Orang lain mungkin boleh lupa dengan nama Chiska Doppert, tapi saya menolak untuk melupakan sutradara yang dulu sempat dikira “klonengan”-nya Nayato ini, alasannya jelas, karena Chiska salah-satu sutradara yang berjasa membuat horor lokal kita jadi terlihat hina. Walaupun tidak sebusuk horor-horor ciptaan para master, seperti KKD atau Nayato, dan tak semesum film-filmnya Findo Purwono, tetap saja film-film horornya Chiska macam “Tumbal Jailangkung” dan “Ada Apa Dengan Pocong?” berbagi dosa yang sama, membuat sinema horor Indonesia jadi bahan tertawaan saja. Memang tidak sepenuhnya kesalahan Chiska, mereka yang duduk di bangku produser pun harusnya diseret untuk ikut memikul dosa besar, karena apa yang mereka jual tak lebih dari kotoran yang diberi judul film horor. Untungnya, dari tahun ke tahun jumlah film horor berlabel kacrut bisa dikatakan berkurang, apalagi Nayato tidak seproduktif dulu, bahkan KKD sudah tobat dari membuat horor hantu bubur basi. Iyah berkurang tapi tak hilang, tiap tahunnya memang masih ada saja judul-judul film horor “ajaib” muncul berseliweran, well tahun ini ada “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan” dan “Tes Nyali”, kedua film ini sama-sama lempar tahi ke wajah sinema horor Indonesia, tahi yang besar.

Saya orangnya bisa dibilang selalu (mungkin terlalu) berpikir positif setiap ingin menonton film, walaupun tahu film itu akan seburuk “Kastil Tua”. Beranggapan Chiska sudah belajar banyak dari kesalahannya di film-film horor terdahulu dan memperbaikinya di film ini. Tapi kenyataannya, “Kastil Tua” hanya produk horor yang gagal, dengan formula kadaluarsa yang biasa dipakai Chiska di film-filmnya. Ungkapan “jangan menilai buku dari cover-nya” tidak berlaku untuk “Kastil Tua”, karena apa yang nantinya disodorkan oleh film hasil kerjasama antara Malaysia dan Indonesia ini, memang seburuk apa yang ditampilkan oleh poster dan trailer. Oke, “Kastil Tua” tidak menjejalkan kita dengan seribu penampakan tiap 5 menit sekali dan tidak mempertontonkan adegan-adegan mesum ala film horor berlogo piramida, tapi apakah kemudian membuat film yang dibintangi Kimberly Ryder dan Ajun Perwira ini bisa dicap horor yang bener? Well, sayangnya “Kastil Tua” sama bersalahnya dengan film-film horor berotak undur-undur, kenapa? Karena cara film ini memperlakukan penontonnya, menganggap penontonnya makhluk bodoh tidak berakal dan tidak punya pikiran. “Kastil Tua” menghina kecerdasan penontonnya, menontonnya sama saja menyebut diri sendiri orang bodoh.

Saya menghargai usaha “Kastil Tua” untuk menakuti, penampakannya tidak asal tampak seperti film-film horor Indonesia kebanyakan yang tiap beberapa menit sekali memunculkan hantu. Tampilan hantunya juga bisa dikatakan sedikit lebih baik ketimbang film horor yang hanya bermodalkan hantu dempulan bedak bayi dan krayon anak TK. Sayangnya kedua nilai plus tersebut harus segera mengalah ketika “Kastil Tua” tidak bisa meyakini kalau saya sedang menonton sebuah film horor bukannya komedi. Secepat “Kastil Tua” memperlihatkan sosok hantu yang akan menggentayangi Ajun Perwira dan kawan-kawannya, tak butuh waktu lama juga bagi saya untuk terganggu dengan trik-trik menakuti yang sudah usang. Ya, Chiska sudah sering memakai trik “colek dan pergi”, trik andalan yang juga selalu dihadirkan oleh Nayato. Saya akan maklumi jika film ini hanya menyisipkan satu atau dua trik tersebut, tapi sayangnya saya harus banyak bersabar dan mengelus dada sambil istighfar berkali-kali, karena film ini tetap saja memberikan kita trik usang yang sama berulang-ulang dan tidak tahu kapan saatnya harus berhenti. “Kastil Tua” tahu bagaimana membuat penontonnya jadi cepat kena stroke. Fiuh!

Kastil segede gaban hanya akan jadi area bermain petak-umpet antara karakter-karakternya yang super konyol, dengan para hantu yang sejak awal terkesan tak niat untuk menakut-nakuti. Tidak seramnya “Kastil Tua” tidak sepenuhnya salah para hantunya, akting Kimberly Ryder dan teman-temannya pun sepatutnya ikut disalahkan, karena mereka tidak bisa memberikan rasa yakin kepada penonton kalau mereka sedang ketakutan melihat hantu, atau sedang kebingungan karena tidak bisa keluar dari kastil. Para pemainnya memang bisa berteriak-teriak, tapi rasa takut tersebut tidak pernah benar-benar sampai ke bangku penonton, teriak hanya sekedar numpang teriak lalu lari-larian lagi, begitu seterusnya. Bukannya ikut ketakutan, saya justru ngos-ngosan kelelahan melihat karakter-karakternya yang menggelikan “dipaksa” untuk berlarian kesana kemari. Rasa lelah semakin bertambah ketika saya juga harus berurusan dengan logika di “Kastil Tua”, saya tahu film horor memang kadang kala tidak masuk akal dan tidak perlu dipikirkan letak kelogisannya. Tetapi “Kastil Tua” tidak hanya menyepelekan soal logis atau tidak logis, filmnya sejak awal memang tidak mau susah, semua digampangkan, termasuk urusan logika, seakan menganggap penontonnya tidak punya otak.