Gue bukan pembenci jump scares, tapi masalahnya, kebanyakan film horor yang rilis beberapa tahun belakangan tampaknya begitu bergantung pada jump scares. Padahal taktik mengejutkan secara tiba-tiba tersebut juga perlu dibangun, bukan asal ceplok seenaknya dengan jumlah yang tak manusiawi. Bikin bakwan jagung saja ada yang namanya proses, begitupula membuat penonton lompat dari kursi mereka. Bagaimana memperlakukan jump scares dengan benar? Silahkan tengok The Exorcist III (1990). Di film arahan William Peter Blatty tersebut terdapat satu adegan yang melibatkan seorang suster, lorong rumah sakit, dan satpam. Ketiga elemen yang nantinya dimanfaatkan untuk menghasilkan salah-satu jump scares terbaik sepanjang masa. Di adegan itu, William mempresentasikan seni membuat jump scares yang melibatkan permainan psikologis, atmosfir, ketelitian, dan yang paling terpenting: kesabaran. Film horor seperti Danur, meskipun punya konsep menjanjikan, tapi sayangnya harus mengulang kesalahan yang sama, perlakukan jump scares layaknya sebungkus mie instan, ciptakan efek kejut yang tak tahan lama.
Kuantitas diatas kualitas, tidak mengherankan apabila Danur yang sebetulnya di awal berpotensi menyeramkan, justru kemudian beralih melelahkan ketika jump scares diobral murah. Awi Suryadi tahu bagaimana membuat filmnya mencekam, dia peduli bahwa film horor bukan sekedar penampakan tapi juga menghadirkan atmosfir yang tepat, Badoet (2015) berhasil melakukan itu. Sedangkan di Danur, Awi tampaknya terpaksa tunduk pada formula yang biasa digunakan Nayato Fio Nuala, mungkin karena penonton Indonesia (mostly) senang di-jump-scares-kan. Gue enggak bilang penampakan dan jump scares-nya akan sebanyak film-filmnya Nayato, tapi Danur memang nyatanya lebih peduli pada ngagetin ketimbang mau membagi durasinya untuk membuat gue terikat dengan nasib si karakter utama, Risa yang diperankan oleh Prilly Latuconsina. Setelah 9 tahun, Risa diceritakan kembali ke rumah neneknya, rumah yang mempertemukannya dengan sahabat-sahabat beda alam. Niat untuk mengurus neneknya yang sakit bersama adiknya harus terganggu oleh kejadian-kejadian aneh, bersamaan dengan kemunculan si pembantu misterius bernama Asih.
Menampilkan Prilly berakting menangis ribuan kali di depan kamera jadi sebuah jalan pintas untuk mengais belas simpatik penonton, karena durasi Danur sudah lenyap dipakai untuk menjejalkan gue dengan beragam variasi jump scares. Alih-alih peduli dengan karakter Risa, gue justru merasa terganggu dengan treatment karakternya yang terlalu dibuat-buat. Padahal horor juga butuh chemistry antara penonton dengan karakter-karakternya, khususnya tokoh utama, agar kita dapat ikut merasakan takut dan terancam. Bahkan ketika Risa ditempatkan pada posisi tersulit, kepedulian gue terhadap karakternya tetap tak bergeming, tangisan tak akan mengubah fakta kalau semakin lama jarak antara penonton dan si karakter utama kian merenggang. Danur terlalu sibuk mengagetkan penontonnya, hingga melupakan kalau karakter-karakter dalam filmnya juga butuh diceritakan, ikatan kakak-beradik antara Risa dan Riri ditampilkan seadanya, hubungan Risa dengan sahabat-sahabatnya pun sekedar numpang lewat. Danur menyia-nyiakan semua karakternya, mereka seakan muncul hanya untuk berteriak dan memajang wajah ketakutan, berlari-larian dan menangis.
Danur beruntung memiliki Shareefa Daanish sebagai hantu tukang culik anak, si pemeran Ibu Dara ini benar-benar menginjeksi dosis keseraman di setiap adegan yang ditujukan untuk menakuti penontonnya. Tatapan ngehe Daanish yang khas itu menyelamatkan Danur, meskipun pada akhirnya karena alasan terlalu sering, penampakan Daanish kemudian berbalik menjenuhkan. Setidaknya kemunculan Asih mampu memberikan rasa ngeri tersendiri, walaupun hanya bermodal diam di pojokan, menatap tajam hingga merasuk ke dalam jiwa. Sayangnya, kehebatan Daanish melakonkan sosok dedemit jahat tidak didukung secara maksimal oleh bangunan horor yang dirancang Awi. Ada beberapa momen seram yang menurut gue berhasil, terutama yang berhubungan dengan kehadiran Asih, tetapi efeknya menguap cepat, rasa cekam sesaat langsung terkubur oleh kumpulan jump scares yang lemah dan tidak efektif. Gue berharap bisa ditakut-takuti oleh Danur, bukan malah tertawa geli ketika penampakannya muncul. Seram tidak seram film horor memang relatif, Danur tidak menakutkan buat gue, tapi bisa membuat penonton di sebelah gue histeris minta pulang.
julyaryani
Emmm.. Review lu sah2 aja si bang, krn kn stiap org punya persepsi berbeda2.. Nah mnurut gua nih film danur itu udh trmaksud film yg bagus n layak ditonton krn Sepanjang sejarah perfilman indonesia khususnya horor itu trkenal dgn imej yg cukup buruk,, nah film danur ini bnr2 murni no vulgar2 jadi bisa ditonton oleh smua usia. Ya walaupun nih film ga sebagus film2 horor sekelas hollywood seperti film2 yg abang sebutin tdi Tp seengganya udh cukup baik n kita sbagai bangsa indonesia yaa hrus bangga dong sama film dalam negri.. Emm itu sii mnurut pndangan gua siih bang
Abdullah ilyaz
Sayangnya… saya udah nonton film tersebut… aku berharap film itu menyeramkan ternyata tidak harapanku pupus,deh! Film ini kurang membangun Jumpscare padahal hantu sering lewat… dan menceritakan kisah Bi asih saja… bukannya mereka… dan film ini seru dan cukup bagus
N Firmansyah
Ini gimana sih? Bingung gue aselik.
Tri Hadi
Ada Aquaaaaa…??
Anasthasia
setuju kak! jumpscaresnya terlalu over, belum lagi back sound waktu jumpscarenya ngikutin Insidious. setting lighting & beberapa scene juga 🙁
Tri Hadi
Kemarin sempat mau nonton Danur karena saya suka dng Badoet-nya Awi. Tapi saya jadi ragu dan mikir, kenapa harus Prily yang main..? Padahal saya kangen banget lihat muka iblis-nya si Shareefa Daanish. Ya sudahlah, tetep mau nonton. Ntar kalo muka Prily muncul dan nangis-nangis gak jelas cukup ditinggal merem aja.
julyaryani
knp sih mas kok kyanya situ benci bgt sama prilly? emgnya prilly punya salah apa sama situ? kok sgitunya amat.. ohh iya saya tau nih jgn2 prilly pernah minjem duit ya sama situ, trus dia ga prnah byar mkanya situ sebel hahaha
Nai
Mungkin krn prili pendek
April
Prilly aktingnya nggak jelas, nggak bisa ngebawain karakternya, dan akhirnya cuma busa nangis demi dpt simpati penonton.
Priti hyuj dik
Lha situ knp sgitu ngebelaiinnya prilly? Manajernya? Tim suksesnya?
Nid
Bala bala prilly mulai kejet-kejet. Idola kamu aja nerima kritik dengan baik, masa’ fans malah ga terima idolanya dikritik? Seolah-olah idola kalian itu perfect tanpa cela? Nge-fans boleh, tapi pake otak ya.
Hadi permana
Mau comment dong, menurut gua alur ceritanya kurang gigit. Padahal liat crita risa yang main bersama peter dan kawan2 terkesan ngeri2 seru. Tp ini cmn sekilas dan ending grandmom nya pergi kmn? Apakah meninggal apa d tinggal d rmh aja dalam keadaan terkunci??
Tapi semoga jadi masukaaaan buat team semuanyaaaa deh. Cayoo cayoo
nurmin
Jelek filmnya. Akting pemainnya jelek. Kaya nonton FTV. Masih mending jelangkung kemana-mana.
Timy
waah iya kah?? pdhl aku kirain serem banget ini filmnya…. tapi emang sih film2 jaman dulu macam jalangkung itu seremnya parah hehe
rgewggg
kecewa nontonnya, kacau banget filmnya.
arina
aku kira bakal serem, soalnya pas denger versi risa saravatinya itu cukup serem dan ketika ada bangku bioskop yg sempet dikasih kain putih
Ternyata pas udah dilihat, hem gak ada serem seremnya sama sekali