Hangout adalah eksperimen seorang Raditya Dika, coba-coba menggabung tema komedi patah hati yang dia kuasai dengan formula thriller ala buku-buku Agatha Christie. Hasilnya, well tidak bisa dibilang memuaskan, tapi saya apresiasi usaha Dika untuk menciptakan tontonan yang berbeda, karena butuh keberanian untuk melawan arus di tengah budaya perfilman Indonesia yang hanya “ikut-ikut” yang sedang rame. Lagipula, apapun bentuk filmnya, mau komedi campur fiksi ilmiah pun, saya yakin pengikut Dika yang jumlahnya jutaan akan tetap datang membeli karcis bioskop, karena toh namanya sudah lebih dulu menjual. Mungkin jika Dika pitching ide ke produser untuk bikin film slasher nyeleneh pun, asal ada komedi, mereka akan manggut-manggut tanda setuju. Saya bukan asal bicara dan sedang tidak nyinyir, tapi hasil dari pengamatan setelah menghabiskan waktu bersama Prilly Latuconsina di Hangout. Kalau Dika mau, dia bisa membuat film berdarah-darah yang penuh dagelan ala Tucker and Dale vs Evil, Dika punya potensi untuk membuat film bajingan seperti itu. Menarik melihat kemanakah Dika melangkah setelah Hangout, semoga film yang lebih gila.

Saya memang bukan penggemar garis keras Raditya Dika, bukan juga orang yang benci karyanya, hubungan saya dengan film-film Dika bisa dikatakan naik-turun, saya menyukai Marmut Merah Jambu (2014) tetapi kurang begitu cocok dengan Koala Kumal (2016). Hangout sebetulnya berada di tengah-tengah, ngambanglah statusnya kaya tokai di kali deket rumah. Saya tidak “berjodoh” pada bagaimana Dika mempresentasikan komedinya, namun untungnya Hangout masih memiliki bagian lain untuk dinikmati dan direnungkan: thriller yang setengah berantakan dan Dinda Kanya Dewi yang makan nasi campur daki dari keteknya sendiri. Aneh adalah sesuatu yang normal untuk film Raditya Dika, kadang kala berhasil, tetapi tidak jarang juga meleset dari sasarannya, alih-alih ditertawakan malah hasilkan garuk-garuk kepala. Formula komedinya tidak akan jauh-jauh dari film-film Dika sebelumnya, masih mengandalkan celotehan serba spontan berisikan sarkasme, humor jorok, dan lelucon yang menertawakan diri sendiri. Bedanya, drama patah hati sekarang berganti dengan misteri, keunyuan berganti ketegangan menebak-nebak “siapakah pelaku pembunuhan?”

Saya mungkin akan minta dibunuh duluan oleh panah beracun atau didorong ke jurang, apabila Hangout hanya dilakonkan oleh Dika seorang, untungnya komedi hasil racikan Dika dibagi-bagi ke Om Mathias Muchus, Soleh Solihun, Titi Kamal, Bayu Skak, Gading Marten, Surya Saputra, Prilly dan Dinda. Hasilnya tak seburuk yang saya bayangkan, guyonan keroyokan tersebut saya akui ada beberapa yang menggelitik syaraf tawa saya, tapi sayangnya sebagian besar memang tak sesuai dengan saya punya selera humor. Setidaknya Hangout masih memiliki part yang mengajak otak saya untuk sibuk sendiri mengungkap misteri, jadi bagian komedi yang agak tidak berhasil itu bisa saya lupakan sejenak. Selain akting Dinda Kanya Dewi yang taik banget, paruh awal Hangout justru terbilang menjemukan dengan masing-masing karakternya diberikan kuota untuk ngelawak, beberapa dipaksa untuk terdengar lucu. Daya tarik penyutradaraan Dika mulai muncul saat thriller mengambil alih porsi komedi, tepatnya ketika Om Mathias Muchus diduga tewas oleh racun. Tawa berubah jadi tegang, selagi kita dibiarkan menunggu siapa kira-kira orang yang selanjutnya akan terbunuh.

Meski harus berdesakan dengan tawa, bangunan cekam dan tegang di Hangout cukup terasa mencengkram, Dika mampu memanfaatkan dengan baik lokasi dan lingkungan sekitarnya untuk jadi arena bermain bunuh-bunuhan, didukung pula oleh pemilihan scoring dan efek suara yang tepat. Sebagai sebuah tontonan yang bertemakan thriller, saya cukup menikmati apa yang coba ditawarkan oleh Dika, dan saya menyadari untuk tidak perlu menanggapi secara serius segala kegilaan ataupun tingkah bodoh karakter-karakternya. Toh saya memang berada di ranah komedi, walaupun ada adegan orang ditusuk dan diracun, semua pada akhirnya dirancang untuk tak sekedar menaikkan tensi ketegangan tapi juga dimaksudkan agar ditertawakan oleh penontonnya. Berhasil atau tidak, Dika hanya bisa usaha, hasilnya tentu saja dikembalikan tanpa paksaan ke selera humor masing-masing penonton. Buat saya, Hangout jelas sebuah eksperimen yang tanggung, tapi juga sekaligus memperlihatkan bahwa seorang Raditya Dika ternyata mampu keluar dari zona nyamannya membuat komedi-komedi galau, dan kemudian dengan gilanya bikin thriller yang cukup “amburadul.”