Saya setuju ketika Roger Ebert bilang Guillermo del Toro adalah master of dark atmosphere dalam ulasannya mengenai ‘The Devil’s Backbone’. Film pendek yang dibuat del Toro pada tahun 1987, yang berjudul ‘Geometría’ sudah menunjukkan kemahirannya menciptakan nuansa gelap tersebut. Bahkan di ‘Pacific Rim’ saya bisa melihat gaya khasnya menyemplungkan rasa kelam itu diantara kemegahan visual warna-warni, dibalik serunya pertarungan Jaeger vs. Kaiju. Tapi kegelapan yang ditawarkan oleh del Toro akan benar-benar terasa ketika kita menginjakan kaki di film-film bertemakan alam fantasi,seperti ‘Pan’s Labyrinth’, film dongeng sebelum tidur yang berlumur cerita dan gambar kelam. Melompat balik ke 2001, lewat ‘The Devil’s Backbone’ del Toro tak saja memperlihatkan kalau dia master-nya untuk urusan menghembuskan hawa gelap, tetapi juga membuktikan dalam setiap filmnya del Toro adalah pendongeng yang hebat, khususnya film-film yang punya aroma fairy tale. Keterampilan del Toro dalam mengolah kegelapan bukan hanya terpajang lewat visualnya saja, rasa kelam dan gelap juga seperti meresap masuk dalam tiap bagian ceritanya. Jika ada orang yang bisa membuat kegelapan jadi cantik dan mimpi buruk menjadi indah, orang itu adalah Guillermo del Toro.

Kehebatan del Toro juga terletak pada bagaimana dia memperlakukan karakter-karakter dalam filmnya, membuat mereka tidak saja dipedulikan oleh penonton tapi juga begitu penting dalam cerita, walaupun karakter tersebut hanya punya porsi tampil kurang dari 5 adegan. Jadi di film del Toro tak ada itu yang namanya karakter sekedar numpang lewat, del Toro begitu amat peduli dengan karakter di filmnya karena melalui karakternyalah dia menyampaikan kisah-kisahnya ke penonton, bahkan untuk film komersil macam ‘Hellboy’ dan ‘Blade II’. Menonton ‘The Devil’s Backbone’ kembali mempertegas treatment del Toro pada karakter-karakter di filmnya, tak hanya karakter berwujud manusia tapi juga hantu, tiap karakternya punya ceritanya masing-masing. Jika film horor kebanyakan selalu memiliki motif yang sama, yaitu memanfaatkan si hantu untuk sekedar menakuti atau mengejutkan penontonnya saja, ‘The Devil’s Backbone’ membuat karakter si hantu jadi lebih punya tujuan daripada sekedar tampil tiba-tiba untuk membuat penontonnya shock. ‘The Devil’s Backbone’ memanusiawikan si hantu, perlakuan terhadap karakternya inilah yang membuat kita lebih peduli pada mereka.

Ada hantu, tetapi ‘The Devil’s Backbone’ seperti membuat hantunya lebih banyak menganggur ketimbang dibiarkan muncul untuk menakut-nakuti.Well, justru ini yang diinginkan del Toro sejak awal, dark atmosphere-nya bekerja dengan sangat baik hingga si hantu tidak perlu sering-sering “jreng-jreng-jreng” nongol selayar. Suasana panti asuhan dan ruangan-ruangan gelapnya sudah lebih dulu membuat saya merinding, kehadiran sosok arwah penasaran berwujud anak kecil nantinya cukup menambah ke-creepy-an ‘The Devil’s Backbone’. Walau begitu, rasa seram yang ditimbulkan film ini bukan hanya tercipta dari tiap kemunculan hantu anak kecil, tapi juga datang dari sisi tergelap manusia. Ber-setting di Spanyol pada saat perang saudara sedang berkecamuk, panti asuhan yang dijalankan oleh Casares (Federico Luppi) dan Carmen (Marisa Paredes) ini nantinya tidak saja memiliki kisah hantu tapi juga memaparkan dampak sebuah perang kepada hati manusia. ‘The Devil’s Backbone’ tetap akan mengajak kita main-main di dunia gaib, tetapi horor yang sesungguhnya justru diperlihatkan del Toro lewat kelakuan manusia yang berubah jahat ketika hatinya sudah teracuni obsesi dan rusak oleh nafsu.

‘The Devil’s Backbone’ akan dibubuhi simbol dan komentar del Toro soal perang, tersembunyi dengan rapih dalam balutan kisah yang akan membuat saya duduk tak bergeming, hingga nantinya credit bergulir tanda film usai. Seperti yang saya singgung di paragraf awal, del Toro adalah pendongeng hebat yang tak saja bisa menuturkan cerita dengan amat menarik tapi juga mampu menggerakkan emosi penontonnya. ‘The Devil’s Backbone’ bukan sekedar tawari ketegangan, seperti pada saat Carlos (Fernando Tielve) ditantang untuk mengambil air ke dapur lalu bertemu dengan si arwah penasaran. Guillermo del Toro menawarkan lebih dari hanya sebuah film horor dengan cerita hantunya, karena apa yang ditonjolkan di ‘The Devil’s Backbone’ adalah karakter yang dibekali dramanya masing-masing, salah-satunya adalah si arwah penasaran penghuni ruangan di bawah dapur itu.Human drama di ‘The Devil’s Backbone’ inilah yang kemudian tidak saja sanggup mempermainkan emosi saya sebagai penonton, tetapi yang mengikat saya sejak awal, membaur jadi satu dengan sajian horornya. Didukung visual berhawa dark yang ditampilkan begitu puitis layaknya puisi Dr. Casares, The Devil’s Backbone’ tak saja jadi salah-satu film terbaik Guillermo del Toro tapi juga pantas disebut salah-satu film horor terbaik sepanjang masa.