Arian ternyata jadi bandar narkoba, sedangkan Agni malah jadi supir taksi, lalu kemana Alde? Hahahaha! Kehadiran Vino G Bastian dan Ramon Y Tungka dalam satu layar mengajak saya untuk nostalgia sejenak, kurang Marcel Chandrawinata saja nih kalau tidak lengkap sudah reunian geng A3. Well, saya tidak perlu bilang kan film apa yang saya maksud, tapi saya perlu untuk mengatakan jika saya pada akhirnya bisa dibuat kagum lagi oleh seorang Benni Setiawan. “Toba Dreams” ini seperti sebuah “penebus dosa” dan sebuah pembuktian jika Benni bisa membuat film bagus lagi. “Love and Faith” yang rilis Maret lalu sebetulnya sudah lebih dulu memberitahu saya kalau Benni sepertinya ingin berubah. Pembuktiannya tidak perlu menunggu waktu lama, kurang dari dua bulan ternyata saya melihat kalau Benni memang serius mau merubah cara dia membuat film. “Toba Dreams” tidak saja jadi ajang pembuktian untuk Benni, tapi juga memperlihatkan kalau di tahun ini kita tak kekurangan film-film hebat. Walaupun amat disayangkan, kita masih tetap kehilangan penonton film Indonesia yang jumlahnya kian berkurang.

Dengan rasa Batak-nya yang kental, tak menjadikan “Toba Dreams” hanya untuk jadi santapan orang Batak saja, saya yang orang Sunda inipun pada akhirnya bisa menikmati apa yang disajikan oleh Benni. Karena sejak awal Benni tidak hanya tahu formula apa yang ingin dia pakai tapi juga tahu bahan-bahan yang bisa atau tidak bisa masuk ke dalam adonan ceritanya. Konflik utamanya pun sebetulnya bisa sangat mudah terhubung dengan penontonnya, apalagi untuk mereka yang pernah berselisih paham dengan orang tua, khususnya Bapak. Apa yang nantinya membuat “Toba Dreams” serasa begitu dekat, karena memang film ini mencoba menghadirkan isu-isu yang tidak jauh-jauh dari kehidupan di sekeliling kita. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama ini melakukan apa yang tidak bisa film bertema serupa lakukan, yaitu membuat penontonnya serasa tidak asing dengan apa yang mereka tonton. Bukannya menjauh dan terasing, “Toba Dreams” justru berusaha untuk membuat kita jadi lebih dekat selagi film tengah menghabiskan durasinya. “Toba Dreams” tidak membiarkan penontonnya duduk sendirian tapi menghampiri mereka sejak film dimulai dan mengajak mereka ngobrol.

“Toba Dreams” peduli pada penontonnya, tidak hanya membawa isu dan konflik yang serasa dekat dengan kita saja, tapi bagaimana cara menyampaikannya pada mereka yang sedang duduk menatapi Mathias Muchus dan keluarganya. Tanpa nantinya terkesan memaksa kita untuk balik peduli, “Toba Dreams” lebih dahulu mengajak kita untuk berkenalan dengan keluarga Sersan Tebe, membiarkan saya untuk mengenal satu-persatu anggota keluarganya, dari anaknya, Ronggur yang pemberontak sampai Bapaknya yang sama-sama kerasnya. Kehangatan keluarga Sersan Tebe dengan segala ketidaksempurnaan dan konfliknya inilah yang nanti jadi modal besar film ini dalam menjalin ikatan batin yang kuat, antara saya dan film. Benni Setiawan pun tak tergesa-gesa menjejalkan saya konflik bertubi-tubi, tapi malahan memberikan kita banyak waktu untuk lebih jauh mengenal masing-masing karakternya, sambil pelan-pelan memasukkan konflik dan subplot yang sudah disiapkan. Ketika saya sudah seperti jadi bagian dari keluarga Sersan Tebe maka mudahlah bagi Benni untuk membuat saya juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Sersan Tebe sekeluarga, mereka terluka saya pun terluka.

Walaupun plot “Toba Dreams” serasa penuh sesak dengan banyaknya hal yang ingin diceritakan, mulai dari konflik Ronggur dan Bapaknya, kisah romansa yang pelik antara Ronggur dan kekasihnya, hingga nantinya kita diseret masuk untuk melihat Ronggur menggapai ambisinya. Dengan durasi sekitar 140-an menit, kita tidak seperti orang yang ditodong pistol di kepala dan dipaksa duduk hingga film selesai, karena untungnya Benni masih mampu membagi porsi ceritanya sesuai dengan prioritas, mana yang harus didahulukan dan mana yang tak perlu cerita panjang lebar. Gaya Benni dalam bercerita inilah yang nantinya membuat “Toba Dreams” begitu menyenangkan tanpa saya merasakan bosan sedikitpun. Diakui, Benni kali ini mampu memaksimalkan tidak hanya dalam urusan esekusi cerita dari materi yang lebih solid, tapi juga mengarahkan para pemainnya untuk main sebagus-bagusnya. Kekuatan besar “Toba Dreams” memang amat terasa saat kita melihat Vino G Bastian, Mathias Muchus dan pemain lainnya berakting, hasilnya bisa terlihat pada karakter-karakter yang mereka mainkan, begitu bernyawa dan dengan mudahnya membuat saya peduli dengan nasib mereka, termasuk Togar yang diperankan Boris Bokir. Seindah “Toba Dreams” dalam menangkap lanskap Sumatera Utara, indah pula akting yang diperlihatkan para pemain di film ini.