Selamat Tahun Baru! Semoga tahun ini film Indonesia semakin menyenangkan, semakin berkualitas dan tentu saja penontonnya makin bertambah. Sebelum kita disodorkan film-film terbaru, saya ingin sejenak mengajak lagi untuk menengok film-film apa saja yang berhasil membuat saya terkesan, terpukau, terpesona dan tergila-gila. 2015 bisa dibilang tahun yang sangat menyenangkan untuk pecinta film Indonesia, karena kehadiran film-film yang tidak hanya menghibur tapi juga membanggakan. Munculnya Garuda Superhero pun jadi semacam penambah rasa yang “unik” untuk jajaran film Indonesia yang rilis tahun lalu. Kegembiraan saya berlanjut ketika melihat sinema horor lokal kedatangan film-film yang tak kalah menyenangkan, terlepas munculnya Tes Nyali yang luar biasa buruk, beruntung horor kita terselamatkan oleh penampakan Misterius, Badoet dan Midnight Show. Tanpa basa-basi lagi, berikut ini adalah daftar 15 film yang secara personal tidak hanya mewakili kata “terbaik” tapi juga film-film yang membuat saya kian cinta mati dengan yang namanya film Indonesia. Film-film yang tak sekedar memberi hiburan saat ditonton, tapi juga meninggalkan kesan yang begitu kuat.

15. 2014: Siapa Di Atas Presiden?

2014: Siapa Di Atas Presiden? bukan asal berani ambil tema yang jarang dipakai, tema political-thriller tersebut kemudian dikemas dengan kualitas yang baik. Sanggup mencampurkan intrik politik, drama dan juga aksi untuk kemudian menghasilkan tontonan yang menyenangkan. Porsinya terbagi rata, termasuk untuk bagian drama yang nanti punya peran untuk membuat penonton lebih peduli dengan cerita dan karakter. Begitupula dengan bagian yang menyorot sistem perpolitikan, terasa menegangkan di setiap babaknya sampai-sampai saya amat serius menghabiskan durasinya yang 100-an menit itu.

14. Ngenest

Ngenest tidak sekedar punya bahan lawakan yang menggelitik, tapi juga mampu menampilkannya dengan apa-adanya, tanpa terasa dibuat-buat dan dipaksa lucu. Formula komedinya universal, jadi siap layani beragam tipe penonton dan selera humornya. Inilah yang membuat Ngenest berbeda dari film komedi kebanyakan, filmnya tidak egois. Walau joke-nya terkadang terasa tidak tepat sasaran, secara keseluruhan Ngenest memang patut ditertawakan. Pas sedang lucu, lucu banget! Menghibur! Tukang cilok, tukang bajaj, supir angkot dan orang gila yang kencing sembarangan adalah beberapa kengehean di Ngenest.

13. Midnight Show

Untuk mereka yang memang menanti dimandikan oleh darah, Midnight Show tak saja akan menceburkan penontonnya ke dalam kubangan getih kalau kata orang sunda, tapi juga tahu bagaimana cara membuat adegan berdarah-darah yang menyenangkan. Tidak ada yang mubazir, setiap tetes darah betul-betul dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Ginanti, tak disia-siakan dan tak tanggung-tanggung dalam upayanya menghadirkan adegan-adegan yang serba brutal. Darah dimana-mana, mayat bergelimpangan, Bioskop Podium berubah fungsi tak lagi jadi tempat nonton tapi area penjagalan orang.

12. About A Woman

Dibalik dialognya yang terkadang terasa begitu menggelitik, ada kesepian yang menyesakkan di About a Woman-nya Teddy Soeriaatmadja. Bersetting hanya di sebuah rumah yang dihuni Janda berusia 65 tahun, About a Woman mengisolasi penontonnya untuk ikut merasakan kesepian. Gambar dan atmosfirnya banyak berbicara tentang bagaimana rasanya kesepian, di tengah topik bahasan yang menyinggung soal seksualitas, agama dan juga kemunafikan. Teddy selalu bisa memaksa cast-nya untuk main bagus dan total, begitupun di About a Woman, Tutie Kirana tampil luar biasa memerankan sosok “Ibu”.

11. Nada Untuk Asa

Walau Nada Untuk Asa nantinya membenamkan HIV-AIDS dalam jalinan cerita, tapi Charles Gozali tidak sedang membuat film tentang penyakit, apalagi tergoda untuk mengeksploitasi penyakit supaya bisa mengemis belas kasihan penonton. Nada Untuk Asa tak sekedar memberikan kita kisah pilu, namun menyodorkan kita juga kisah keberanian dan juga kasih sayang antara keluarga. Nada Untuk Asa adalah melodrama yang memiliki hati dalam menyampaikan ceritanya, tanpa menjual tangisan, mengobral penyakit atau menjadikan “berani untuk hidup” hanya sebagai slogan kosong belaka.

10. Hijab

Seperti sebuah pergelaran busana yang di-organize dengan sangat baik, Hijab pun melenggang mulus sepanjang durasinya. Sukses memamerkan cerita yang terjahit rapih, dengan tambahan pernak-pernik konflik yang tak terkesan cheap. Hijab memang tampil bercanda, tapi dalam setiap candaannya terselip pesan-pesan bernada nyinyir. Walau bagaimanapun ada label bertuliskan “ini filmnya Hanung”, lumrah jika pada akhirnya Hijab pun berkeinginan untuk menyentil dan menyindir, tapi kali ini Hanung sadar betul batasannya, dia masih mampu mengerem nyinyirannya untuk tak terlalu eksplisit dalam penyampaiannya.

9. Kapan Kawin?

Kapan Kawin? tahu kapan waktu yang tepat untuk menggelar lawakannya dan waktu yang pas untuk menyetel bagian yang serius, masing-masing punya waktunya. Nah, kedua unsur pun, komedi dan romansa tersebut tidak dipertontonkan untuk memaksa saya untuk tertawa maupun terenyuh melihat aksi Dinda dan Satrio, mau itu saat sedang ngelawak atau serius. Disinilah Kapan Kawin? jadi istimewa, bagaimana film ini memperlakukan karakternya, bisa dikatakan sebelum Dinda dan Satrio jatuh cinta, saya lebih dahulu dibuat jatuh cinta oleh mereka.

8. Nay

Perjalanan Nay terbingkai dengan sinematografi nan elok, membuat mata terasa adem, selagi emosi terguncang. Ipung Rachmat Syaiful di balik kameranya sudah melakukan pekerjaannya dengan sangat jempolan, tidak hanya menyulap chaos-nya jalanan Jakarta jadi terkesan puitis, tetapi juga mampu menghadirkan mood yang tepat dalam tiap adegan, yang pada akhirnya membuat saya begitu nyaman mendampingi monolog Nay. Memilih Sha Ine Febriyanti sebagai Nay pun adalah langkah yang begitu tepat, olehnya, karakter Nay tak hanya jadi memiliki nyawa, monolognya pun hidup dan tampil memikat.

7. 3 (Tiga)

3 seperti mengajak kita ke dunia yang asing tapi terasa amat familiar, dan setting yang sudah dibuat sedemikian rupa apik—walau efek masih terasa kasar disana-sini—kemudian tidak saja dijadikan ruang untuk permainan gebuk-gebukan oleh Anggy, tapi juga area bercerita dan juga tempat berdakwah. 3 begitu asyik dalam merangkai plot, Anggy manfaatkan segalanya dengan baik, termasuk bagaimana dia menyiapkan tiap intrik dan konfliknya untuk pada akhirnya membuat jalinan cerita yang bergulir kian memikat dan mencengkram.

6. Toba Dreams

Walaupun plot Toba Dreams serasa penuh sesak dengan banyaknya hal yang ingin diceritakan, mulai dari konflik Ronggur dan Bapaknya, kisah romansa yang pelik antara Ronggur dan kekasihnya, hingga nantinya kita diseret masuk untuk melihat Ronggur menggapai ambisinya. Dengan durasi sekitar 140-an menit, kita tidak seperti orang yang ditodong pistol di kepala dan dipaksa duduk hingga film selesai, karena untungnya Benni masih mampu membagi porsi ceritanya sesuai dengan prioritas, mana yang harus didahulukan dan mana yang tak perlu cerita panjang lebar. Gaya Benni dalam bercerita inilah yang nantinya membuat Toba Dreams begitu menyenangkan tanpa saya merasakan bosan sedikitpun.

5. Filosofi Kopi

Angga Dwimas Sasongko adalah pencerita yang baik, setelah Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) dan Hari Untuk Amanda (2010), kehandalannya bercerita kembali dibuktikan di Filosofi Kopi. 117 menit durasi film pun jadi tidak terasa karena saya begitu menikmati presentasi cerita yang disampaikan oleh Angga di Filosofi Kopi. Film ini tak hanya sedap ditonton mata, tapi juga meresap nikmat dirasakan oleh hati, racikan Angga tidak hanya membuat filmnya enak ditonton, tetapi mengajak saya ikut terhubung dengan filmnya.

4. Guru Bangsa Tjokroaminoto

Menonton Guru Bangsa Tjokroaminoto tak ubahnya memasuki mesin penjelajah waktu, kita seperti benar-benar diajak ke masa lalu. Garin Nugroho begitu piawai dalam menata visual, termasuk kala membangun setting dengan hasil akhir yang tampil meyakinkan. Saya tak sekedar menatap layar, tapi berasa berdiri di jaman dimana Tuan Tjokro hidup, Garin memang apik untuk urusan detil, dari busana yang dipakai para pemainnya hingga tata produksi yang nantinya memperindah dan memperkaya visual di film ini. Selain ceritanya, alasan saya pergi ke bioskop untuk menonton filmnya Garin adalah menikmati pengalaman sinematiknya, dan Guru Bangsa Tjokroaminoto telah memberikan kenikmatan tersebut. Sedap!

3. Siti

Tiap adegan di Siti digulirkan begitu sederhana, dari gambar sampai ke obrolan-obrolan yang nantinya mengisi, memenuhi 90-an menit durasinya, menampilkan karakter-karakter yang membumi dan juga manusiawi. Seperti setting-nya yang apa adanya, dialog dan tuturnya pun disampaikan Eddie Cahyono tanpa terkesan “ditambal”, tidak ada drama yang dibuat-buat atau emosi yang dilebih-lebihkan. Makanya saya seperti tidak diseret-seret paksa untuk peduli pada nasib malang yang menimpa Siti, sebaliknya dibuat perlahan-lahan menghampiri.

2. A Copy of My Mind

Film romansa sederhana yang membuai mata sekaligus menaklukkan hati. Tak sekedar sodorkan adegan mesra yang terpandang manis dan terbingkai indah, tetapi juga hadirkan chemistry yang “seksi” antara Tara Basro dan Chico Jerikho. Dipertemukan oleh DVD bajakan yang terjemahan Bahasa Indonesia-nya hancur, sejak awal saya sudah dibuat terpikat oleh karakter Sari dan Alex, sekaligus juga peduli pada hubungan keduanya yang terbangun apa adanya. A Copy of My Mind begitu mempesona, begitu mudah untuk jatuh cinta pada film ini.

1. Mencari Hilal

Kesederhanaan tidak saja terlihat dari apa yang ditampilkan tapi juga dari apa yang kita dengar, ketika karakter-karakternya sedang mengucapkan dialognya, Mencari Hilal tidak pernah terasa berat, dialog sederhana tapi kaya akan makna. Film ini hanya ingin penontonnya mudah untuk mengerti dengan apa yang terjadi, kenapa Mahmud dan Heli tidak akur atau kenapa Mahmud begitu bersikeras ingin lihat hilal, makanya dialog dibuat untuk gampang dimengerti, tak dipaksa untuk indah tapi berusaha untuk jujur apa adanya. Mungkin itulah kenapa Mencari Hilal sejak awal terasa begitu dekat, karena film ini juga bisa jujur pada penontonnya, termasuk ketika tampil jujur dalam mempotret wajah Islam di negeri ini.