Jika bukan karena ada nama Garin Nugroho, mungkin saya bakal berpikir untuk menghiraukan Aach… Aku Jatuh Cinta, walaupun film ini memajang nama Chicco Jerikho dan Pevita Pearce. Menonton film barunya Garin itu seperti sembahyang, hukumnya wajib, saya akan merasa berdosa jika melewatkannya. Apalagi kali ini filmnya terbilang nyantai, film Garin yang akhirnya berbobot agak nge-pop, level ketertarikan saya tentu saja menanjak naik. Penasaran pula bagaimana performa Chicco dan Pevita di tangan seorang Garin yang memang jagoan memaksimalkan akting pemainnya. Chicco dan Pevita nantinya akan melakonkan Rumi dan Yulia, dua orang yang tumbuh bersama sejak kecil, kemudian saling jatuh cinta. Walau Rumi terlihat kacau dan sering mengganggunya di sekolah, Yulia tak bisa bohong dengan dirinya sendiri kalau Rumi memang sudah berhasil mencuri hatinya. Yah sayangnya, takdir cinta Rumi dan Yulia tak semulus wajah Pevita Pearce, macam-macam ujian berdatangan silih berganti, termasuk orang tua Yulia yang tak beri restu anaknya berhubungan dengan Rumi yang terkenal tukang cari masalah.

Aach… sekali lagi Garin Nugroho membuat penontonnya terkesima, jika ada daya tarik yang menjadikan Aach… Aku Jatuh Cinta layak ditonton, maka pengalaman sinematik yang sudah diberikan film ini adalah salah-satu alasan mengapa kalian harus datangi bioskop dan membeli tiket. Uang 35 ribu jadi benar-benar sepadan dan Garin tak menyia-nyiakan waktu yang sudah penonton korbankan. Tak perlu pedulikan judulnya yang kelihatan norak itu, karena Aach… Aku Jatuh Cinta akan membuat yang norak sekalipun jadi terpandang aduhai, mahal ataupun berkelas. Apalagi dengan setting-nya yang lintas jaman, memulai di era 70-an, menyebrang era 80-an, kemudian berakhir di era 90-an. Aach… Aku Jatuh Cinta tidak sekedar menyodorkan kisah romansa yang “norak” tapi juga mengajak saya bertamasya ke masa lampau lewat visualnya yang bergaya retro. Untuk urusan detil, film ini memang tidak main-main dalam menciptakan kesan dan suasana yang sesuai di jamannya, dari mulai pemilihan baju-baju yang dipakai hingga perabotan rumah. Pemanis sekaligus bagian penting yang membuat Aach… Aku Jatuh Cinta terlihat memiliki value yang lebih tinggi, bukan lagi FTV yang dipaksa masuk bioskop.

Aach… Aku Jatuh Cinta hadirkan pemandangan yang begitu cantik, secantik paras Pevita Pearce yang menggoda hati lelaki (normal) manapun apabila menatapnya, tapi bukankah ini memang film Garin, sudah seharusnya cantik dan indah. Visual Aach… Aku Jatuh Cinta tidak hanya menyatu dengan rangkaian dialog puitis yang keluar dari mulut Rumi dan Yulia, tapi juga hadirkan keindahan yang kaya warna dan rasa. Saya kagum dengan cara Garin memadukan warna, latar belakang dan para pemainnya untuk menghasilkan komposisi gambar yang benar-benar sedap dipandang. Tahu bagaimana menempatkan Yulia di sudut yang tepat, agar bekas bangunan bioskop yang sudah bobrok pun jadi kelihatan menawan. Apapun latar yang dipasangkan oleh Garin, hasilnya tidak saja menambah keindahan tapi juga memberikan rasa dan mood yang pas di setiap adegan, termasuk obrolan bersaut puisi antara Rumi dan Yulia dengan latar Candi Plaosan. Jika kemudian saya tak terlalu bisa menikmati tutur Garin ketika menyampaikan cerita, setidaknya saya masih punya gambar-gambar di Aach… Aku Jatuh Cinta untuk sekedar dinikmati.

Saya memang merasa kurang sreg dengan cara bertutur Aach… Aku Jatuh Cinta, saya tak akan menyalahkan Garin, pilihannya mungkin saja cocok, tuturnya yang “kacau” bisa saja menyesuaikan keinginan Yulia untuk menulis cerita cintanya di buku harian dengan gaya kacau ala film kartun favoritnya, Tom and Jerry. Cukup mengganggu bangunan chemistry antara Rumi dan Yulia, saya merasakan asmara yang terjalin jadi kurang utuh, walaupun saya mampu diyakinkan kalau mereka berdua sedang jatuh cinta. Akan banyak momen dan sketsa untuk membuat saya pada akhirnya percaya Rumi dan Yulia saling suka, walau keduanya ditampilkan selalu bertengkar. Tapi Aach… Aku Jatuh Cinta tetap saja tidak mampu membuat saya lebih peduli pada Rumi dan Yulia, kisah cinta mereka tampak indah di mata namun kurang mengetuk hati. Perasaan saya dibuat menggantung. Saya nikmati segala keindahan yang sudah disuguhkan Garin, saya juga dibuat terhanyut oleh alunan scoring-nya, tapi saya harus jujur Aach… Aku Jatuh Cinta tak pernah bisa membuat saya benar-benar jatuh cinta penuh dengan kisah Rumi dan Yulia.