti karena dia peduli untuk membuat penontonnya tidak nyaman, gelisah, cemas, dan bergidik meski belum satupun penampakan ditongolkan. Seperti film horor lawas, Yusuf kembali bergantung pada atmosfir, memanipulasi pikiran kita untuk membayangkan yang seram-seram.

Kemunculan The Curse tentu saja diharapkan mampu menghadirkan keseraman ala Muhammad Yusuf, well sekitar 15 menit pertama saya masih meyakini bahwa film yang dibintangi Prisia Nasution dan Shareefa Daanish ini akan seseram film-film horor Yusuf sebelumnya. Kita diajak terbang ke Melbourne, bertemu dengan Shelina (Prisia), seorang pengacara yang sedang menangani kasus pembunuhan sekaligus menghadapi persoalan pribadi. Belum kelar dengan masalah pekerjaan dan perkawinannya yang kandas di tengah jalan, Shelina juga harus menghadapi teror dari alam gaib. Sosok nenek-nenek berwajah mengerikan tiba-tiba muncul diikuti dengan berbagai penampakan arwah penasaran. Tak ingin diganggu terus oleh setan, Shelina kemudian memanggil seorang dukun dari Yogjakarta dengan harapan bisa mengusir semua gangguan gaib tersebut. Yusuf sekali lagi memakai formula menakut-nakuti yang pernah diperlihatkannya di film-film sebelumnya, hanya saja keampuhannya dalam mengurung penonton dalam ketakutan serasa jauh berkurang. Konsep yang ditawarkan The Curse terbilang menjanjikan, tetapi terkendala esekusinya yang berantakan.

Menjenuhkan adalah kata yang tepat untuk menyimpulkan The Curse, bagaimana Yusuf mempresentasikan keseluruhan film benar-benar menghancurkan mereka yang berharap pulang dengan wajah pucat ketakutan. Dibandingkan dengan film horor Yusuf sebelumnya, The Curse harus diakui menunjukkan peningkatan yang lumayan signifikan dari sisi sinematografi dan tata produksi. Kelebihan tersebut sayangnya tidak banyak menolong upaya The Curse dalam menghadirkan sebuah tontonan horor yang menakutkan. Formula menakutinya tetap sama, saya masih dapat menikmati separuh awal The Curse pada saat Yusuf mencoba membangun atmosfirnya. Di antara penampakan demi penampakan, rasa cekam lalu perlahan luntur di paruh kedua, formula menakuti Yusuf pun efeknya mulai pudar dirusak oleh kumpulan jump scares yang tidak efektif. Kegagalan The Curse dalam urusan menakut-nakuti kian diperparah dengan penceritaan yang buruk, termasuk pada saat mencoba menjabarkan part misterinya. Alih-alih berdoa karena ketakutan, kali ini The Curse justru membuat saya berharap lampu bioskop segera menyala untuk menerangi kekecewaan saya.