Di negara yang punya badan sensor teramat ketat untuk film-film dengan konten biadab semacam “Histeria”, tidaklah mudah bagi James Lee untuk tetap sebebas dan seliar mungkin dalam berkarya, sambil juga memikirkan agar filmnya “lulus” ketika disekolahkan ke badan sensor. “Histeria” beruntung bisa lolos dan tayang di bioskop Malaysia, beda lagi kasusnya dengan film James berikutnya “Claypot Curry Killers” yang kemudian kena cekal dan dilarang tayang—baru setelah dua tahun kemudian bisa ditayangkan di televisi berbayar. Well, tampaknya memang butuh seseorang yang agak sinting untuk bikin film tak bermoral di negara yang juga pernah melarang “Rumah Dara” mengayunkan gergaji mesinnya di bioskop-bioskop sana. James Lee adalah salah-satu orang sinting itu, terbukti nantinya di “Claypot Curry Killers” bahwa kreatifitasnya tak mau kompromi dengan aturan-aturan sensor. “Histeria” mungkin lebih terlihat “sopan”, tapi bukan berarti film ini tak mengacungkan jari tengahnya tepat ke wajah badan sensor. “Histeria” ini bisa dikatakan sebuah cetak biru, untuk kelak di film berikutnya James membuat sesuatu yang lebih sadis, lebih mengerikan dan lebih jahanam.

Tidak sekedar mengusung tema slasher berisikan adegan-adegan darah muncrat dan tubuh tercabik-cabik, “Histeria” juga memiliki unsur horor-hororan dengan menampilkan adegan-adegan yang siap menakut-nakuti penonton. Untuk materi mentahnya, James pun tak perlu repot-repot dan susah-susah untuk mencari bahan cerita yang menarik untuk nantinya dikembangkan menjadi “Histeria”, karena Malaysia—seperti juga di Indonesia—punya segudang urban legend dan kisah-kisah seram. Mengambil lokasi sekolah, “Histeria” nantinya menceritakan Alissa, Tini, Marina, Murni, Junita, dan Kerek yang terpaksa harus tinggal selama tiga hari di sekolah karena terkena hukuman. Geng cewek yang terkenal dengan sebutan “The Pink Ladies” ini tak hanya menipu guru-guru sekolah tapi juga ikut mempermainkan seorang dukun yang awalnya berniat menyembuhkan satu dari mereka yang kesurupan. Ternyata kesurupan itu hanyalah pura-pura, semacam sebuah lelucon yang sudah direncanakan. Selagi dihukum ke-6 cewek ini bakalan diawasi oleh satu anak baru bernama Zeta, tak hanya mereka nantinya mendapat hukuman membersihkan lapangan sekolah, sesuatu yang mengerikan sudah siap menunggu untuk memberi pelajaran atas segala kenakalan mereka.

“Histeria” tidak akan terburu-buru dalam perjalanannya menghantarkan mimpi buruk, sebelum masuk ke babak pembantaian nanti, di awal film James memberi kita waktu untuk berkenalan dengan satu-persatu member “The Pink Ladies” dan kenakalannya. Bisa dibilang James tak hanya peduli dengan bagian berdarah dan nakutin, tapi juga peduli terhadap setiap karakternya, hampir separuh durasinya diporsikan untuk menceritakan siapa Murni dan kawan-kawannya. Sambil gerak perlahan membangun atmosfir mencekam dengan memanfaatkan lokasi sekolah yang diperlihatkan sedemikian rupa untuk tampak “ada penunggunya”. Di paruh pertama “Histeria” kita benar-benar diajak untuk santai dan ketawa-ketawa—ini sebenarnya hanya sebuah jebakan—bareng geng “The Pink Ladies” yang sedang dihukum. James membiarkan kita untuk mengenal karakternya sambil perlahan-lahan menyelipkan rasa mencekam lewat cerita-cerita seram tentang bangunan sekolah, dari kisah seorang murid yang melihat hantu di kaca sampai ada murid yang katanya dibunuh. Cerita-cerita tersebut efektif untuk nantinya mendukung “Histeria” dalam membangun horornya, berharap penonton ikut merasakan apa yang karakternya rasakan, yaitu ketakutan.

James tahu bagaimana membuat film ini jadi seram tanpa memperlakukan saya seperti orang bodoh, “Histeria” pun tidak perlu memaksa setiap menitnya untuk mencoba menakuti penontonnya, karena filmnya sadar kapan waktu yang sangat tepat untuk melemparkan bagian yang seram-seram. Terbukti usaha James tidak sia-sia, “Histeria” mampu menakut-nakuti saya walau dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Sukses memberikan rasa takut, James juga terampil ketika tiba saatnya dia memamerkan muncratan bergalon-galon darah. Esekusinya tak sesempurna yang dibayangkan, tapi karena James melakukannya dengan cukup menyenangkan, hasilnya tetap membuat saya kegirangan. Paruh terakhir benar-benar dimanfaatkan James untuk bersenang-senang dengan darah dan membuat adegan-adegan disturbing yang mengasyikkan. Harus diakui “Histeria” memiliki kekurangan disana-sini, termasuk plotnya yang tak rapih dalam menambal celah, hingga akhirnya saya merasa dipaksa untuk puas dengan penjelasan-penjelasan yang ala-kadarnya. Terlepas dari kekurangan tersebut, “Histeria” tetaplah sajian horor yang menyenangkan, salah-satu yang terbaik dari Malaysia.