Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai. Puisi singkat tersebut membuat Thomas dan Martin, kedua sahabat Wiji Thukul, spontan tertawa. Saya juga ikut tergelitik tanpa menyadari makna dahsyat yang terkandung dalam puisi tersebut. Tampak seperti lelucon, tetapi kemudian olahan kata ciptaan si penyair kerempeng yang sedang melarikan diri dari kejaran rezim bangsat tersebut, lambat laun berhasil menghantui saya sewaktu sedang asyik-asyiknya buang hajat. Lebih menghantui ketimbang adegan kepala nongol dari toilet di film Telaga Angker (1984), mimpi buruk tersebut bikin saya tidak berani berak malam-malam sewaktu kecil. Orang yang merdeka itu bisa berak kapanpun dia mau, tanpa harus terpenjarakan oleh rasa takut. Orang merdeka itu beraknya tidak perlu sembunyi-sembunyi, karena takut digerebek sama aparat. Istirahatlah Kata-Kata itu menyadarkan arti bebas dan merdeka, meskipun Yosep Anggi Noen menjelaskan hanya bermodal adegan Wiji Thukul jongkok berak sambil cengar-cengir berbisik “bau tai” kepada Sipon. Bahasa visual Anggi dan kekuatan kata-kata Wiji Thukul kompakan menciptakan kedahsyatan dalam Istirahatlah Kata-Kata.

Sebait kisah pelarian Wiji Thukul sampai ke Pontianak memang disampaikan tak banyak bicara, tapi selama 90-an menit, dengan penampakan yang sederhana itu, Anggi dan Istirahatlah Kata-Kata-nya mampu membuat saya mengerti beraneka ragam rasa yang terperangkap dalam raut muka seorang Wiji Thukul. Rasa yang nantinya akan terbebas kala Wiji Thukul melampiaskannya di atas secarik kertas kucel. Istirahatlah Kata-Kata menyiulkan kegetiran yang tersembunyi di antara kesunyian. Menyuarakan kepedihan yang terbungkam dalam kebisuan. Bisikkan kepiluan yang tergeletak tertutup oleh bayang-bayang malam. Istirahatlah Kata-Kata pun meneriakkan ketidakadilan yang semakin mencekik kala listrik sedang padam. Namun nyanyian perlawanan tidak akan pernah bisa dipadamkan, masih ada terang cahaya lilin hasil beli di warung. Istirahatlah Kata-Kata adalah sebuah peringatan, mengingatkan lagi bahwa dulu negeri ini pernah punya masa dimana orang bisa terenggut kemerdekaannya untuk berak dengan tenang, hanya karena dia membuat puisi jujur tentang rezim yang zalim. Rezim yang takut dengan laki-laki ceking yang berani berkata-kata soal kebenaran.

Dalam Istirahatlah Kata-Kata, kita tidak sekedar menonton, tapi diajak berdialog, mengobrol, layaknya adegan Wiji Thukul bercengkrama dengan dua sahabatnya di pinggiran sungai Kapuas. Blak-blakan bercerita, tidak melulu harus serius tapi adakalanya dibawa duduk santai dengan seteguk guyon dan cemilan humor, agar kita bisa sedikit nyengir memperlihatkan gigi-gigi yang kuning. Obrolan yang tak selalu berkomunikasi lewat kata, meski begitu Anggi mampu menyampaikan apa yang sedang dirasakan oleh Wiji Thukul, bukan hanya tentang ketakutan bakalan ditangkap, tapi juga soal kerinduan dengan Sipon. Istirahatlah Kata-Kata tak mau kalah dengan Habibie & Ainun, maka Anggi turut juga mencelupkan kisah asmara sepasang suami istri yang terpaksa terpisah jarak. Cinta-cintaan yang tidak pakai adegan hiperbolik untuk mengungkapkan rasa sayang, sesederhana membelikan istrinya sebuah celana sebagai oleh-oleh, bagian manisnya adalah Wiji tidak lupa untuk mencucinya terlebih dahulu. Istirahatlah Kata-Kata membuat kita tak saja dekat dengan sosok Wiji Thukul, sisi emosional kita pun “dipaksa” untuk melekat dengan hubungan antara Wiji dan istrinya, Sipon.

Wiji Thukul mengambilkan segelas air untuk menenangkan Sipon, dia lalu pergi, dalam hati saya berharap Wiji kembali dari dapur membawa kacang goreng, lalu film berakhir bahagia. Detik demi detik berlalu, tapi batang hidung peseknya tak kunjung muncul, barangkali Wiji sedang berak, saya masih berharap dia muncul. Setelah Sipon menyudahi tangisnya, dia berdiri berlanjut dengan menyapu, layar kemudian gelap. Ah! tai benar Anggi dengan segala metafora bangsatnya. Adegan pamungkas di Istirahatlah Kata-Kata tersebut mungkin akan berbeda efek serta rasanya, apabila Anggi tidak berusaha membuat kita lengket dengan Wiji Thukul dan Sipon, yang dilakonkan Gunawan Maryanto dan Marissa Anita dengan penuh penjiwaan, performa dengan totalitas yang menggetarkan. Istirahatlah Kata-Kata benar-benar mengesankan bukan sekedar karena adegan penutup yang berhasil menghantam dan menghancurkan, keseluruhan durasinya dibuat penting, semua adegan menyatu untuk membuat film ini menjadi tontonan yang istimewa. Karya yang memberi penghormatan sekaligus penolakan untuk melupakan. Karya yang menyadarkan sekaligus mengingatkan.