Tampaknya Malaysia sedang giat-giatnya membuat film horor berbasiskan gaya mokumenter atau seringnya disebut found footage. Awal tahun ini saja bakal rilis dua film yang sama-sama mengadaptasi style yang pernah dipakai “Paranormal Activity”, “Noroi” dan “The Blair Witch Project” tersebut. Ada “Vila Nabila” yang sudah lebih dulu tayang pada 15 Januari dan menyusul “Bangunan” yang rilis di bulan Februari. Tahun lalu ada “Ia Wujud” yang dilihat dari trailer-nya kayaknya serem (ada pocong bangun segala), walaupun terlalu mengandalkan penggunaan night vision untuk menciptakan suasana jadi terkesan real, saya belum menonton jadi tak bisa ngomong banyak-banyak tentang film arahan Dharma Aizat ini. Well sebagai penyuka film berformat found footage, saya akan selalu tertarik jika ada film baru ataupun lama dengan label dokumenter-dokumenteran. Misalnya saja “The Poughkeepsie Tapes” (2007) yang baru sempat saya lirik dan review pada 2013 lalu. Nah “Seru” juga termasuk dalam daftar wishlist film-film found footage yang kepingin saya tonton, akhirnya terkabul setelah ada channel di tv berbayar yang kontennya memang horor-hororan, menayangkan film horor dari negeri seberang arahan Woo Ming Jin (KL Zombie, The Tiger Factory) dan Pierre Andre tersebut, syukur Alhamdulillah senang bukan main hehehe.

Ekspektasi saya terpuaskan oleh “Seru”, bisa dibilang seperti itu, karena film ini ternyata lebih mengasikkan dari perkiraan. Kekurangannya ada, tapi kemudian mudah dilupakan karena “Seru” sudah memberikan keseruan yang saya cari-cari dari sebuah film horor found footage. Berangkat dari cerita mengenai produksi film yang kemudian berantakan karena terganggu kejadian-kejadian ganjil, saya langsung teringat “Keramat” (2009), film horor lokal yang tidak saja sama-sama dibungkus format found footage, tapi juga punya kesamaan cerita soal produksi film yang berujung malapetaka. Jika “Keramat” membawa kita menengok behind the scene dari “Menari di Atas Angin”, sedangkan “Seru” nantinya mengajak kita bertamu untuk melihat syuting “Jangan Bernafas”, yang sepertinya juga bertema horor. Dua orang kru perempuan tiba-tiba saja kerasukan, satu orang lari masuk ke hutan dan satu orang lagi membuat kekacauan berdarah. Durasi “Seru” nanti dihabiskan dalam gelap, maksudnya sepanjang film setting-nya malam hari, tapi entah sedang terang bulan atau bagaimana, adegan-adegannya tampak kelebihan nyala lampu, hasilnya cukup terang walau sedang berputar-putar di dalam hutan yang harusnya minim cahaya. Gangguan itu tak saya anggap penting, karena toh pada akhirnya “Seru” tahu bagaimana cara menakuti sambil menyelesaikan kisah yang belakangan menguak sesuatu yang berbau ritual ilmu hitam.

“Seru” memang lagi-lagi mewarisi kedunguan sebuah film found footage, dimana kamera akan selalu digotong-gotong walau dalam keadaan hidup dan mati, yang penting rekaman jalan terus. Toh terus merekam adalah sebuah harga mati, mau sedungu apapun kelihatannya nanti. “Cloverfield” yang keren itu pun tak pernah meninggalkan kameranya, walaupun sedang dikejar-kejar monster. Well, sekali lagi, mau sedungu apapun caranya agar kamera di setiap film horor berlabelkan found footage terus merekam segala kejadian, pada akhirnya saya selalu legowo, menerima dibodohi dengan kedunguan yang berulang. Toh film found footage itu diciptakan untuk hiburan yang tak perlu terlalu serius dan pakai logika, tinggal dinikmati dan tak perlu memikirkan “mau mati masih saja bawa-bawa kamera”. Koji Shiraishi si spesialis found footage sekaligus pembuat “Noroi” bahkan tidak tanggung-tanggung di “Occult”, membawa kedunguan tersebut ke level yang bisa dikatakan lebih gila. [spoiler] Logiskah ketika kamera masih bisa lanjut merekam di dimensi antah-berantah yang filmnya sebut dengan “neraka”? ketidaklogisan tersebut justru membuat “Seru” malah terlihat sangat normal. Sudah sejak lama saya tak pernah pakai akal sehat saat harus berhadapan dengan film-film found footage, terlalu serius hanya akan menghilangkan bagian menyenangkannya.

Ada yang membuat saya tertarik dari “Seru” selain trik Ming Jin dan Pierre Andre dalam urusan menakut-nakuti penonton, yakni production value-nya yang diakui betul-betul diperhatikan. Belum lagi penyiapan lokasi dan segala macam setting yang nantinya benar-benar menghidupkan atmosfer horor di “Seru”. Bagaimana film ini membangun pelan-pelan tidak saja suasana tidak menyenangkan, cekam dan juga seram, tetapi juga mampu mengurung kita terjebak bersama-sama rasa penasaran yang kian menumpuk selagi cerita bergulir. Alurnya terjaga, ritmenya tak menggebu-gebu dan mempersilahkan saya untuk mengenal karakternya, yah walaupun hanya sempat “berjabat tangan” saja. “Seru” memang tak punya waktu banyak untuk mengurusi satu-persatu karakter dan tetek bengek latar belakang mereka. Durasinya bakal habis untuk membuat kita takut, dan saya tidak punya masalah dengan itu, mengangguk membenarkan, karena saya sedang menonton film horor, bukan film drama kan. “Seru” pun tak perlu mengobral penampakan, karena toh sejak awal saya sudah dibuat bergidik dengan suasana cekam serta atmosfer horornya, hasil yang didapat dari jerih payah film ini yang (mau) peduli membangun semua itu. Jadi ketika saya menemui penampakan itu sudah seperti bonus, terlebih macam-macam jump scare dan penampakan yang dilemparkan tak terkesan murahan. “Seru” tak pernah meremehkan penontonnya, sekaligus tidak menggampangkan urusan menakuti, itulah kenapa film ini berhasil dalam menyuguhkan horor found footage-nya, “Seru” ternyata memang seru.