Jangan pernah bermain sendiri, jangan bermain di kuburan dan selesai bermain jangan lupa pamitan sambil bilang “goodbye”, itulah ketiga aturan penting dalam papan ouija yang tidak boleh dilanggar. Alice Zander (Elizabeth Reaser) mungkin tak akan mengalami kemalangan jika saja dia mau patuh dengan aturan tersebut, tapi nasi sudah jadi bubur, kehidupannya beserta dua anak perempuannya, Lina (Annalise Basso) dan Doris (Lulu Wilson) berubah menjadi seperti mimpi buruk setelah kedatangan sosok dari alam gaib. Ouija: Origin of Evil sekali lagi memberi anjuran untuk tidak menganggap dunia lain itu sebagai bahan lelucon, tanpa ada panggilan pun, setan dan iblis pekerjaan sehari-harinya adalah mendatangi anak cucu Adam untuk digoda imannya. Tentu saja mereka akan makin senang apabila diundang secara khusus ke pesta kecil-kecilan, walau datang tidak dijemput dan pulangnya tidak diantar. Bermain dengan arwah jelas berbahaya, sudah ratusan film horor mencoba menegaskan, dan Mike Flanagan (Absentia, Oculus) hanya kembali mengingatkan.

Terima kasih wikipedia yang telah mengembalikan ingatan saya, Ouija: Origin of Evil merupakan prekuel dari film Ouija yang rilis di tahun 2014 silam, jangankan ceritanya, saya bahkan tidak ingat film tersebut pernah ada. Well, Mike Flanagan tampaknya memang menyukai berurusan dengan “barang-barang aneh”, setelah menyeret kita untuk merasakan teror cermin terkutuk lewat Oculus, kali ini Mike mengajak penonton untuk bermain dengan papan, bukan papan catur melainkan papan ouija untuk memanggil mereka yang berstatus “RIP” alias meninggal. Dua film horor supranatural dalam rekam jejaknya sebagai sutradara, membuktikan jika seorang Mike Flanagan tak sekedar tahu bagaimana menangani sebuah teror dalam filmnya, tapi juga mengerti jika film horor juga butuh pondasi cerita yang solid. Meskipun saya beberapa kali agak kesulitan untuk menjaga kesadaran alias gagal untuk tidak ketiduran, termasuk ketika menonton Ouija: Origin of Evil pada pemutaran tengah malam. Harus diakui, saya memang butuh kesiapan prima dan dalam kondisi 100% sehat bugar untuk menonton film-film Mike Flanagan, atau akan berujung merem-melek. Solusinya mungkin memilih jam tayang yang lebih bijaksana, di siang hari ketimbang menonton pas midnight.

Saya tidak akan menyalahkan Mike Flanagan atau memvonis Ouija: Origin of Evil adalah film yang membosankan, hanya karena saya mengantuk ketika menonton film bernuansa era 1960-an ini. Sebaliknya, ketimbang predesesornya yang amat mudah dilupakan, film kedua jauh lebih layak disebut horor yang mengasyikkan. Walaupun saya membenci penampakan-penampakan yang memanfaatkan orang atau hantu dengan ekspresi celangap, Mike Flanagan setidaknya membuat segala adegan penampakan tersebut terasa efektif dalam tujuannya menciptakan kaget, takut dan rasa mencekam. Berkat dibarengi bangunan atmosfir dengan dosis pas dan tepat, tanpa penampakan pun Ouija: Origin of Evil sebetulnya sudah berhasil memunculkan perasaan tak mengenakan, sekaligus merangsang otak tampilkan gambar-gambar seram sebelum penampakan atau jump scares-nya benar-benar dilemparkan oleh Mike Flanagan. Beberapa trik menakutinya harus diakui tidak lagi bisa dibilang baru, tetapi Ouija: Origin of Evil untungnya bisa mengeksposnya untuk tidak terlihat murahan. Saya menikmati beberapa momen mencekam yang coba dihadirkan oleh Mike Flanagan.

Bicara tingkat keseraman, Ouija: Origin of Evil bisa dikatakan tak mengecewakan dalam urusannya menakuti, terima kasih kepada kepedulian Mike Flanagan yang tidak melulu bergantung pada penampakan mengagetkan, tetapi juga merancang kengerian dengan memanfaatkan atmosfir rumah yang memiliki masa lalu kelam tersebut. Tidak sekedar dijadikan sebagai ajang uji nyali, Ouija: Origin of Evil juga (untungnya) ingat untuk menceritakan kisahnya secara utuh, selagi sibuk dalam menyiapkan segala bentuk jump scares—sesuatu yang biasanya dilupakan horor-horor lainnya. Porsi yang seimbang antara membangun suasana creepy, momen-momen mengejutkan dan juga bercerita, membuat Ouija: Origin of Evil tidak akan terasa melelahkan, berbeda dengan kebanyakan film horor yang habiskan durasi hanya dengan menumpuk berlapis-lapis jump scares. Mike Flanagan menyadari lebih baik memiliki satu atau dua momen mengerikan ngehe yang akan nyangkut hingga penontonnya pulang ke rumah, ketimbang memberi banyak penampakan tetapi efek ketakutannya hanya bersifat sementara atau bahkan tidak ada sama sekali.