Setelah segala upaya untuk mencuri hati Hany (Susanna Caecilia) ternyata gagal total, dari pendekatan memakai gombalan macam “yang engkau lamunkan sudah ada di sisimu, Hany” hingga pergunakan ilmu hipnotis ala Uya Kuya, Hendra yang katanya lulusan luar negeri akhirnya meminta bantuan dukun…dukun lintah (AN Alcaf). Cinta ditolak dukun bertindak, ilmu hitam pun dikirim ke perut suaminya Hany, Nurdin (Alex Kembar). Lintah yang kini bersarang di dalam tubuh Nurdin mengakibatkan dirinya sakit parah dan berperilaku aneh. Sempat diperiksa oleh dokter, tapi mereka angkat tangan tak tahu penyebab penyakit Nurdin. Pergi ke orang pintar pun percuma, alih alih menyembuhkan, Nurdin malah makin parah, dan berujung pada tewasnya Mak Ondong secara mengenaskan, kalah kesaktian. Malapetaka tak berhenti sampai disana, lintah-lintah menjijikkan tersebut keluar merayap menulari Hany, dan nantinya seluruh penduduk kampung yang tertular berubah jadi zombie. Yup, zombie yang doyan gigit seperti anjing gila yang ngebet pengen kawin.

“Hendra! Kau suruh aku mencelakakan orang begitu banyak, apa hasil yang aku dapatkan? Hutang darah! Hutang! Hutang! Hutang darah!” Film horor lawas kita tampaknya kurang lengkap tanpa kehadiran barisan dialog-dialog ajaibnya, salah satu hiburan tersendiri ketika kalimat-kalimat menggelikan tersebut mampir ke telinga. Dukun Lintah pun nantinya tak akan ketinggalan menyelipkan sederetan dialog yang mengingatkan saya pada mata pelajaran PMP di sekolah dulu. Dialog semacam ini misalnya, “Sekolah adalah masalah menuntut ilmu, tetapi percintaan mereka adalah satu cita-cita untuk mencapai jenjang rumah tangga.” Walau tema yang diusungnya adalah horor, Dukun Lintah tetap berkeinginan memberi pesan-pesan yang sungguh bijaksana. Ponten seratus sepatutnya diberikan untuk film arahan Ackyl Anwari ini, atas usahanya dalam mencerahkan penontonnya lewat beragam kata-kata mulia penuh kebaikan, meskipun harus berdampingan manis dengan adegan-adegan tak bermoral dan menjijikkan yang nantinya hilir-mudik selama 90 menit.

Dialog-dialog yang sudah lolos uji kebakuan versi Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dikombinasikan dengan tehnik seni peran yang menakjubkan, membuat tiap adegan di Dukun Lintah terlihat semakin mencengangkan. Tampaknya Ackyl tidak memerlukan tambahan gambar-gambar mengerikan, karena bermodalkan dialog dan akting pemainnya pun Dukun Lintah sudah amat efektif menghasilkan efek rahang pegal, disebabkan mulut yang terus menerus dipaksa celangap lebar merespon segala keepikannya. “Diracuni” oleh dialog dan lakon, saya seakan tak sadar dan lupa jika Dukun Lintah sebenarnya adalah film horor, Ackyl tahu benar cara membungkus filmnya agar kita tak menganggapnya sebagai tontonan serius dan menakutkan. Sebuah trik jenius, karena disaat kita terbuai oleh sekumpulan adegan komedi, kita juga dibuat lengah, pada saat itulah Ackyl langsung kembali mengguyur penontonnya dengan berbaskom-baskom penuh lintah bergeliat-liat.

Dukun Lintah memang akan terlihat banyak ngelawak, tapi tunggulah hingga film menampilkan adegan yang melibatkan lintah merayap, tawa pun seketika hilang berganti dengan raut wajah membiru menahan mual. Lintah menempel di wajah, keluar dari mulut, masuk ke dalam hidung, mengoyak kulit perut, semuanya bisa dibilang tampil begitu meyakinkan berkat efek praktikalnya yang hebat. Hasilnya betul-betul terasa maksimal untuk menciptakan rasa mengerikan sekaligus juga menjijikkan di saat yang bersamaan. Untuk urusan yang menyangkut gore serta berdarah-darah, Dukun Lintah menegaskan sejak awal bahwa film ini 100 persen serius, bisa dilihat dari opening-nya yang kacau dipenuhi lintah dimana-dimana. Selalu ada rasa menyenangkan ketika saya menonton film-film horor lawas lokal, Dukun Lintah adalah salah satunya, tak sekedar memberikan hiburan tetapi juga mengajak penonton untuk merasakan pengalaman unik dan epik. Kapan lagi kita bisa melihat zombie naik becak, dukun mengeluarkan api dari mulutnya layaknya Smaug atau Pak Kyai dengan kekuatan listrik ala Sith Lord di film-film Star Wars.