Akhirnya ada yang mau mengajak tuyul main di film horor, tatkala sinema horor kita penuh sesak dengan penampakan hantu yang itu-itu saja, antara kuntilanak dan pocong, atau menggabungkan keduanya. Padahal saya pikir Indonesia punya daftar antrian untuk hantu-hantu yang jarang diangkat ke layar lebar, misalnya saja leak, yang sepengetahuan saya baru sekali diekspos film horor lokal di 2007 dengan Aldiansyah Taher dan Nadia Vega jadi bintangnya. Well, tuyul sebetulnya bukannya tidak pernah wara-wiri di film horor kita, dulu kita pernah punya film bertemakan para hantu yang gemar mencuri uang ini. Sebut saja ‘Tuyul’ arahan Bay Isbahi yang dibuat tahun 1978, ada juga ‘Tuyul Perempuan’ (1979) dimana S. Bagio, Darto Helm dan Titiek Puspa berperan sebagai tuyul, tidak ketinggalan ‘Tuyul Eee Ketemu Lagi’ (1979) arahan Lilik Sudjio yang diperankan oleh Ateng sebagai tuyul putih dan Iskak sebagai tuyul hitam—tuyul disini punya markas di dalam sebuah televisi. Sedangkan di film-film horor sekarang, peran tuyul makin kerdil porsinya, hanya sekedar numpang lewat jadi tim hore. Nah, tuyul di film kita pun biasanya penampakannya mengikuti template yang sudah ada, malahan kebanyakan sosoknya menggemaskan ketimbang menyeramkan.

“Tuyul Part 1” tampaknya akan merubah image kita selama ini terhadap dedemit asli Indonesia yang biasanya digambarkan berbentuk mini dan botak ini. Apalagi yang dulu suka menonton sinetron ‘Tuyul dan Mbak Yul’, sepertinya harus sudah melupakan sosok tuyul-nya Ony Syahrial, karena di “Tuyul Part 1” tuyul berubah jadi mahkluk yang menakutkan, bukan lagi bahan becandaan. Saya akui tampilan baru tuyul inilah magnet kuat di “Tuyul Part 1”, desainnya seperti percampuran antara ‘Bayi Ajaib’ (1982) dengan goblin penghuni Misty Mountains dari film ‘The Hobbit: An Unexpected Journey’ (2012), atau (mungkin) Gollum yang sudah kena radiasi nuklir seperti manusia mutan di The Hills Have Eyes (2006). Apapun dan darimana pun hasil referensinya, “Tuyul Part 1” menurut saya telah menciptakan sebuah mimpi buruk yang baru, terima kasih pada tuyul yang sekarang sudah di-make over jadi mahkluk yang jauh dari kata menggemaskan. Selain desain tuyul, “Tuyul Part 1” punya satu hal lagi yang membuat saya tertarik, konsep dunianya sendiri, dunia pertuyulan yang oleh Billy Christian dan kawan-kawan coba untuk dibahas secara lebih dalam lagi. Sampai-sampai saking dalamnya, pemaparannya membutuhkan total tiga film, itulah kenapa ada embel-embel part di judulnya.

Sebagai bagian dari sebuah trilogi, “Tuyul Part 1” nantinya tidak akan buru-buru mengekspos keseluruhan misteri dan pemaparan lengkap soal dunia pertuyulan, babak pertama ini bisa dikatakan pondasinya. Makanya tak heran jika di “Tuyul Part 1” ini Luvie Melati, Billy Christian dan Gandhi Fernando sengaja kompakan menjejalkan segala pertanyaan dalam skrip yang mereka tulis secara keroyokan, sambil menanamkan informasi seperlunya tentang dunia pertuyulan dan misteri dibalik keluarga Mia (Dinda Kanya Dewi). Yah, tujuannya agar penonton semakin dibuat penasaran setelah melahap 90-an menit durasi “Tuyul Part 1”. Sayangnya walaupun konsep dan desain yang berkaitan dengan tuyul sudah cukup matang dan membuat saya tertarik, “Tuyul Part 1” kemudian agak terburu-buru ketika ingin menjabarkan konsep tersebut ke penonton. Halaman demi halaman skrip pun kurang diesekusi dengan rapih, hasilnya kenikmatan menonton “Tuyul Part 1” memang jadi terganggu. Saya tidak bilang efeknya membuat keseluruhan film ini jadi jelek, hanya saja film horor juga membutuhkan cerita yang nyaman untuk diikuti dan “Tuyul Part 1” tak sepenuhnya memberikan kenyamanan itu.

Kesampingkan soal jahitan ceritanya, setidaknya “Tuyul Part 1” disokong desain produksi yang mumpuni agar nantinya makin menambah kesan mistik sekaligus ikut mendampingi Billy dalam usahanya membangun atmosfir kelam, misterius dan juga horor. Untuk skala film horor lokal yang biasanya tak peduli sama sekali soal artistik, “Tuyul Part 1” sebaliknya begitu serius memoles rumah dan isinya agar tidak terlalu fake ketika ditonton oleh penonton. Saya sebetulnya gampang ditakut-takuti, saya sering bilang saya penakut di review-review film horor yang saya tulis, tapi kali ini “Tuyul Part 1” tak bisa menyuruh saya menutup mata, well bukan berarti gagal total—kemungkinan saya memang tidak bisa ditakut-takuti dengan cara menakuti yang dilakukan oleh film ini. Lagipula ketimbang dibilang horor yang menyeramkan, menurut saya pribadi “Tuyul Part 1” lebih cocok jika disebut horor yang menegangkan. Pendekatannya pun bermain di area film-film thriller psikologis, dengan beberapa adegan yang memang diniatkan untuk bikin penontonnya stress seperti yang dialami oleh Mia. Kelebihan “Tuyul Part 1” pun amat terasa di bagian sinematografi dan scoring, keduanya bekerja sama saling dukung ikut membantu film ini dalam menciptakan ketegangan yang diinginkan.

Terlepas dari kekurangan “Tuyul Part 1”, termasuk dalam urusan menjahit cerita dan menyatukan adegan demi adegannya yang terkesan terburu-buru dan tidak rapih—sehingga ketegangan dan emosi yang diinginkan jadi tak maksimal ngena ke saya. Usaha “Tuyul Part 1” sepatutnya dihargai, walaupun ketika akting Dinda Kanya Dewi yang sudah habis-habisan itu, menghasilkan chemistry yang…sangat datar ketika ‘dipaksa’ dipasangkan dengan Gandhi Fernando, yang aktingnya tak begitu meyakinkan dan kaku sebagai seorang suami yang punya peranan krusial untuk mengintimidasi tak hanya lawan mainnya tapi juga penonton. Kekurangan “Tuyul Part 1” saya pikir bisa diperbaiki di babak berikutnya, di part kedua. Toh, film ini juga masih punya banyak hutang penjelasan, termasuk mengenai konsep dunia pertuyulannya dan rahasia kelam yang menyelimuti keluarga Mia. Seperti halnya “Kampung Zombie”, apa yang ditawarkan oleh “Tuyul Part 1” semestinya dihargai sekaligus didukung, apalagi jika kita memang peduli dengan nasib film horor lokal yang wajahnya selalu tercoreng oleh hadirnya film-film horor busuk. Setidaknya dua film horor tersebut tidak hanya mengangkat sesuatu yang jarang ada di sinema horor lokal—zombie dan tuyul—tapi juga dibekali usaha dan juga niat yang benar untuk membuat film horor yang layak ditonton.