Seingat saya “Sinister” memang lebih cocok disebut horor yang sukses membuat rasa tidak nyaman, ketimbang horor yang benar-benar menyeramkan. Walaupun Scott Derrickson saya akui tahu sekali caranya menakuti-nakuti, tetapi perasaan tidak menyenangkan lebih mendominasi daripada rasa takut. Well, bukan berarti “Sinister” adalah film horor yang gagal, hanya saja kelebihannya bukan menakuti tapi menciptakan ketidaknyamanan. Mengandalkan aksi-aksi kekerasan disertai gambar-gambar disturbing, Scott memiliki konsep yang menarik dengan filmnya, apalagi menambahkan mitos soal dedemit berjuluk Bughuul atau Lord Bagul si pelahap anak-anak, yang sekilas wujudnya mengingatkan Mick Thomson gitaris-nya Slipknot. Malangnya, “Sinister” punya nasib sama dengan “The Purge”, kedua film produksi Blumhouse tersebut punya sekuel yang ngawur, sekuel yang malah menghancurkan konsep yang sudah dibangun oleh predesesornya. Padahal Scott ikut dalam proses penulisan naskah “Sinister 2”, tapi dia seperti buang taik tepat ke kepala saya, lalu meludahi apa yang sudah dia buat sendiri di film pertama.

Dibuka dengan gaya yang sama dengan pendahulunya, bedanya kali ini tidak ada aksi gantung di pohon tapi sebuah keluarga yang dibakar di kebun jagung. Lewat footage sadis nan menggiurkan tersebut, saya membayangkan “Sinister 2” bakal berlanjut mengasyikkan dengan mengusung tema “tak nyaman” yang diwariskan film pertama. 10 menit awal, saya benar-benar mencoba berpikiran positif kalau “Sinister 2” tidaklah seburuk kata orang-orang yang sudah menonton, sayangnya kegelisahan saya di paruh pertama berkata sebaliknya, Ciaran Foy ternyata telah menghancurkan ekspektasi saya. Walaupun “Sinister 2” tetap mempertontonkan gambar-gambar disturbing yang dikemas ala rekaman dari kamera Super 8, yang kali ini diberi judul Fishing Trip, Kitchen Remodeling, Christmas Morning dan juga Dentist yang menampilkan adegan seorang pria yang mulutnya hancur oleh bor. Tapi kumpulan footage sadistik tersebut hanya akan menjadi pelipur lara sesaat, mengumpankan adegan-adegan yang tambah tidak bermoral saja tidaklah cukup untuk menutupi fakta bahwa “Sinister 2” begitu membosankan dan buang waktu.

Jika “Sinister” masih punya kesempatan untuk menakuti saya, sekuelnya tampak tidak punya keinginan sama sekali untuk memberikan rasa takut. Saya duduk di bangku bioskop bertuliskan G 12 berharap dibuat ketakutan, tapi sampai durasi 97 menit itu habis, Ciaran Foy malah membuat denyut jantung saya menganggur dan mata saya terpejam justru bukan karena takut, tetapi mengantuk. Ciaran Foy boleh saja tahu caranya mengesekusi adegan-adegan disturbing-nya untuk makin terlihat jahanam, tapi begitu tiba gilirannya untuk menakuti, sutradara “Citadel” tersebut terkesan tidak bisa apa-apa. Walaupun memiliki ide yang menjanjikan, sayangnya dalam urusan mengesekusi, “Sinister 2” terbilang payah, malas, lemah dan tidak kreatif. Daya tarik horornya benar-benar lenyap, bahkan kehadiran si Bughuul alias Mick Thomson hanya dimanfaatkan untuk jump scarejump scare tak efektif dan murahan. Kehadiran Bughuul tak lebih dari sekedar maskot, yang muncul sebentar untuk ikut meramaikan agar film ini masih bisa disebut dengan judul “Sinister 2”, bukannya installment kesembilan dari “Children of the Corn”.

Ketimbang sekuel, “Sinister 2” malah tampak terlihat seperti potongan-potongan dari film pertama yang sayang untuk dibuang, kumpulan deleted scene yang jadi film utuh lagi setelah disambung-sambung dan diberi judul. Film horor yang tak saja membuang waktu dan membosankan, tapi juga memiliki karakter yang tidak pernah membuat saya peduli sejak awal, berharap mereka cepat-cepat dimakan oleh Bughuul, supaya saya bisa pulang dan melupakan pernah menonton film ini. Hampir tertidur pulas, satu-satunya yang dapat menghibur saya hanyalah scene-scene sadis yang memperlihatkan anak-anak sedang asyik menghabisi keluarga mereka dengan cara-cara yang “manis”. Mengikuti jejak predesesornya, gambar-gambar sadistik tersebut pun diiringi scoring keren hasil gubahan Tomandandy. Walaupun harus diakui kreasi Christopher Young di film pertama lebih memiliki kemampuan untuk membuat saya merasa uring-uringan tak nyaman. “Sinister 2” memang seharusnya tidak perlu dibuat, sebuah proyek horor aji mumpung yang potensinya hanya sebatas untuk mengeruk dolar lebih banyak.