“Kita membicarakan kenyataaan dalam dunia fantasi”, sepenggal lirik dari lagu ‘Koil’ tersebut seperti menggambarkan apa yang sedang dibicarakan oleh “2014” yang penyutradarannya dikerjakan oleh Rahabi Mandra berduet dengan Hanung Bramantyo. Diciptakan dari hasil karangan Rahabi dan Ben Sihombing (Senggol Bacok), “2014” seperti mengajak kita ke sebuah dunia fantasi berisikan kesatria, putri dan…bukan, bukan bintang jatuh tetapi raksasa jahat rakus kekuasaan yang ingin mengusai negeri yang mirip sekali dengan Indonesia. Sebuah negeri carut-marut yang dipenuhi perampok-perampok intelek dan dihuni oleh para politikus yang bertuhankan jabatan dan berkiblatkan harta. Negeri dimana hakimnya bisa ditukar dengan seikat uang dan keadilan diperjual-belikan layaknya ikan asin di pasar. Negeri yang DPR-nya tak lagi diartikan sebagai “wakil-nya rakyat”, tetapi “Dewan Persetan dengan Rakyat”. Negeri yang memahkotai para penjahat serta memuliakan para pencuri uang rakyat. Negeri yang memelihara para pembunuh dan juga para penjagal berpangkat jenderal. Negeri yang dibicarakan oleh “2014” seperti cerminan kenyataan negeri aslinya, yang sama-sama porak-poranda dan kacau karena ulah para “raksasa” yang berebut tahta.

Demi menyelamatkan sang Ayah dari vonis hukuman mati, Ricky Bagaskoro tak punya pilihan lain selain melawan para “raksasa” yang sudah menjebak Ayahnya hingga masuk jeruji besi karena sangkaan menjadi pembunuh. Tidak mudah bagi Ricky untuk menjadi seorang kesatria, para raksasa tentu tidak akan diam saja, mereka mengirimkan pembunuh untuk menghentikan aksi Ricky mencari bukti-bukti yang bakal membebaskan Ayahnya. Dibantu seorang putri bernama Laras, keduanya mesti berjibaku dengan orang-orang jahat kiriman para raksasa, yang tak segan-segan untuk membunuh. Di negeri yang hukumnya dapat direkayasa, keadilan bisa dibeli, orang baik bisa dituduh jahat dan orang yang bersalah dapat bebas seenaknya, “2014” sedang bicara kenyataan yang terjadi di negeri fantasi buatannya. Realita yang sebetulnya juga terjadi di Indonesia, apa yang terjadi di “2014” nantinya begitu relevan dengan apa yang pernah dan sedang dialami oleh negeri ini. Dibungkus dengan tema political-thriller dengan tujuannya menghibur bukan untuk menghakimi siapapun, “2014” tak disangka mampu hadirkan intrik yang menegangkan, sambil nantinya juga memberikan kita sebuah jalinan cerita dengan presentasi yang membuat kita pada akhirnya peduli.

Tak terbantahkan “2014” memang mengadaptasi situasi dan kondisi Indonesia—terutama sistem politiknya—hanya saja demi tujuannya untuk menghibur serta bermain aman, film ini memilih jalan fiksi untuk membeberkan ceritanya. Pilihan tersebut kemudian membuat “2014” lebih leluasa menambahkan banyak hal ke dalam filmnya, bermain-main dengan cerita sekaligus karakter-karakternya. Tak dibatasi apapun bukan berarti film ini bebas bergerak asal kesana dan kemari, di awal plot utamanya sudah jelas dan tinggal bagaimana Rahabi dan Hanung setia dalam mengesekusi plot tersebut, agar tidak terkesan belak-belok kemana-mana. Terlepas ada bagian-bagian yang diburu-buru dan dipaksakan, termasuk ketika kita nanti sampai di ending, saya akui Rahabi dan Hanung mengerjakan tugasnya dengan baik dalam menyampaikan cerita, sambil membumbuinya dengan intrik, drama dan juga gelaran aksi yang diluar ekspektasi ternyata seru. Sempat tunda tayang tahun lalu karena bermacam alasan, termasuk alasan takut berbenturan dengan situasi politik yang sedang panas-panasnya oleh pemilihan Presiden, film “2014” setidaknya berani maju mengusung tema political-thriller yang tak populer dan langka di sinema negeri ini.

“2014” bukan asal berani ambil tema yang jarang dipakai, tema political-thriller tersebut kemudian dikemas dengan kualitas yang baik. Sanggup mencampurkan intrik politik, drama dan juga aksi untuk kemudian menghasilkan tontonan yang menyenangkan. Porsinya terbagi rata, termasuk untuk bagian drama yang nanti punya peran untuk membuat penonton lebih peduli dengan cerita dan karakter. Begitupula dengan bagian yang menyorot sistem perpolitikan beserta intriknya, terasa menegangkan di setiap babaknya sampai-sampai saya (tanpa sadar) amat serius menghabiskan durasi “2014” yang 100-an menit itu. Tak berhenti hanya di drama dan politik-politikannya saja, garapan Rahabi dan Hanung untuk urusan action pun begitu matang hingga hasilkan variasi adegan tarung yang seru serta bikin greget. Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto pun tak hanya tampil cemerlang ketika berakting tapi juga ketika tiba saatnya memamerkan koreografi berantem. Rizky Nazar dan Maudy Ayunda tak hanya berjualan tampang, tapi sanggup beri bukti jika mereka berdua tak mau kalah adu berakting dengan pelakon lain yang notabennya lebih senior. Donny Damara begitu karismatik sebagai seorang ayah sekaligus pengacara yang terkenal karena tak pernah main kotor. Ray Sahetapy sekali lagi memaksimalkan peran yang diberikan kepadanya, tampil begitu solid. Terlepas dari ketidaksempurnaannya, “2014” tidak hanya memberi saya hiburan yang menyenangkan tapi juga sodorkan kenyataan kalau negeri fantasi di “2014” dan negeri kita sama-sama dikuasai raksasa jahat.