Jika 4 tahun lalu, Irham Acho Bahtiar mengajak saya berpetualang ke belantara hutan Papua Selatan sana lewat “Lost in Papua”, kali ini “Epen Cupen: The Movie” ajak kita balik ke Papua, tepatnya ke kota Jayapura yang tak kalah indah dengan Rio de Janeiro di Brazil—berlokasi sama-sama di tepian laut pula. Seperti juga di film sebelumnya, Acho tak hanya memperkenalkan kita lanskap semata tapi ikut mengajak kita untuk kenal dengan budaya Papua, khususnya lawakan dan cerita lucu khas Papua atau yang biasa disebut mop. “Epen Cupen: The Movie” sendiri diadaptasi dari sebuah web series berjudul sama yang menampilkan mop Papua dalam bentuk sketsa-sketsa berdurasi pendek. Oleh Acho, lawakan asli Papua ini nantinya digabungkan dengan lawakan ala stand up comedy, menyatukan komedi lokal dengan komedi khas para comic (sebutan untuk pelakon stand up comedy) jelas bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bagi penonton yang belum terbiasa dengan mop Papua. Untungnya, “Epen Cupen: The Movie” pintar memilih pemain utamanya, duo Klemens Awi dan Babe Cabiita tak saja lucu secara individu tapi juga membuktikan jika kekompakan mereka bisa membuat stand up comedy dan mop Papua bisa berjalan bergandengan tanpa ingin saling sikut.

“Epen Cupen: The Movie” juga membuktikan, tidak perlu keroyokan untuk bikin film komedi, karena biasanya film komedi kita tidak percaya diri dan beraninya main keroyok—mungkin karena takut tidak lucu. Bermodal Babe dan Klemens yang nantinya berperan sebagai Celo, Acho bisa dikatakan mampu dalam urusan memaksimalkan kelucuan mereka berdua hanya lewat dialog yang seakan-akan terlempar dengan spontan. Dialog antara Babe dan Klemens inilah yang nantinya jadi senjata utama “Epen Cupen: The Movie” dalam menghadirkan humor-humor yang menggelitik. Dialog-dialog kocak tersebut tak saja dibuat untuk tujuannya membuat kita tertawa, tapi menciptakan kekompakan antara karakternya. Jadi ketika disatukan dalam satu frame, Babe dan Klemens tidak lucu sendiri-sendiri tapi oleh Acho “dipaksa” untuk lucu berdua. Chemistry antara Babe dan Klemens yang klop inilah yang membuat saya semakin betah menonton “Epen Cupen: The Movie”, terutama di paruh pertamanya dimana mereka berdua tak ada habisnya saling melempar lawakan dan adu bacotan lucu. Jarang-jarang film komedi lokal kita punya duet yang sebaik Babe dan Klemens, didukung juga oleh dialog-dialog lucunya yang terdengar tidak dibuat-dibuat tapi justru mengalir spontan.

Dipadukan dengan action ala “Comic 8”, kelucuan “Epen Cupen: The Movie” saya akui memang makin pudar begitu melompat ke paruh keduanya, apalagi ketika porsi tampil Babe dan Klemens harus rela dibagi-bagi dengan hadirnya karakter pendukung lainnya, belum lagi harus berdesakan dengan adegan-adegan aksinya yang sudah mengantri menunggu untuk disodorkan ke penonton. Melihat Babe dan Klemens terlibat kejar-kejaran pakai bajaj memang seru, menonton aksi-aksi “medan perang”-nya yang jedar-jedor juga menambah kehebohan “Epen Cupen: The Movie”, tapi saya secara pribadi lebih menunggu aksi-aksi lawakan Klemens dengan mop Papua dan Babe Cabiita dengan komedi stand up-nya, seperti awal-awal film. “Epen Cupen: The Movie” memang punya beberapa adegan yang bikin ketawa di pertengahan menuju akhir, tapi saya sudah terlalu lelah dijejali adegan action (berbalut komedi) yang kalau boleh jujur tampak kadaluarsa dan semakin membosankan. Saya masih bisa tertawa di paruh kedua, tapi sayangnya memang tak sekencang di paruh pertama sewaktu “Epen Cupen: The Movie” mengenalkan kita dengan Celo dan Babe yang saling beradu “siapa yang paling lucu”.

Sudah lama saya tidak ngakak sekencang itu menonton film komedi Indonesia, di “Epen Cupen: The Movie” saya akhirnya bisa tertawa keras. Selera komedi Acho bisa dikatakan cocok dengan saya, bahkan sejak di “Lost in Papua” saya memang sudah menyukai cara Acho melawak lewat filmnya. Komedi ala Acho itu terlihat apa adanya dan cenderung terdengar seperti celetukan-celetukan spontan yang tidak dibuat-dibuat. Formula komedi itulah yang dibawa kembali oleh sutradara kelahiran Papua ini di “Epen Cupen: The Movie”, dan terbukti formulanya sukses membuat saya tertawa (lagi). Celotehan kocak dari Babe dan Klemens ternyata mampu menggelitik, sebetulnya disuruh diam pun saya yakin Babe dan Klemens itu tetap kocak. Sayang “Epen Cupen: The Movie” tak punya cukup kepercayaan diri kepada Babe dan Klemens jika harus ditampilkan terus-menerus bermodal dialog-dialog saja, makanya mereka kemudian ditempatkan pada situasi kacau-balau dan aksi-aksi lebay agar bisa memancing lebih banyak tawa. Pada bagian action inilah “Epen Cupen: The Movie” kehilangan sebagian kelucuan yang sudah dibangun sejak paruh pertama. Hadirnya Babe dan Klemens kemudian bagaikan duo superhero yang menyelamatkan film ini dari kegaringan total.