Kekacauan di tengah kota akibat zombie outbreak mungkin sudah biasa, banyak film bertema zombie-zombie-an yang sudah melakukan itu, “World War Z” salah-satu contohnya. Sesuai dengan judulnya “Goal of the Dead”, film zombie Perancis ini ingin melakukan sesuatu yang agak berbeda, dengan memindahkan outbreak pecah pertama kalinya di tengah pertandingan sepakbola, premis yang menarik. Tidak usah pakai zombie outbreak saja, pertandingan sepakbola kadang berakhir dengan kerusuhan, apalagi jika berbicara soal sepakbola di Indonesia. Tawuran antar suporter sudah jadi hal yang tidak mengejutkan lagi, bisa dikatakan tradisi yang sudah mendarah-daging. Chaos di sepakbola tersebutlah yang oleh “Goal of the Dead” nantinya bakal dilipatgandakan dosisnya, lengkap dengan kemeriahan yang biasa terjadi di film-film zombie—kepala hancur berantakan, kepala putus, kepala terbang dan lain sebagainya. “Goal of the Dead” tampaknya semacam jadi pelepas rasa kangen saya yang lama tak dihibur oleh film zombie yang tidak saja menyodorkan gore-gore-an, tapi juga dikerjakan dengan sangat serius.

Keseriusan “Goal of the Dead” mengingatkan saya pada “La Horde” (2009), yang sama-sama asal Perancis dan disutradarai oleh Benjamin Rocher. Untuk urusan mengembangkan cerita dari premisnya yang cukup menarik, “Goal of the Dead” memang tampak kewalahan dan tidak fokus dengan apa yang ingin diceritakan. Untungnya untuk film yang punya durasi 120 menit—yup saya tidak salah tulis, durasinya memang agak panjang ketimbang film horor sejenis—saya tidak cepat bosan karena “Goal of the Dead” tahu bagaimana menyajikan film zombie dengan cara yang benar dan ini yang lebih penting…menyenangkan. Jadi saya kemudian bisa melupakan ceritanya dan move on dengan segala kegilaan yang bakal film ini tawarkan selama dua jam lebih. “Goal of the Dead” benar-benar mengerti harus apa dan bagaimana ketika berurusan dengan kata “gila”, tidak saja dalam urusan mendesain zombie-zombie-nya agar tampak seperti anjing rabies, tapi juga ketika Benjamin Rocher dan Thierry Poiraud mampu menjabarkan kata “gila” tersebut menjadi aksi gila-gilaan yang saking kacaunya justru mengasyikkan.

Letak keseriusan “Goal of the Dead” ada pada penggarapannya, lebih spesifik lagi bagaimana kegilaan di film ini digarap. Tidak asal membuat kekacauan, tapi bisa dibilang kekacauan yang terkonsep dengan baik. Seperti “La Horde”, film ini juga memiliki zombie-zombie yang didesain diluar batas kewajaran, brutal sekaligus juga mengerikan. Didukung make up serta efek visual yang tidak kacangan, yang memang jadi keunggulan dari “Goal of the Dead”, kita bakal dibuat puas saat film ini menghadirkan aksi-aksi berdarah nan gory karena terlihat meyakinkan. Saya paling suka cara film ini dalam menyebarkan kegilaan, jika kebanyakan film-film zombie pakai cara konvensional dengan gigit-menggigit untuk membuat manusia jadi mayat hidup, “Goal of the Dead” punya cara uniknya sendiri. Jadi penyebaran virus hanya membutuhkan muntah, mereka yang sudah jadi zombie akan muntah seenaknya di wajah mereka yang belum terinfeksi. Muntahan yang mirip adukan susu basi dicampur kuah seblak tersebut nantinya menginfeksi hampir seluruh warga kota kecil ‘Caplongue’, merubah mereka jadi zombie yang buas.

Pertandingan sepakbola yang dijadwalkan berlangsung antara Caplongue selaku tim tuan rumah melawan Paris Olympic pun menjelma jadi arena pembantaian. Lapangan yang tadinya berwarna hijau menyegarkan seketika berubah menjadi merah karena terguyur tumpahan darah, bercampur dengan daging orang yang berserakan dan bekas muntah menjijikan dimana-dimana. Tidak ada lagi pemain yang berlarian mengejar bola untuk mencetal gol, lapangan justru penuh dengan zombie buas yang lari kesana-kemari mencari korban untuk dimuntahin. “Goal of the Dead” jelas tahu bagaimana cara menghadirkan sebuah kekacauan yang epik, seperti menonton pertandingan sepakbola, saya nantinya tidak hanya berteriak-teriak kegirangan tapi juga dibuat tertawa ngakak di bagian-bagian yang sengaja dibumbui oleh komedi. Untuk tema zom-com, “Goal of the Dead” memang diakui terlalu memakan durasi, harusnya cukup dengan 2×45 menit saja dan tidak perlu sampai perpanjangan waktu 2×15 menit. Beberapa bagian cerita sebetulnya bisa dipotong dan dibuang untuk mempersingkat durasi dan membuat film ini lebih fokus untuk menampilkan lebih banyak aksi-aksi zombie di lapangan sepakbola.