Sejelek apapun reputasi horor lokal yang kerap identik dengan jualan pemain-pemain perempuan seksi, mengeksploitasi belahan dada dan mempertontonkan lebih banyak adegan mesum ketimbang horornya. Sebobrok apapun kualitasnya, horor tetap jadi pilihan kebanyakan penonton Indonesia ketika ditanya “nonton apa?” oleh Mbak penjual tiket. Pasang surut jumlah penonton Indonesia memang mempengaruhi juga hitung-hitungan penjualan tiket untuk film horor lokal, tapi tetap saja untuk judul-judul berbau horor, bangku-bangku di bioskop masih akan terisi lebih banyak ketimbang judul yang mengusung tema drama. Beberapa kali saya duduk hanya ditemani 3-4 orang penonton saja saat menonton film drama, padahal pemainnya terkenal dan kualitasnya tak perlu dipertanyakan lagi, miris memang tapi itu kenyataannya. Giliran film horor, saya bisa dibilang tak pernah merasa kesepian, termasuk ketika menonton “Tes Nyali” di bioskop kesayangan, penontonnya lebih ramai dibanding “Love and Faith” yang dibintangi oleh Laura Basuki dan Rio Dewanto. Sungguh kasihan nantinya orang-orang yang menonton “Tes Nyali”, termasuk juga saya, karena apa yang dipertontonkan tak sebanding dengan uang yang sudah dikeluarkan, sekaligus buang-buang waktu.

Horor berjudul ngeres yang mengobral selangkangan saja memang jadi sumber utama kehancuran reputasi horor lokal, yang menyebabkan orang-orang bakalan malas duluan jika mendengar ada film horor lokal rilisan terbaru. Film-film yang berotak mesum tersebut bukanlah satu-satunya biang kerok, film horor seperti “Tes Nyali” ini juga patut disalahkan. Kenapa? karena sama-sama sudah bodohi penontonnya, memang tak sodorkan konten horor berbau bokep tapi penyajian “Tes Nyali” hanyalah cara lain yang lebih sopan dan halus untuk mengkerdilkan kecerdasan penonton, penonton yang sudah beli tiket dan menyempatkan untuk datang ke bioskop setelah berhasil survive dari busuknya jalanan Jakarta. Orang beli tiket berharap terhibur dong, tapi alih-alih harga tiket tersebut bisa jadi obat penghilang stress, “Tes Nyali” justru menipu penontonnya dengan memberikan kebusukan lain, bikin saya malah jadi tambah pusing kepala. Ingin rasanya cabut bangku dan melemparkannya ke arah layar yang sedang memutar betapa busuk “Tes Nyali” dibuat, hanya saja saya tak sekuat itu bisa mencopot bangku bioskop. Mau lempar popcorn, tambah buang uang, lagipula saya tak mau jadi mengotori bioskop. Ingin lempar handphone, nanti dibilang sok kaya, lagipula kalau handphone-nya rusak, nanti malam tak bisa telpon pacar.

Entah apa maunya “Tes Nyali” ini sejak awal, gaya dan format yang membungkus filmnya bercampur-campur antara found footage dan horor konvensional. Well, saya sebetulnya tak punya masalah dengan pilihan gaya campur-campur, jikalau mampu dikemas dengan layak. Sebaliknya, “Tes Nyali” tampak tidak peduli kalau filmnya ditonton oleh manusia yang bisa muntah dipertontonkan adegan dengan gerak kamera yang bergoyang hebat. Gerak goyang kameranya tidak manusiawi, padahal film baru mulai 10 menit tapi saya sudah tak sanggup dan siap “dadah-dadah” ke kamera tanda menyerah. Sayangnya, lambaian tangan saya dihiraukan karena sekali lagi film ini tak pernah peduli dengan penontonnya sejak awal, jadi penyiksaan demi penyiksaan pun berlanjut selama 60 menit sisa durasinya. Saya masih mencoba untuk berpikiran (terlalu) positif dan memberikan kepercayaan kalau nanti “Tes Nyali” mungkin punya sesuatu yang bisa saya sukai. Saya masih manusia dan saya masih bisa salah, 60 menit kemudian saya menyesal tak segera keluar dari bioskop dan jajan semangkuk bakso. Saya menyesal 25 ribu dipakai untuk menonton “Tes Nyali”, karena uang tersebut bisa dibelikan bakso. Tak jadi kenyang bakso, saya malah dibuat mabuk oleh film dengan penceritaan dan editing yang buruk, ngawur dan hanya buat marah.

“Tes Nyali” seolah-olah membuat “Takut: Tujuh Hari Bersama Setan”-nya Nayato tampak bagus, setidaknya si Nayato tahu bagaimana caranya membuat film jelek yang utuh dan tidak asal jadi. Agak sulit menyebut “Tes Nyali” sebagai film yang utuh, malah tampak seperti cuplikan trailer yang di-edit ulang dengan tambahan stok gambar seadanya, kemudian disambung-sambung asal-asalan. Ada adegan di akhir yang ditaruh diawal, ada adegan di tengah yang tiba-tiba muncul lagi di akhir, ada adegan diawal yang entah maksudnya apa dimunculkan di akhir, lalu ada adegan yang diulang-ulang yang hanya makin membuat cerita di “Tes Nyali” kian berantakan. Saya pikir mungkin sengaja untuk memperlihatkan alur maju-mundur, atau saya (lagi-lagi) berpikiran positif kalau file filmnya rusak seperti film hasil unduhan yang suka corrupt ketika mau dipencet tombol play. Dugaan saya salah, editing “Tes Nyali” memang sudah cacat permanen dari sananya, saya tak tahu apa yang terjadi di ruang editing-nya, mungkin editor-nya nyambungin film tanpa melihat layar komputer karena sibuk main game di smartphone atau entah apa, hanya Tuhan dan orang-orang di ruangan itu yang tahu. Cerita, akting, hantu-hantunya dan bagaimana cara film ini menakuti pun kemudian ikut-ikutan berantakan. “Tes Nyali” sama bersalahnya dengan film-film horor berbau bokep, yang membuat citra horor Indonesia makin buruk dan tercela.